• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

November 2, 2021

2021
Kapal Riset Canggih Korea Selatan Dibuat di Indonesia, Maritim RI Kian Potensial

Tanti Yulianingsih – Liputan6.com


Workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh FPCI bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta akhir September. (Tanti Yulianingsih/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta – Indonesia memiliki kerja sama riset teknologi kelautan dan perikanan dengan Korea Selatan sejak lama. Di bawah payung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dengan Kementerian Samudera Perikanan Republik Korea terciptalah Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pada 14 September 2018.

Pusat penelitian tersebut menjalankan riset bersama Indonesia–Korea, program pendidikan serta pelatihan di bidang kemaritiman.

Kerja sama tersebut telah terjalin hingga kini. Selama itu, sudah banyak pencapaian yang diraih dari kerjasama dua kementerian Korea-Indonesia tersebut. Salah satu yang jadi sorotan adalah perihal pembuatan kapal ARA.

ARA adalah kapal riset canggih seberat 12 ton yang didatangkan ke Indonesia oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea Selatan dan dioperasikan oleh MTCRC. Di bawah kerja sama tersebut, kapal jenis itu bisa dibuat di Tanah Air, tak lagi mengandalkan kiriman dari Korea Selatan.

“Sebelumnya kami membuat skema dengan pembuatan kapal ARA di Korea lalu mengirimkannya ke Indonesia. Melihat kapasitas ukuran dan terkait biaya pengiriman yang cukup mahal, maka di bawah proyek dengan Kemenko Marves dibuatlah kapal ARA di Indonesia,” kata Dr Hansan Park, Wakil Direktur Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta akhir September lalu.

Menurutnya, biaya membuat kapal ARA di Indonesia dengan spesifikasi yang disesuaikan lebih masuk akal ketimbang membangunnya di Korea Selatan dan mengirimkannya ke Indonesia.

“Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan tersebut lebih masuk akal daripada dengan skema pembuatan di Korea Selatan lalu baru dikirimkan ke Indonesia. Oleh sebab itu, tahun depan kami berencana membuat lagi satu kapal ARA di Indonesia melalui proyek dengan Kemenko Marves tersebut,” jelas Dr Park.

“Indonesia memiliki potensi dalam industri tersebut,” imbuhnya.

Sejauh ini, Dr Park memaparkan, sudah ada puluhan kapal ARA dibuat di Indonesia melalui skema kerja sama ini. ” Sudah ada sekitar 30 kapal, dengan basic design. Kapal ARA Korea Selatan memiliki spesifikasi yang berbeda dengan Indonesia,” ucapnya.

Kapal riset canggih ARA, yang sedang dioperasikan oleh MTCRC biasanya dikerahkan untuk mempercepat proses pencarian puing pesawat di laut. Sebelumnya, pernah dikerahkan untuk proses pencarian puing pesawat jatuh Sriwijaya Air SJ182 pada pertengahan Januari 2021.

Kapal ARA merupakan kapal berbobot 12 ton yang didatangkan ke Indonesia oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (MOF) Korea Selatan pada 2020, guna mendorong program kerjasama survei awal untuk kawasan pesisir Cirebon, Indonesia dalam skema ODA (Overseas Development Assistance) senilai 5 miliar won.

Keunggulan Kapal ARA

Kapal ARA dilengkapi dengan alat Multi-Beam EchoSounder, Sub-Bottom Profiler yang dapat digunakan untuk 3dimentional bathymetric survey, prediksi pasang surut dan deteksi dasar laut. Alat tersebut mampu menghasilkan data yang lebih presisi 10 kali lipat dan memiliki kecepatan observasi 2 kali lipat dibanding alat lainnya.

Di samping itu, kapal ARA didesain secara khusus untuk melakukan riset laut dangkal. Oleh karenanya, diharapkan kehadiran kapal ARA tersebut dapat sangat membantu dalam proses pencarian yang dilakukan.

MTCRC juga menerjunkan 15 orang tenaga ahli termasuk kepala MTCRC Dr Park Hansan (kapten kapal riset dan awak kapal 3 orang, 5 orang tenaga ahli untuk mengoperasikan perlengkapan, 7 orang tenaga ahli untuk pendataan) ke lokasi pencarian untuk bekerja sama dengan tim.

Korsel Berharap Kerja Sama di Bidang Bioresources

Sepanjang kerja sama terkait ilmu kelautan Korea-Indonesia yang berlangsung sejak 2011 lalu, banyak pendekatan dilakukan kedua belah pihak untuk melakukan penelitian. Mulai dari menggandeng kampus teknik terbaik di Indonesia yakni ITB dan sejumlah kampus di Indonesia sebagai pendukung seperti UI dan UGM.

Lembaga pemerintah LIPI juga turut serta dalam proyek tersebut.

Indonesia kembali menguatkan hubungan kerja sama dalam bidang riset teknologi kelautan dan perikanan melalui Korea – Indonesia Ocean ODA Research Equipment Handover Ceremony (03-06-2021).

Melalui lembaga pendidikan seperti ITB dan Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) pemerintah Kabupaten Cirebon mampu memanfaatkan teknologi kelautan dan perikanan ini.

Melalui kerja sama tersebut, Republik Korea melalui Kementerian Samudera dan Perikanan memberikan alat riset teknologi kelautan dan perikanan yang nantinya akan digunakan oleh Indonesia melalui Institut Teknologi Bandung.

Berbagai alat untuk melakukan riset teknologi kelautan dan perikanan ini nantinya akan dikelola oleh Institut Teknologi Bandung. Beberapa peralatannya, yaitu mobil operasional Hyundai H-1 dan H-100, fixed wing Drone, Rotary Wing Drone, RTK GNSS-Leica GS18 T, multibeam echo sounder kongsberg geoswath 4R.

Kemudian juga ada sub bottom profiler kongsberg geopulse compact, single beam echosounder kongsberg EA440, instrumen pengukuran parameter oseanografi, grab sampler, Kapal Survei dan Riset ARA, high performance server, plotter, dan yang terakhir ada komputer untuk sarana pelatihan.

Selain itu, apa harapan Korea Selatan yang ingin dicapai dalam kerja sama tersebut di masa mendatang?

“Pada dasarnya kerja sama bioresources (kekayaan hayati). Sampai saat ini kedua pemerintah antara Korea Selatan dan Indonesia belum ada pada MoU. Sejauh ini kita tidak bisa berbuat apa-apa terkait marine bioresources system,” ucap Dr Park.

Menurutnya, proyek itu bisa menjadi pilihan untuk memperluas kerja sama maritim antara Korea dan Indonesia ke depannya.

“Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction (BBNJ) masih menjadi poin utama. Kami ingin memberikan timbal balik yang spesial,” tegasnya.

