• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

December 23, 2021

2021
Pengalaman Korea Selatan & Manuver Indonesia dalam Presidensi G20

Ana Noviani – Bisnis.com


Kepala negara anggota G20 berpose di sela-sela KTT G20 Italia pada 2020. – g20.org

Bisnis.com, JAKARTA — Perhelatan besar bakal digelar oleh Indonesia pada 2022 seiring dengan beralihnya tongkat estafet presidensi G20 dari tangan Italia. Di antara negara Asia anggota Group of Twenty, Korea Selatan sudah lebih dulu memiliki pengalaman dalam presidensi G20 pada 2010.

Indonesia resmi memegang presidensi G20 sejak 1 Desember 2021. Presiden Joko Widodo mengatakan kepercayaan itu merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar bagi pemulihan ekonomi dunia, untuk membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil, dan berkelanjutan berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sejalan dengan hal tersebut, presidensi G20 Indonesia mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”. Presiden menjelaskan bahwa dalam presidensi G20 tersebut, Indonesia akan fokus untuk mengerjakan tiga hal.

“Pertama, penanganan kesehatan yang inklusif. Kedua, transformasi berbasis digital. Ketiga, transisi menuju energi berkelanjutan,”ujar Jokowi seperti dikutip dari laman resmi presidenri.go.id, Kamis (23/12).

Jokowi menambahkan Indonesia berupaya keras untuk menghasilkan inisiatif-inisiatif konkret untuk mendorong pemulihan situasi global agar segera pulih dari pandemi Covid-19 dan menjadi kuat.

Presidensi G20 Indonesia diharapkan dapat berkontribusi mendukung pemulihan ekonomi domestik, melalui rangkaian pertemuan secara kumulatif yang menghadirkan ribuan delegasi dari seluruh negara anggota dan berbagai lembaga internasional.

Kehadiran para delegasi berpotensi memberi manfaat bagi perekonomian Indonesia, baik secara langsung, terhadap sektor jasa; perhotelan, transportasi, UMKM, dan sektor terkait lainnya, maupun secara tidak langsung melalui dampak terhadap persepsi investor dan pelaku ekonomi.

Setidaknya tiga manfaat yang akan didapatkan oleh Indonesia kala ditunjuk memegang Presidensi G20 dari aspek ekonomi, yakni terbukanya peluang peningkatan konsumsi domestik yang dapat capai Rp1,7 triliun, penambahan produk domestik bruto (PDB) yang diperkirakan akan mencapai sekitar Rp7,47 triliun, dan terdapat pelibatan tenaga kerja sekitar 33.000 pekerja di berbagai sektor industri di masa mendatang.

“Tentunya ini akan mendorong confidence dari investor global untuk percepatan pemulihan ekonomi yang mendorong kemitraan global yang saling menguntungkan,” tutur Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan Indonesia akan mengadakan sekitar 150 pertemuan dan acara sampingan yang akan berlangsung di berbagai kota dalam rangkaian forum G20. Gelaran itu terdiri atas pertemuan Working Groups, Engagement Groups, Deputies/Sherpa, Ministerial, side events, dan KTT G20 di Bali. “Kami berharap pada masa kepresidesian Indonesia, akan ada kesepakatan tentang prinsip panduan sistem perpajakan internasional untuk mencapai perpajakan yang adil, sederhana dan merata, baik untuk negara maju maupun negara berkembang,” ujarnya.

Indonesia sudah bergabung menjadi anggota G20 sejak forum internasional itu dibentuk pada 1999. Namun, tahun depan merupakan kali pertama Indonesia berperan sebagai presidensi G20.

Forum yang berisi 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa itu memiliki posisi strategis karena secara kolektif merupakan representasi dari 85% ekonomi dunia, 75% perdagangan internasional, 80% investasi global, dan 60% populasi dunia.

Baru ada enam negara anggota dari Asia yang menjadi presidensi G20 sejak 2008. Mereka ialah Korea Selatan (2010), Turki (2015), China (2016), Jepang (2019), Arab Saudi (2020), dan Indonesia (2022).