Dr Park pun berharap area kerja sama itu dapat dilakukan di masa mendatang.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4683777/kapal-riset-canggih-korea-selatan-dibuat-di-indonesia-maritim-ri-kian-potensial

2021
Rehabilitasi hutan mangrove dan cita-cita ekonomi hijau

Desca Lidya Natalia – Antara News


Presiden Joko Widodo menanam mangrove bersama sejumlah duta besar negara sahabat dan masyarakat di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara pada Selasa (19/10/2021). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/Laily Rachev/am.

Jakarta (ANTARA) – Setidaknya dari 16 kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke berbagai daerah di Indonesia pada September-Oktober 2021, ada empat lokasi yang dikunjungi dan diisi dengan acara penanaman pohon bakau atau mangrove.

Penanaman mangrove itu bukan tanpa alasan karena menurut Presiden Jokowi, Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di dunia.

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021 yang baru diluncurkan pada 13 Oktober 2021, luas lahan mangrove di Indonesia saat ini adalah 3.364.080 hektare atau 20 persen dari total hutan bakau yang ada di dunia. Luasan tersebut bertambah seluas 52.873 hektare bila dibandingkan periode 2013-2019.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lahan mangrove seluas 3,36 juta hektare itu terdiri dari lahan mangrove dengan tutupan lebat seluas 3,15 juta hektare, tutupan sedang 167 ribu hektare dan tutupan jarang sekitar 42.779 hektare.

Sementara luasan berpotensi ekosistem mangrove seperti wilayah abrasi dan yang sudah terbuka tutupannya berada di kisaran 700.575 hektare.

Pemerintah sejak 2020 memang telah meluncurkan Program Pemulihan Nasional (PEN) melalui penanaman bibit mangrove dengan target rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare di 9 provinsi untuk dicapai pada 2024.

Rinciannya adalah rehabilitasi lahan seluas 34 ribu hektare pada 2021, 228.200 hektare pada 2022, 199.675 hektare pada 2023 dan pada tahun 2024 pelaksanaan rehabilitasi mangrove seluas 142.625 hektare.

Empat kunjungan Presiden

Saat kunjungan kerja pada 23 September 2021 di Desa Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Jawa Tengah, Presiden Jokowi memulai kegiatan dengan menanam pohon mangrove bersama masyarakat.

“Saya melakukan penanaman mangrove di kawasan ini bersama-sama dengan masyarakat karena memang rehabilitasi mangrove harus kita lakukan untuk memulihkan, melestarikan kawasan hutan mangrove ini,” kata Presiden di Cilacap pada 23 September 2021.

Presiden berharap dengan penanaman mangrove, maka lingkungan pantai dapat terlindungi dari abrasi air laut dan kondisi lingkungan pesisir pantai menjadi lebih baik. Termasuk juga dapat mengurangi energi gelombang, melindungi pantai dari abrasi, menghambat intrusi air, memperbaiki lingkungan pesisir dan memperbaiki habitat di daerah pantai.

Selain itu, penanaman mangrove di lingkungan pantai diharapkan berdampak kepada peningkatan produksi ikan dan produksi hasil laut lainnya. Dengan begitu, pendapatan masyarakat yang mengandalkan mata pencaharian dari kekayaan laut akan meningkat.

“Kita harapkan berdampak pada peningkatan produksi ikan dan produksi hasil laut lainnya, terutama ini kepiting ini, tadi kita dapat kepiting dua sehingga nantinya kita dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di pesisir pantai ini,” kata Presiden sambil mengangkat dua kepiting besar.

Kunjungan kedua adalah pada 28 September 2021 dengan agenda penanaman pohon mangrove adalah di Pantai Setokok, Batam, Kepulauan Riau.

Saat itu Presiden Jokowi bahkan ikut mencerburkan diri ke pantai di saat gerimis mengguyur untuk menanam sekitar 20 ribu bibit mangrove bersama masyarakat.

Presiden mengenakan jaket berwarna merah hanya melapisi kepalanya dengan tudung jaket menceburkan diri ke pantai dan membiarkan air merendam kakinya hingga setinggi paha. Ia kemudian menanam pohon mangrove meskipun harus merasakan dinginnya air laut.

“Semuanya masuk ke air, ya masa saya di darat sendiri. Kan enggak lucu. Tidak ada masalah, basah kan paling-paling 5-10 menit, tak ada masalah,” kata Presiden.

Usai menanam bakau di Pantai Setokok, Presiden mengatakan rehabilitasi mangrove akan berkontribusi besar pada penyerapan emisi karbon dan ini meneguhkan komitmen Indonesia dalam “Paris Agreement” (Perjanjian Paris).

Menurut Presiden Perjanjian Paris berisikan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi, termasuk kebijakan soal pendanaan mengenai perubahan iklim yang disepakati negara-negara di dunia sejak 2015.

Presiden Jokowi berharap rehabilitasi mangrove akan mendorong perbaikan ekosistem, contohnya perbaikan lahan Mangrove di pesisir pantai diharapkan dapat menghambat abrasi yang diakibatkan air laut sekaligus mendukung program ekowisata sehingga sektor pariwisata di daerah akan berkembang. Apalagi pohon bakau mampu menyimpan karbon hingga 4-5 kali lipat dibandingkan hutan tropis daratan.

Program PEN Mangrove 2020-2021 di Provinsi Kepulauan Riau memang menargetkan rehabilitasi mangrove hingga seluas 1.292 hektare. Di Pulau Setokok, tempat Presiden menanam, KLHK melakukan rehabilitasi mangrove seluas 15 hektare dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat.

Kunjungan ketiga adalah pada 8 Oktober 2021 yaitu saat Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Jokowi meninjau hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Badung, Bali.

Di Taman Hutan Raya tersebut, Presiden Jokowi dan Ibu Iriana bersama rombongan berjalan kaki di atas jembatan kayu sepanjang 500 meter guna menelusuri kawasan hutan mangrove. Hutan raya itu sendiri adalah kawasan seluas 268 hektare yang sebelumnya adalah bekas tambang ikan dan udang yang terbengkalai.

Sejak 1992, pemerintah daerah merehabilitas lokasi tersebut sehingga menjadi tempat tinggal 92 jenis burung sekaligus 33 jenis pohon mangrove.

Presiden Jokowi pun berharap daerah lain dapat mencontoh model rehabilitasi mangrove seperti yang diterapkan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali.

“Model rehabilitasi mangrove seperti inilah yang ingin kita replikasi, kita ‘copy’ untuk program rehabilitasi mangrove di provinsi-provinsi lain. Ini merupakan tempat percontohan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove di negara kita yang memadukan pendidikan, edukasi, pariwisata, dan juga untuk penguatan ekonomi masyaraka,” kata Presiden Jokowi.