Pada 2010, Korea Selatan mengusung tema “Shared Growth Beyond Crisis” dalam presidensi G20. Saat itu, Republik Korea dipimpin oleh Presiden Lee Myung-bak mengusung tema tersebut agar anggota G20 bahu-membahu untuk pulih dari krisis ekonomi global pada 2008.

Beberapa inisiatif yang diusung Korsel sebagai presidensi G20 pada 2010 antara lain pengembangan jaring pengaman finansial global dan mengamankan bantuan internasional melalui aktivitas dengan negara-negara non-G20 dan lembaga internasional.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau The G20 Seoul Summit fokus pada sejumlah topik prioritas. Salah satunya risiko “perang” mata uang.

Melansir laman resmi Kementerian Luar Negeri Korea Selatan, kebijakan G20 saat itu mengarah untuk mendorong nilai tukar berbasis pasar uang yang merefleksikan fundamental ekonomi serta pembentukan nilai tukar yang lebih fleksibel.

“Hal itu tidak mungkin tercapai tanpa pemahaman bersama yang kuat di antara para pemimpin G20 terhadap semangat kerja sama internasional dan kesepakatan untuk mencegah ekonomi global mengarah pada proteksionisme,” tulisnya.

Terkait dengan global financial safety nets, KTT G20 Seoul juga menghasilkan sistem respons pencegahan untuk krisis keuangan masa depan dengan meningkatkan kredit fleksibel existing dan memperkenalkan kredit pencegahan dan kredit multinasional yang fleksibel.

Woo Jung Yeop, Research Fellow The Sejong Institute, mengatakan Korea Selatan memiliki ruang yang luas dalam menjalankan presidensi G20 pada 2010. Alasannya, Presiden Korsel saat itu Lee Myung-bak merupakan konservatif yang pro-AS. Ditambah lagi, relasi Amerika Serikat dan China sedang adem-ayem.

Saat itu, lanjutnya, Presiden AS Barack Obama tidak memiliki konflik terbuka dengan Beijing. Alhasil, tidak terjadi tarik menarik kepentingan antara AS dan China di dalam forum G20.

“Saat presidensi G20, Korea Selatan bisa bermanuver dengan mengundang lebih banyak negara, menetapkan agenda G20 dan lainnya,” tutur Woo dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.

Menurutnya, sikap Obama yang mendorong diplomasi multilateral membuat forum G20 pada 2010 bisa menghasilkan kesepakatan yang mempererat kolaborasi antarnegara anggota maupun dengan negara non-G20, termasuk antara negara berkembang (emerging market) dengan negara maju.

Tensi politik global yang stabil, lanjutnya, membuat Korea Selatan dapat memetik manfaat dari presidensi G20. Selain AS, Korsel mencatat nilai ekonomi yang besar dari China terutama dalam ekspor.

“Korsel menjaga kerja sama dengan AS tetapi Korsel menikmati nilai ekonomi dari China karena nilai perdagangan dengan China lebih besar daripada kombinasi AS dan Jepang. Ekspor terbesar semikonduktor itu ke China,” imbuhnya.

Moon Jae-in, Presiden Korea Selatan yang menjabat saat ini, mengatakan Korsel telah memantapkan posisi sebagai salah satu dari 10 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Pendapatan per kapita Negeri Kpop itu mencapai US$30.000 dan diharapkan meningkat menjadi US$35.000 pada tahun ini.

Bahkan di dalam krisis, lanjutnya, ekonomi Korsel mengalami akselerasi sejalan dengan berkembangnya mesin ekonomi baru dan transisi ekonomi yang dinamis dan berdaya saing. Moon juga menyoroti perkembangan pesat industri Korea, termasuk K-pop, K-drama, semikonduktor, baterai, mobil canggih, biohealth, galangan kapal, hingga K-beauty yang makin merambah pasar global dan prospektif di masa depan.

“Kebijakan ekonomi pada 2022 mencakup determinasi pemerintah untuk mencapai normalisasi melewati krisis akibat pandemi. Kami akan terus meningkatkan vitalitas di berbagai sektor–dari ekspor ke investasi dan konsumsi–agar momentum pemulihan yang cepat terus berjalan,” tuturnya dalam Economic Policy Direction Briefing pada Senin (20/12/2021) seperti dikutip dari situs resmi presiden.go.kr.

Moon menambahkan pemerintah Korsel akan bersemangat untuk mengimplementasikan the Korean New Deal 2.0 untuk sungguh-sungguh mendorong transisi ke pertumbuhan ekonomi, era netral karbon, ramah lingkungan, dan ekonomi rendah karbon.

KEPENTINGAN INDONESIA

Dalam presidensi G20 pada 2022, Woo memperkirakan kondisi berbeda akan dihadapi Indonesia. Saat ini, dua kutub negara adidaya AS dan China sedang dalam kompetisi untuk menjadi yang terkuat di kancah global.

“Dengan kompetisi yang makin ketat antara AS-China, manuver Indonesia dalam presidensi G20 jadi terbatas. Bukan karena kapasitas atau kemampuan Indonesia yang berbeda dengan Korel, melainkan karena lingkungan eksternal,” papar Woo.

Menurutnya, negara anggota G20 termasuk Indonesia yang pada 2022 berperan sebagai presidensi G20, harus menyikapi kompetisi duo hierarki AS dan China dengan mempertimbangkan kepentingan nasional masing-masing.

Salah satu strategi Indonesia di tengah agenda G20 ialah mengakselerasi pengembangan kendaraan listrik. Dalam perhelatan KTT G20 di Bali pada 2022, PT PLN (Persero) menjalin kerja sama dengan perusahaan otomotif Korea Selatan Hyundai untuk pengadaan kendaraan listrik bagi kepala negara selama konferensi tingkat tinggi berlangsung.

Seperti dikutip Bisnis, Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan PLN, pemerintah, dan Hyundai juga memacu pengembangan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dengan teknologi ultra fast charging di Bali.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo akan berupaya mengajak negara G20 berdiskusi tentang rencana Indonesia ikut menerbitkan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC).

“Indonesia akan mendorong pembicaraan cross-border payment system berkaitan dengan remitansi, berkaitan dengan bagaimana open API-nya. Dan di dalam agenda payment system ini adalah bagaimana kami bisa juga mendapat general principal [prinsip umum] untuk CBDC,” kata Perry dalam Fintech Summit, Sabtu (11/12/2021).

Belum lama ini, Presiden Jokowi juga menyampaikan sejumlah agenda prioritas presidensi G20 Indonesia dalam pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Anthony J. Blinken pada Senin (13/12/2021).

Indonesia, kata Jokowi, mengharapkan AS dapat menjadi mitra di bidang ekonomi, investasi, hingga kesehatan. Tak hanya di bidang ekonomi dan investasi infrastruktur, AS juga menyambut baik keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam rantai pasok bidang kesehatan.

“Indonesia akan terus mengembangkan strategic trust dengan semua negara dan semua mitra Indonesia,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.


Sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20211223/19/1481107/pengalaman-korea-selatan-manuver-indonesia-dalam-presidensi-g20

2021
Peluang Riset Energi Bersih Dua Negara Mitra Strategis

Adhitya Ramadhan – Kompas


Warga pulang dari menggembala sapi di dekat deretan kincir angin Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo I di Jeneponto, Sulawesi Selatan, Minggu (23/6/2019). Terdapat 20 turbin angin di PLTB Tolo dengan kapasitas masing-masing 3,6 MW. Setiap menara mencapai tinggi 138 meter dengan panjang bilah 64 meter. Ini berbeda dari PLTB Sidrap yang menaranya setinggi 80 meter dengan panjang bilah 56 meter. PLTB berkapasitas 72 megawatt ini merupakan satu dari dua PLTB di Sulawesi Selatan.