“Yang ini akan terus kita lakukan di kawasan-kawasan pesisir untuk memulihkan, melestarikan kawasan hutan mangrove kita, dan juga untuk mengantisipasi dan memitigasi perubahan iklim dunia yang terus dan akan terjadi,” ujar Presiden.

“Utamanya kepiting yang cocok untuk mangrove ini dan yang paling akhir adalah bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, dan ini juga nanti mungkin akan menjadi salah satu ‘venue’ yang akan kita perlihatkan kepada pemimpin-pemimpin G-20 tahun depan,” ujar Presiden.

Berdasarkan data KLHK, luas lahan mangrove di Bali mencapai 2.147,97 hektare. Dari luas tersebut, 19 hektare masuk kategori jarang dan masih ada habitat mangrove yang berpotensi untuk ditanami seluas 263 hektare.

Kunjungan keempat adalah di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Utara pada 19 Oktober 2021.

Kali ini Presiden Jokowi menanam mangrove bersama dengan sejumlah duta besar negara sahabat. Mereka adalah Duta Besar Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek beserta istri, Duta Besar Cili untuk Indonesia Gustavo Nelson Ayares Ossandron, Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari, Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz, Wakil Duta Besar Brazil untuk Indonesia Daniel Barra Ferreira dan Country Director Bank Dunia Satu Kahkonen.

Presiden Jokowi menjelaskan di Kalimantan Utara ada 180 ribu hektare hutan mangrove yang akan direhabilitasi oleh pemerintah.

“Target kita dalam tiga tahun ke depan agar kita perbaiki, kita rehabilitasi sebanyak 600 ribu hektare dari total luas hutan mangrove kita yang merupakan hutan mangrove terbesar di dunia (seluas) 3,6 juta hektare,” ungkap Presiden.

Apresiasi pun disampaikan oleh para dubes dan “Country Director” Bank Dunia kepada Presiden Jokowi.

“Ini adalah program restorasi mangrove terbesar di dunia dan oleh karena itu kami memuji Pemerintah Indonesia yang melakukannya,” kata “Country Director” Bank Dunia Satu Kahkonen.

Hal senada diungkapkan Duta Besar Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek yang mengatakan rehabilitasi mangrove merupakan hal penting bagi semua negara, bukan hanya bagi negara tertentu saja karena iklim global bukan menyangkut individu atau satu pemerintah tetapi seluruh oenduduk dunia.

Sementara Dubes Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari mengatakan bahwa hutan mangrove sangat efisien dalam menyerap gas karbondioksida, karena itu, ia memuji langkah pemerintah Indonesia yang berfokus pada penanaman mangrove.

“Saya pikir jika Anda perlu menaruh uang Anda untuk satu jenis hutan, saya pikir ini adalah pilihan yang sangat baik dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Indonesia atas pilihannya,” ungkap Dubes Finlandia.

Sedangkan Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz berharap program rehabilitasi mangrove ini bisa menjadi contoh dan stimulus bagi masyarakat Indonesia dan dunia.

Adapun Deputi Dubes Brazil Daniel Barra Ferreira menilai program rehabilitasi mangrove menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dan menunjukkan komitmen Indonesia atas pembangunan berkelanjutan serta konservasi dan restorasi kawasan penting seperti mangrove.

Pada kesempatan tersebut seluruh dubes tampak kompak mengenakan sesingal tidung, ikat kepala khas Tidung yang diberikan oleh Wakil Bupati Tidung Hendrik sebelum mereka turun menanam mangrove. Setelah menanam mangrove bersama, Presiden Jokowi dan para dubes kemudian berbincang di saung kayu bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

Komitmen Indonesia

Komitmen Indonesia terhadap pengendalian perubahan iklim sudah disampaikan dengan lugas oleh Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate pada 22 April 2021. Presiden Jokowi mengikuti KTT tersebut secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menegaskan pertama Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata.

“Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas,” kata Presiden.

Kedua, menurut Presiden, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions/NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Indonesia juga menyambut baik target sejumlah negara menuju net zero emission tahun 2050. Namun, agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen NDC tahun 2030.

“Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan,” tambah Presiden.

Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai “net zero emission” dan menuju United Nations Climate Change Conference Conference of the Parties (UNFCCC COP-26) Glasgow.

Indonesia sendiri sedang mempercepat percontohan “net zero emission” antara lain dengan membangun “Indonesia Green Industrial Park” seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang akan menjadi yang terbesar di dunia.

Pemerintah juga telah membangun Pusat Sumber Benih dan Persemaian Rumpin di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan kapasitas produksi sekitar 16 juta bibit.

Bibit-bibit yang diproduksi tersebut akan didistribusikan ke lokasi atau wilayah yang sering mengalami bencana banjir dan tanah longsor. Namun, selain fungsi ekologi, Presiden berharap agar pusat perbenihan tersebut juga akan menanam tanaman-tanaman yang memiliki fungsi ekonomi.

Berbagai upaya tersebut, menurut Presiden Jokowi, adalah upaya agar Indonesia turut mendapat manfaat dari perkembangan dunia yang mengarah ke “green economy”.

“Hati-hati dengan perkembangan ‘green economy’. Kita harus menyadari kita salah satu paru-paru terbesar dunia. Kita bisa mendapat manfaat besar dari hutan tropis dan hutan mangrove yang kita miliki oleh sebab itu transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai,” kata Presiden dalam acara di Bappenas pada 4 Mei 2021.

Pemerintah sendiri sudah merencanakan pembangunan “Green Industrial Park” atau Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara dengan memanfaatkan “hydro power” Sungai Kayan sehingga akan menghasilkan energi hijau, energi baru dan terbarukan yang akan disalurkan ke kawasan industri hijau sehingga muncul produk-produk hijau.

Contoh Korea Selatan

Kesadaran pentingnya menjaga lingkungan saat melakukan kegiatan ekonomi juga sudah dilakukan oleh negara-negara lain salah satunya Korea Selatan yang mengimplementasikan ekonomi sirkular.

Model ekonomi sirkular adalah model dimana barang yang sudah dikonsumsi dapat diolah kembali (Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Repair). Sampah dapat diproduksi
ulang sehingga mengurangi dampak limbah buangan yang berbahaya bagi lingkungan dan dapat digunakan kembali sebagai produk baru atau sebagai bahan baku produk lain.

Meski sudah memiliki Undang-undang Kontrol Limbah pada 1986, Korsel baru menetapkan Undang-Undang tentang Sirkulasi Sumber Daya (Framework Act on Resource Circulation) pada 2017 untuk mendorong jumlah daur ulang sampah.