Selama ini, sektor energi menyumbang emisi karbon yang signifikan di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Korea Selatan. Keduanya menghadapi masalah  soal emisi karbon dan memiliki komitmen yang sama terhadap pengurangan emisi.


Sumber: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/12/23/peluang-riset-energi-bersih-dua-negara-mitra-strategis

2021
Korsel Disebut Tak Lagi Mengejar Unifikasi dengan Korut

Riva Dessthania – CNN Indonesia


Jakarta, CNN Indonesia — Setelah 73 tahun terpisah, Korea Selatan disebut sudah tak lagi memprioritaskan upaya penyatuan kembali atau unifikasi dengan Korea Utara.

Peneliti senior di The Sejong Institute sekaligus Direktur Asan Institute for Policy Studies, Profesor Woo Jung-yeop, mengatakan pemerintahan Korsel saat ini sudah tak lagi berambisi mencapai reunifikasi dengan Korut seperti para pendahulu mereka.

“Sudah lewat masa itu. Pada medio 1950 dan 1960–beberapa tahun setelah pemisahan Korea dan Perang Korea–memang ada perdebatan tentang reunifikasi dengan Korut di pemerintahan Korsel, apakah Korsel perlu menjajaki Korut untuk mencapai reunifikasi. Tapi sekarang tidak lagi,” kata Woo dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digagas Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) beberapa waktu lalu.

Dalam acara kolaborasi dengan Korea Foundation Jakarta itu, Woo menuturkan ia juga yakin bahwa pemerintahan Korsel saat ini yang dipimpin Presiden Moon Jae-in juga tak memiliki urgensi untuk membentuk kebijakan mengejar reunifikasi dalam waktu dekat.

Menurut Woo terlalu banyak perbedaan yang harus diselesaikan oleh kedua negara dan masyarakatnya jika memang ingin mengejar unifikasi. Mulai dari kesenjangan ekonomi, sosial, hingga perkembangan budaya dan ideologi.

Meski begitu, Woo mengatakan pemerintah dan masyarakat Korsel tetap memiliki kebijakan dan kebijaksanaan bahwa mereka mendukung unifikasi jika memang itu terjadi di masa depan.

Ia menuturkan prioritas bagi bangsa Korea adalah tetap menjaga perdamaian di Semenanjung Korea.

“Keinginan untuk unifikasi semakin menipis di antara publik Korsel, terutama pada generasi muda. Saya tak yakin pemerintah Korsel merancang kebijakan untuk mengejar unifikasi langsung, tetapi kami sedang mempersiapkan bahwa kami mungkin perlu menerima unifikasi jika itu terjadi” ucap Woo.

“Jadi orang Korsel akan menerima unifikasi jika itu terjadi di masa depan, tetapi tidak mengejar langsung unifikasi,” tuturnya menambahkan.

Peran Indonesia soal Reunifikasi

Woo menganggap negara ASEAN terutama Indonesia bisa menjadi mediator netral atau honest broker untuk memfasilitasi dialog damai Korut dan Korsel.

Sebab, menurut Woo, Indonesia memiliki sejarah hubungan yang baik dengan kedua Korea. Selain itu, Indonesia juga tidak memiliki kepentingan terkait Semenanjung Korea.

Meski begitu, Woo pesimistik jika peran Indonesia bahkan negara lain dapat signifikan membantu menyatukan kedua Seoul dan Pyongyang.

Selain karena ambisi reunifikasi kian surut, Woo mengatakan Korut tak bisa dipengaruhi oleh pihak eksternal agar mengubah sikapnya, meski itu oleh China yang merupakan sekutu terdekat Pyongyang.

“Tidak ada negara yang bisa paksa Korut untuk mengubah sikap sejak Perang Dingin berakhir. Bahkan China sekali pun,” ucap Woo.