Dalam pelatihan yang digelar oleh Korea Foundation bekerja sama dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), pakar Teknik Lingkungan dari Kyonggi University Korea Selatan, Rhee Seung Whee mengatakan timbulan sampah di Korsel meningkat dari 346.669 ton/hari pada 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada 2018.

Pada 1995, Korsel mulai menerapkan sistem Volume Based Waste Fee (VBWF) di seluruh negeri. Secara umum, ada tiga pembagian limbah padat perkotaan (MSW) yakni limbah makanan (food waste), “mixed MSW” yakni kertas, plastik, kaleng, kaca, sterofoam dan tekstil, dan limbah elektronik (e-waste).

Pemerintah Korsel lalu memperkenalkan sistem Extended Producer Responsibility (EPR) pada 2000 yang diperuntukkan bagi para pelaku usaha. Sistem EPR diterapkan bagi 4 bahan kemasan yaitu yaitu kertas, botol kaca, kaleng logam.

Produsen dan pengimpor diminta untuk melakukan daur ulang untuk limbah produk mereka. Produsen yang gagal untuk mengikuti kewajiban ini tunduk pada denda daur ulang.

Sistem EPR tersebut menurut Rhee juga memberikan keuntungan bagi para perusahaan.

“Industri memang mengeluarkan ongkos produksi lebih besar sebelum diterapkannya sistem ini tapi ongkos produksi itu sebenarnya ditanggung konsumen. Mereka sebenarnya mendapat uang dari konsumen. Jadi pemerintah bertugas sebagai pihak yang mengawasi kualitas bahan daur ulang dan menjaga lingkungan,” kata Rhee.

“Di Indonesia misalnya ada sejumlah perusahaan besar seperti Toshiba, LG, Sony dan perusahaan-perusahaan asing lainnya. Pemerintah dapat meminta mereka untuk mengumpulkan dan mendaur ulang sampah mereka. Mengumpulkan sampah menjadi sangat penting karena merupakan 60 persen bagian dari daur ulang itu sendiri dan hal itu menjadi kewajiban industri,” ungkap Rhee.

Namun lebih dari itu, menurut Rhee, pengenalan pentingnya melakukan daur ulang sampah juga harus diperkenalkan kepada masyarakat sejak dini bahkan mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA, universitas hingga pengenalan kepada para pelaku ekonomi baik formal maupun informa.

Siapkah pemerintah dan rakyat Indonesia menerapkan “green economy?”


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2477073/rehabilitasi-hutan-mangrove-dan-cita-cita-ekonomi-hijau

2021
Indonesia-Korea Satu Tujuan Atasi Perubahan Iklim, Kehutanan hingga Bakau Jadi Sorotan

Tanti Yulianingsih – Liputan6.com


Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan Suh-Yong Chung pada workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Jakarta – Untuk mengatasi perubahan iklim, sudah saatnya semua pihak bergerak melakukan tindakan yang lebih konkret. Tak hanya di Indonesia, namun juga dalam skala global, umat manusia perlu bergegas mencari cara memperlambat krisis tersebut.

Salah satu cara yang tengah digalakkan banyak negara yakni melalui strategi low carbon atau rendah karbon. Upaya tersebut dinilai ramah bagi lingkungan dan cocok untuk menangani masalah krisis perubahan iklim.

Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) diyakini satu tujuan dalam hal tersebut. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

Korea pun, di bawah green policy (kebijakan hijau), mengembangkan kebijakannya sendiri di bawah tema netral karbon dan kemudian memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) dan diserahkan ke UNFCCC pada Desember 2020.

Sejalan dengan hal tersebut, kedua negara diyakini dapat bergandeng tangan untuk menangani krisis perubahan iklim. Sejumlah peluang besar membangun kerja sama antara Indonesia untuk berkolaborasi dengan Korea pun terbuka.

Forestry (sektor kehutanan), kelautan dan budidaya mangrove (bakau) Indonesia yang paling jadi sorotan bagi Korea. Alasannya, karena dinilai memiliki banyak potensi bermanfaat bagi kedua negara.

“Sektor kehutanan memiliki banyak potensi. Indonesia memiliki banyak hutan hujan. Korea memiliki pengalaman yang sangat bagus tetapi ukuran lahan untuk eksplorasi terlalu kecil. Jadi kita bisa menggunakan pengalaman Korea sebagai uji coba, sehingga kita bisa memanfaatkan pengalaman dengan mitra hebat kita termasuk Indonesia,” ujar Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, Suh-Yong Chung pada workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta awal September 2021.

Korea memiliki catatan yang sangat baik dalam hal penghijauan di dunia. Korea Selatan juga berpengalaman baik dalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Sejauh ini telah bekerjasama dengan berbagai proyek kehutanan Indonesia.

Menurut Chung, kerja sama tersebut dapat memicu penciptaan lapangan kerja di Indonesia, melestarikan kawasan kehutanan, mengurangi emisi gas rumah kaca hingga menciptakan transfer teknologi lapangan kerja dan pembiayaan iklim di luar Indonesia.

“Lingkungan laut di Indonesia juga sangat penting,” sambung Suh-Yong Chung.

“Bukan hanya masalah ekosistem yang berbasis isu konservasi, tapi juga bisa terkait mitigasi, pengurangan gas rumah kaca misalnya mangrove yang merupakan isu yang sangat mewah,” imbuhnya.

Pada Juni 2021, Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan kembali memperkuat hubungan kerja sama dalam bidang riset teknologi kelautan dan perikanan melalui Korea-Indonesia Ocean ODA Research Equipment Handover Ceremony.

Korsel melalui Kementerian Samudera dan Perikanan memberikan alat riset teknologi kelautan dan perikanan yang nantinya akan digunakan oleh Indonesia melalui Institut Teknologi Bandung (ITB).

Penyerahan alat riset menjadi tindak lanjut kesepakatan antara Kementerian Samudera dan Perikanan Korsel dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang mendirikan Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pada 2018.

Selain itu, Suh-Yong Chung menjelaskan bahwa melalui potensi mangrove Indonesia bisa memperoleh pendanaan dari negara asing. “Jika Anda merancang kebijakan negara untuk mempromosikan isu-isu terkait mangrove, mudah bagi Anda untuk mendapatkan pendanaan dari GCF, ADB, Bank Dunia atau Korea,” ungkapnya.

Pentingnya Konsistensi Kebijakan Pemerintah

Pada kesempatan tersebut, Suh-Yong Chung juga menuturkan bagaimana Korea bergulat untuk menangani isu perubahan iklim. Menurutnya, konsistensi tiga masa pemerintahan terakhir jadi kunci utama.

“Tidak peduli pemerintahan mana yang sedang menangani di masa lalu, sekarang dan di masa depan,” ucapnya.

Saat itu, Korea di tingkat internasional pernah membuat semacam partisipasi aktif dalam mengatasi tantangan global perubahan iklim. Hal itu dilakukan saat pemerintahan mantan presiden Lee Myeong-bak pada tahun 2008, di mana kebijakan hijau rendah karbon adalah mesin masa depan pertumbuhan Korea.

Di bawah pemerintahan Lee Myeong-bak, kebijakan rumah kaca rendah karbon tercipta. Korsel membuat serangkaian kontribusi kepada masyarakat internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Sebagai contoh, Korea mendeklarasikan komitmen sukarela pertama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkenalkan ETS (Emission Trading Schemes) dan pada saat itu Global Green Growth Institute didirikan.

Pada pemerintahan berikutnya, Park Geun-hye juga membuat langkah lebih lanjut dalam hal fokus pada teknologi rendah karbon. Tema kebijakan utama pemerintahannya adalah ekonomi kreatif, di bawah kebijakan itu ia banyak menekankan pada isu-isu teknologi.

Sekarang, di era Moon Jae-in, dia memperkenalkan kebijakan transisi energi. Semua kebijakan itu, menurutnya, tidak bakal berkesinambungan tanpa konsistensi sebelumnya.

Bagi Chung, konsistensi kebijakan pemerintah dalam jangka panjang itu penting. Ia pun berharap Indonesia bisa melakukannya.

Ketika Korea sangat miskin mungkin lebih miskin dari Indonesia sebelum tahun 1960, teknologi pertama yang Korea ingin fokuskan oleh adalah kehutanan, pertanian, dan tekstil, kemudian industri berat. Itu dikembangkan secara bertahap.

“Dalam rangka membuat masyarakat lebih sejahtera Anda harus membangun kapasitas untuk mengembangkan dan mengkomersialkan teknologi penting yang dapat menciptakan lapangan kerja, dengan demikian menarik investasi sehingga negara dapat maju di dunia,” jelas Chung.

Bagaimana dengan Indonesia untuk membuat masyarakat lebih sejahtera, apa mesin pertumbuhannya?

“Jika Indonesia merasa penting dalam hal keanekaragaman hayati dan isu tata guna lahan kehutanan. Melestarikan kehutanan juga sangat penting dalam hal teknologi,” ungkapnya.

Chung menuturkan bahwa bukan hanya soal menjaga lingkungan, namun upaya itu memiliki potensi besar untuk membuat seluruh masyarakat lebih sejahtera.

Baginya, karena Indonesia sangat menekankan pentingnya energi terbarukan. Kebijakan yang banyak ditekankan terkait itu adalah realisasi kebijakan transisi energi. Misalnya seperti beralih ke moda transportasi yang lebih efektif dan ramah lingkungan sehingga berdampak positif bagi iklim Bumi.

Untuk mengurangi emisi karbondioksida, saran Chung, Indonesia bisa beralih ke mobil listrik daripada mobil disel atau transportasi massal fast train (kereta cepat).

“Ini ramah lingkungan dan lebih murah,” tegas Chung.

Saat ini Korea Selatan juga tengah mengembangkan mobil hidrogen, yang diyakini akan lebih murah dari pada mobil listrik.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4664455/indonesia-korea-satu-tujuan-atasi-perubahan-iklim-kehutanan-hingga-bakau-jadi-sorotan

2021
Korea Selatan Konsisten dengan Kebijakan Mengatasi Perubahan Iklim

Suci Sekarwati – Tempo


Produsen mobil asal Korea meluncurkan kendaraan listrik hibrida terbaru , Kia K5 Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) di Seoul, Korea Selatan 12 Juli 2016. REUTERS/Kim Hong-Ji

TEMPO.CO, Jakarta – Korea Selatan telah menjadi salah satu negara yang unggul dalam mengembangkan green economic. Ini tidak lepas dari upaya tiga Presiden Korea Selatan di pemerintahan berbeda, yang konsisten dalam penanganan perubahan iklim.

Suh-Yong Chung Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, menjelaskan dalam pemerintahan mantan Presiden Lee Myung-bak periode 2008 – 2013, diterapkan kebijakan Low Carbon Green Growth.

Sedangkan pada pemerintahan berikutnya, yakni mantan Presiden Park Geun-hye periode 2013 – 2017, dikembangkan ekonomi kreatif. Mantan Presiden Park ketika itu, fokus pada peningkatan kapasitas ekonomi dalam memenuhi kebutuhan global di sektor perubahan iklim.

Di pemerintahan Presiden Moon Jae-in, Korea Selatan mengembangkan tiga kebijakan, yakni transisi energi, green new deal dan kebijakan carbon neutral. Untuk kebijakan green new deal, ini adalah bagian dari rencana pemulihan Korea Selatan dari pandemi Covid-19.

Dalam green new deal tersebut, Seoul berencana menanamkan investasi sebesar €54.3 miliar (Rp 918 triliun) agar bisa mengubah infrastruktur yang ada ke green infrasturture dan memotivasi industri Korea Selatan agar menjadi industri hijau serta menciptakan 659 ribu lapangan kerja.

Sedangkan kebijakan carbon neutral adalah ambisi Korea Selatan untuk mencapai netralitas karbon per-tahun 2050. Demi mewujudkan target tersebut, pada Desember 2020 Korea Selatan mengadopsi strategi carbon-neutral untuk menciptakan sebuah masyarakat hijau dan berkesinambungan.

“Korea Selatan itu dulunya miskin, namun sekarang kami menjadi negara maju. Kami tidak bisa memproduksi minyak, sekitar 70 persen wilayah kami adalah pegunungan, yang kami punya hanya SDM. Kebijakan bidang perubahan iklim di Korea Selatan, untungnya konsisten dari tiga pemerintahan yang berbeda. Kami belajar dari pengalaman dan melihat bagaimana negara-negara lain bergerak maju,” kata Suh, dalam workshop online, Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu, 1 September 1, 2021, yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan FPCI.   

Korea Selatan salah satunya unggul dalam pengembangan teknologi mobil listrik. Suh mengatakan pengenalan mobil dengan energi listrik ini, untuk mewujudkan iklim yang lebih baik. Penggunaan mobil energi listrik ini, tidak diwajibkan, namun masyarakat diberikan pilihan.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1501494/korea-selatan-konsisten-dengan-kebijakan-mengatasi-perubahan-iklim/full&view=ok

2021
Indonesia Diminati Negara Donor Penanganan Perubahan Iklim

Idealisa Masyrafina – Repubulika


Sejumlah warga menyusuri kawasan hutan mangove di wilayah Kedonganan, Badung, Bali, Jumat (18/6/2021). Berbagai potensi yang ada di kawasan hutan mangrove tersebut mulai dikenalkan kepada masyarakat sebagai destinasi edukasi pelestarian mangrove dan ekowisata.

Banyak negara tertarik berinvestasi penanganan perubahan iklim di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hutan hujan Indonesia dianggap sangat penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini yang menyebabkan banyak negara-negara pendonor berminat untuk berinvestasi dalam penanganan perubahan iklim.

Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, Suh-Yong Chung menilai bahwa Indonesia perlu meningkatkan kebijakan diplomasinya ke dunia internasional dalam mengangkat isu perubahan iklim. Ia mencontohkan isu hutan mangrove yang sangat krusial dalam penyerapan karbon.

“Indonesia dapat memimpin diskusi tentang isu spesifik ini (mangrove) yang sesuai dengan implikasi global. Jadi, setiap negara memiliki kepentingan di Indonesia,” kata Suh-Young Chung dalam workshop Indonesia-Korean Journalist Network yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta, Rabu (1/9).

Chung menjelaskan bahwa dalam mengangkat isu-isu tersebut, Indonesia bisa mengajak negara-negara atau organisasi-organisasi sebagai partner, seperti Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), negara-negara kelompok G20, atau New Southern Policy.

Hal ini bisa memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan pembiayaan iklim dari negara-negara pendonor.

“Dalam konteks proyek ODA (official development assistance), Indonesia harus mengidentifikasi partner yang bagus. Contohnya Norwegia yang berminat menjadi pendonor,” kata Chung.

Akan tetapi, ia menekankan pentingnya transparansi yang masih kurang, serta kapasitas untuk mengukur kontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Padahal, kedua hal ini sudah ditekankan dalam Paris Agreement.

Kedua hal ini yang menyebabkan Indonesia sulit mendapatkan donor dalam pembiayaan iklim. Padahal, Green Climate Fund (GCF) sangat berminat dengan Indonesia.

Selain itu, Chung juga mengingatkan bahwa kerjasama antara Korea Selatan dan Indonesia dalam penanganan perubahan iklim sangat krusial. Korea Selatan memiliki pengalaman yang baik dalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), dan telah bekerjasama dengan berbagai proyek kehutanan Indonesia.

“Kita punya jaringan global yang bisa kita manfaatkan, tentunya nantinya kita bisa melakukan pengembangan bersama proyek-proyek ODA dengan organisasi internasional terpilih untuk pendanaan yang ditingkatkan dari KOICA/ADB/GCF,” kata Chung.

2021
Peluang Besar Indonesia – Korea Selatan Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim

Laela Zahra – Metro TV


Pembangkit listrik tenaga angin Korea Selatan. Foto: AFP.

Seoul:Indonesia dan Korea Selatan memiliki peluang besar membangun kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim. Menciptakan teknologi ramah lingkungan untuk masyarakat luas, adalah upaya yang tengah dilakukan Korea Selatan.

Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan Suh-Yong Chung meyakini Indonesia memiliki tujuan yang sama dengan Korea Selatan dalam mengatasi perubahan iklim.

“Saya yakin indonesia sangat tertarik untuk membuat masyarakat lebih sejahtera, dalam arti apa mesin penggeraknya? Sekali lagi tentang teknologi ramah lingkungan. Ketika Anda berbicara tentang energi terbarukan, kita berbicara tentang teknologi angin, teknologi surya,” kata Chung dalam workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, pekan ini.

Menurutnya, upaya mengatasi perubahan iklim sangat penting untuk melindungi lingkungan. Lebih dari itu, kebijakan pemerintah dalam hal ini memiliki potensi besar, untuk membuat masyarakat dunia lebih sejahtera. Realisasi transisi energi menjadi penekanan bagi tiap negara.

“Indonesia telah menekankan kepada masyarakat pentingnya energi terbarukan, memiliki kebijakan untuk menempatkan penekanan besar pada teknologi terbarukan, yaitu kebijakan transisi energi,” terangnya.

Kerja sama dalam penggunaan kendaraan ramah lingkungan adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan kedua negara, untuk mengurangi emisi karbondioksida. “Akan lebih baik jika masyarakat Indonesia mengendarai mobil listrik dari pada mobil disel. Lebih baik juga jika Indonesia memiliki transportasi massal kereta cepat. Ini ramah lingkungan dan lebih murah,” kata Chung.

Di Korea Selatan, mobil listrik telah diproduksi massal dan diminati masyarakat karena harganya lebih murah. Saat ini Korea Selatan juga tengah mengembangkan mobil hidrogen, yang diyakini akan lebih murah dari pada mobil listrik. Chung meilai penggunaan kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan sangat berdampak positif bagi iklim bumi.

Realisasi mengatasi perubahan iklim yang berkelanjutan, menurut Chung, perlu konsistensi kebijakan pemerintah dalam jangka panjang. Indonesia diharapkan memiliki kebijakan jangka panjang tersebut.

Korea Selatan memiliki konsistensi kebijakan tentang perubahan iklim dalam tiga masa pemerintahan terakhir. Dimulai dengan kebijakan meningkatkan pertumbuhan karbon hijau pada pemerintahan Lee Myung-Bak, kebijakan ekonomi kreatif pada pemerintahan Park Geun-Hye, dan dilanjutkan dengan kebijakan transisi energi pada pemerintahan saat ini. Korea juga aktif terlibat dalam organisasi tingkat dunia untuk misi mengatasi perubahan iklim, salah satunya pada konferensi tingkat tinggi G20 yang lalu di Arab Saudi. 


Sumber: https://www.medcom.id/internasional/asia-pasifik/GNlgoyBK-peluang-besar-indonesia-korea-selatan-kerja-sama-atasi-perubahan-iklim

2021
Upaya agar kendaraan listrik “mengaspal” di Indonesia

Desca Lidya Natalia – Antara News


Jakarta (ANTARA) – Pada peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-26 yang dilangsungkan pada 10 Agustus 2021, Presiden Jokowi menyebut pengembangan teknologi di Indonesia tidak boleh hanya berhenti di sektor hulu namun juga mengalir ke hilir.

“Kita memiliki kesempatan besar dalam membangun industri mulai dari hulu sampai hilir, sebagai contoh, pertambangan nikel, kita punya tambang nikel, tapi tidak boleh berhenti di situ saja. Kita harus mengembangkan industri hilir seperti industri litium baterai sampai produksi mobil listrik,” kata Presiden melalui tayanan di kanal Youtube Sekretariat Presiden.

Menurut Presiden, salah satu pilar kebijakan pemerintah saat ini adalah hilirisasi industri dalam negeri sehingga tidak boleh hanya memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi harus meningkatkan nilai tambah dan peluang kerja melalui pengembangan industri hilir.

Sebelumnya, mantan Menteri Riset dan Teknologi Indonesia/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro memang sempat mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang mendorong produksi baterai listrik selain terus mengembangkan baterai litium dan teknologi “fast charging”.

Baterai tersebut digunakan untuk keperluan kendaraan listrik dengan harapan begitu kendaraan listrik dipromosikan sebagai komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi.

Produksi baterai litium bahkan masuk ke dalam lima strategi dalam prioritas Riset Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Memang berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sepanjang 2019 menjadi produsen terbesar di dunia yang menghasilkan 800.000 ton bijih nikel per tahun.

Untuk pembuatan baterai dibutuhkan tiga bahan baku utama yaitu nikel, lithium dan kobalt. Untuk nikel, Indonesia menguasai sebesar 30 persen dan dibandingkan beberapa negara lain, keunggulan Indonesia yaitu memiliki nikel laterit.

Dua perusahaan besar Korea Selatan yaitu Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution pada 28 Juli 2021 pun telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Indonesia untuk membentuk perusahaan patungan (joint venture) di Indonesia yang memproduksi sel baterai dari mobil listrik bertenaga baterai atau “Battery Electric Vehicle” (BEV)

Berdasarkan MoU tersebut, Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution akan menginvestasikan dana senilai 1,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,9 triliun ke dalam “joint venture” untuk membangun pabrik sel baterai di Karawang, Indonesia.

Pembangunan pabrik dijadwalkan akan dimulai pada kuartal keempat tahun 2021, dan akan selesai pada semester pertama 2023 sedangkan produksi massal sel baterai di fasilitas baru ini diharapkan akan dimulai pada semester pertama 2024.

Produksi sel baterai tersebut ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan lebih dari 150.000 kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) per tahun. Hingga 2025, Hyundai Motor Group diketahui ingin memperluas jajaran BEV ke lebih dari 23 model dan menjual 1 juta BEV setiap tahun di pasar global.

Sementara PT Toyota Astra Motor juga menggandeng Toyota Motor Manufacturing Indonesia untuk produksi mobil listrik model kendaraan Hybrid Electric Vehicle (HEV) di Indonesia mulai 2022 dengan rencana investasi mencapai 2 miliar dolar AS untuk lima tahun mendatang.

Tantangan dan akselerasi

Namun berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tercatat realisasi total penjualan mobil listrik di Indonesia sepanjang semester pertama 2021 mencapai 1.900 unit. Angka tersebut tak jauh beda dibandingkan penjualan tahun sebelumnya yaitu 1.234 unit.

Jumlah tersebut tentu jauh dibanding angka penjualan mobil konvensional pada Januari-Juni 2021 yang mencapai 393.469 unit.

Harus diakusi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan rendahnya minat masyarakat Indonesia atas mobil listrik.

Pertama, harga mobil listrik yang masih cenderung lebih mahal dibandingkan mobil konvensional; kedua, daya jelajah kendaraan listrik yang terbatas; dan ketiga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang masih minim.

Mobil listrik memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil konvensional karena komponen utamanya, yaitu baterai, belum diproduksi secara massal. Padahal harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik.

Salah satu mobil listrik termurah adalah Renault Twizy yang dibanderol seharga Rp408 juta dan mampu mencapai 0-45 km per jam dalam 6,1 detik, dengan kecepatan puncak hingga 80 km/jam sedangkan yang termahal adalah Tesla Model S Plaid+ senilai Rp4,4 miliar.

Untuk melakukan akselerasi terhadap kendaraan listrik di Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada 18 Agustus 2021 telah meluncurkan proyek percontohan konversi sepeda motor berbahan bakar minyak ke listrik di lingkungan kementeriannya dalam rangka percepatan penerapan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Program KBLBB dalam Grand Strategi Energi Nasional ditargetkan sebanyak 13 Juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada tahun 2030, dengan potensi pengurangan konsumsi BBM sebesar 6 juta kiloliter per tahun dan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 7,23 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Pelaksanaan program konversi dilakukan pada pertengahan Agustus 2021 secara bertahap sampai akhir November 2021 dengan target konversi 100 unit sepeda motor untuk tahap awal yang tersebar di seluruh satuan kerja Kementerian ESDM wilayah Jabodetabek.

Program tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Menindaklanjuti peraturan itu, sejumlah peraturan turut mendukung akselerasi mobil listrik di Indonesia. Misalkan PP Nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor (PPnBM).

Dalam aturan ini, pengenaan pajak akan berdasarkan emisi gas buang. Artinya, semakin besar emisi sebuah kendaraan, maka pajaknya akan semakin besar.

Kementerian ESDM memperkirakan pada 2021 akan ada 125 ribu unit mobil listrik di dalam negeri. Selanjutnya pada 2030, diperkirakan mobil listrik mencapai 2,2 juta unit.

Dengan asumsi tersebut maka kendaraan listrik dapat mengurangi konsumsi BBM hingga 9,44 juta kilo liter per tahun. Pemerintah juga mempunyai target panjang untuk menghadirkan 2 juta unit mobil listrik pada 2030 yang bisa menurunkan emisi CO2 sebanyak 11,1 juta ton serta menghemat devisa hingga 1,8 miliar dolar karena pengurangan impor BBM.

Sedangkan di tingkat global, diproyeksikan pada 2023 ada sekitar 269 juta unit kendaraan berbasis tenaga listrik dan pada 2050, kendaraan listrik akan mencapai lebih dari 600 juta unit.

Insentif

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana juga menyebut bahwa pemerintah telah memberikan berbagai insentif untuk meningkatkan minat penggunaan kendaraan listrik.

Salah satu insentif adalah kepada badan usaha bisnis SPKLU yaitu insentif tarif curah sebesar Rp714 per kWh untuk Badan Usaha SPKLU dengan tarif penjualan maksimal Rp2.467/kWh.

Pemerintah juga telah mengatur keringanan biaya penyambungan maupun jaminan langganan tenaga listrik, serta pembebasan rekening minimum selama dua tahun pertama untuk Badan Usaha SPKLU yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero).

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2021 bahwa penetapan wilayah untuk SPKLU tidak lagi membutuhkan rekomendasi dari pemerintah daerah, melainkan dapat diganti dengan dokumen kepemilikan lahan SPKLU atau perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan SPKLU.

Tak hanya bagi badan usaha SPKLU, pemerintah juga memberikan insentif kepada pemilik kendaraan listrik.

Pemilik kendaraan listrik mendapatkan biaya pasang spesial untuk tambah daya hingga 11.000 VA dengan biaya Rp150.000 untuk satu fasa. Sedangkan tambah daya hingga 16.500 VA biayanya Rp450.000 untuk tiga fasa.

Pemerintah juga memberikan insentif tarif tenaga listrik “home charging”, yakni diskon 30 persen selama tujuh jam pada pukul 22.00 malam sampai pukul 05.00 pagi. Diskon ini diberikan kepada pemilik kendaraan listrik dengan home charging yang terkoneksi pada sistem PLN.

Hanya saja, jika mengisi mobil listrik di rumah perlu waktu setidaknya 17 jam lebih dari hingga baterai penuh 100 persen dari kondisi 0 persen. Sedangkan di SPKLU hanya butuh sekitar 3 jam jika menggunakan “charger” biasa, atau 1 jam jika menggunakan “fast charger”.

Di Indonesia, pemermintah menargetkan 2,2 juta mobil listrik mengaspal di Indonesia pada 2030.

Meski per Agustus 2021, data menunjukkan jumlah kendaraan bermotor listrik di Indonesia baru mencapai 1.478 untuk roda empat, 188 untuk roda tiga, dan 7.526 unit untuk roda dua.

Target tersebut perlu diimbangi dengan pembangunan infrastruktur pendukung seperti SPKLU dan SPBKLU. Pada 2021, dari target 572 unit SPKLU baru ada 166 unit yang terbangun.

Jumlah SPKLU juga akan bertambah hingga 31.859 unit SPKLU pada 2030 untuk mengimbangi perkirakan sekitar 2,2 juta unit kendaraan listrik di Indonesia pada 2030.

Mencontoh Korea Selatan

Indonesia sesungguhnya dapat mencontoh strategi yang diterapkan oleh Korea Selatan (Korsel) untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik oleh masyarakatnya.

“Di Korsel, tiba-tiba banyak orang yang menggunakan mobil listrik, tahu kenapa? Karena lebih murah, pemerintah memberikan banyak subsidi ke kendaraan listrik,” kata dosen International Studies di Korea University Suh Yong Chung.

Dalam program “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, Suh Yong Chung menyampaikan bahwa, alasan kedua adalah harga isi ulang baterai listrik lebih murah bila dibandingkan dengan BBM walau butuh waktu lebih lama untuk melakukan pengisian baterai.

Alasan ketiga, adalah menggunakan mobil listrik membuat pengendaranya kelihatan keren, dan ini penting karena manusia punya kecenderungan untuk tampil keren dengan kata lain menggunakan kendaraan listrik memberikan citra lebih baik dibanding menggunakan kendaraan lain. Suh mengakui bahwa pemerintah Korsel memberikan banyak subsidi bagi kendaraan listrik. Tentu masih ada masalah dalam praktiknya seperti bagaimana mencari tempat pengisian baterai tapi pemerintah memberikan banyak subsidi, dan setelah mengendarai mobil listrik menjadi kebiasaan, maka ongkos secara keseluruhan akan lebih murah dibanding kendaraan berbahan bakar bensin.

Pemerintah Korsel diketahui memberikan hingga 19 juta won (sekitar Rp232,6 juta) bagi rakyatnya yang membeli mobil listrik pada 2021 serta subsidi 37,5 juta won (sekitar Rp459,13 juta) bagi pembeli kendaraan berbahan bahar hidrogen demi memastikan lebih banyak mobil ramah lingkungan di negara tersebut.

Pemerintah Korsel menargetkan menambah 136 ribu kendaraan listrik dan hidrogen pada 2021 serta menambah stasiun isi ulang baterai kendaraan listrik sebanyak 31.500 unit dan 54 stasiun pengisian hidrogen.

Program subsidi kendaraan ramah lingkungan tersebut adalah bagian dari insiatif “Green New Deal” di bawah pemerintahan Presiden Moon Jae In yang diluncurkan pada Juli 2021 yang mendorong penggunaan energi terbarukan, infrastruktur dan industri ramah lingkungan serta mengatasi polusi udara dan air.

Korsel juga Korea Selatan menargetkan dapat meningkatkan pangsa pasar kendaraan listrik global dari 2,2 persen menjadi 33 persen pada 2030, dengan fokus pada kendaraan listrik dan hidrogen.

Pada 2019, jumlah kendaraan listrik yang terdaftar di Korsel tumbuh sekitar 15 persen dibandingkan 2018. Dari lebih dari 601 ribu kendaraan ramah lingkungan yang terdaftar secara nasional, 506 ribu adalah mobil hibrida dan 90 ribu adalah kendaraan listrik murni.

Dari kendaraan-kendaraan listrik tersebut Hyundai Kona yang dirilis pada 2018 adalah kendaraan listrik terlaris di pasar domestik pada 2019. Hyundai Motor Company diketahui memulai produksi massal kendaraan listrik dan hibrida pada 2009.

Hyundai awalnya tidak terlalu tertarik untuk memproduksi mobil listrik dan lebih suka memproduksi kendaraan hidrogen, tapi perusahaan itu mulai menggarap mobil listrik saat Tesla berkembang menjadi produsen mobil listrik global.

Suh mengakui bahwa raksasa otomotif Korsel tersebut tidak memproduksi teknologi mobil listrik dari nol.

“Mereka tentu sudah punya modal dan teknologi awal untuk memproduksi mobil listrik, tapi dengan dukungan pemerintah menjadi pendorong bagi Hyundai untuk memperoduksi mobil listrik. Saya sendiri dalam 5 tahun ke depan mungkin akan membeli mobil listrik,” tambah Suh.

Untuk itu disarakan agar industri mobil listrik dapat tumbuh maka pemerintah harus menjadikan industri tersebut sebagai salah satu mesin pendorong ekonomi nasional.

“Tapi memang hal tersebut dapat dilakukan secara bertahap, pemerintah dapat berinvestasi ke teknologi menengah lebih dulu lalu bertahap menuju teknologi tinggi sehingga akan lebih mudah menciptakan pasarnya,” kata Suh. Pertanyaan yang tinggal adalah sanggupkah kendaraan listrik mengimbangi kecepatan dan kemampuan mobil konvensional serta menarik minat publik Indonesia?

Kendati hampir semua produsen otomotof sudah berlomba membawa mobil listriknya ke Indonesia, namun tetap melihat potensi pasar mobil listrik di Tanah Air di masa datang. Tentunya, juga sangat terkait dengan kesiapan konsumen dan infrastruktur pendukung elektrifikasi. Selain itu, para pemain teknologi kendaraan juga harus mempelajari betul berbagai regulasi dan kebutuhan konsumen agar dapat menentukan teknologi yang paling sesuai untuk Indonesia.


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2380398/upaya-agar-kendaraan-listrik-mengaspal-di-indonesia


Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net