“Negara ASEAN seperti Indonesia mungkin bisa mengambil peran dalam memfasilitasi dialog kedua Korea sebagai honest broker karena kalian memiliki sejarah hubungan dengan kedua Korea. Tapi saya tak yakin itu pun akan berhasil di masa depan,” paparnya menambahkan.

Secara teknis, Korut dan Korsel masih berperang sejak 1950. Perseteruan kedua saudara ini berakhir 1953 hanya dengan kesepakatan gencatan senjata, bukan perjanjian damai.

Sejak gencatan disepakati, relasi Korut dan Korsel naik turun. Korsel merasa terancam dengan ambisi pengembangan senjata nuklir dan rudal Korut sehingga meminta bekingan dari Amerika Serikat.

Sementara itu, Korut merasa Korsel kerap menerapkan kebijakan bermusuhan salah satunya dengan membentuk aliansi pertahanan dan menggelar latihan militer bersama AS.

Pada April 2018, Korut-Korsel melakukan terobosan dengan menggelar pertemuan antara kedua pemimpin untuk pertama kalinya sejak 11 tahun. Presiden Moon Jae-in bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong-un, di zona demiliterisasi di perbatasan kedua Korea.

Namun, sejak itu, relasi kedua Korea naik turun lagi, terutama setelah kesepakatan denuklirisasi antara AS dan Korut mandeg.

Pada September lalu, Korut mengajukan sejumlah syarat bagi AS dan Korsel sebelum Pyongyang mau berunding mengakhiri Perang Korea 1950-1953.

Syarat itu diajukan Korut setelah Presiden Moon mengulangi seruannya lagi kepada Korut untuk mengakhiri Perang Korea secara resmi melalui perjanjian damai.

(rds/rds)


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211222232905-113-737539/korsel-disebut-tak-lagi-mengejar-unifikasi-dengan-korut/1

2021
Anak Muda Korsel Makin Was-was Bicara Isu Unifikasi dengan Korut

Riva Dessthania – CNN Indonesia


Jakarta, CNN Indonesia — Enam dari 10 anak muda Korea Selatan disebut masih mendukung reunifikasi dengan Korea Utara di tengah kesenjangan ekonomi dan sosial antara kedua Korea yang semakin kentara.

Menurut survei Kementerian Pendidikan dan Kementerian Unifikasi Korsel pada Februari lalu, 62,4 persen dari total 68.750 anak SD hingga SMA menganggap kedua Korea tetap harus bersatu kembali.

Di antara para siswa yang mendukung unifikasi, 28,4 persen dari mereka menyebutkan penyatuan kedua Korea dapat mengurangi ancaman perang, sementara 25,5 persen lainnya menyebutkan masalah sejarah etnis sebagai alasannya.

Survei itu menunjukkan tingkat dukungan generasi muda Korsel soal reunifikasi meningkat 6,9 poin dibandingkan survei serupa yang dilakukan tahun lalu.

Namun, jumlah dukungan generasi muda Korsel terhadap reunifikasi dinilai tidak sekuat satu dekade lalu. Dalam survei yang sama, jumlah anak muda yang menentang unifikasi juga naik menjadi 24,2 persen pada 2021 jika dibandingkan pada 2018 dan 2019. Menurut mereka, unifikasi dapat memunculkan masalah ekonomi dan sosial bagi Korsel.

“Isu reunifikasi masih menjadi prioritas bangsa Korsel. Itu bahkan termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar kami. Namun, memang, pandangan generasi muda soal reunifikasi tidak sekuat dahulu,” kata Profesor Woo Jung-Yeop, Peneliti Sejong Institute, dalam workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.

Menurut Woo, ada pergeseran pandangan generasi muda dari waktu ke waktu dalam menanggapi prospek hubungan Korut dan Korsel. Hal itu, katanya, dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dan sosial Korsel.

Salah satu faktor yang membuat dukungan generasi muda menurun soal reunifikasi adalah kesenjangan ekonomi. Banyak generasi muda Korsel yang khawatir reunifikasi hanya akan memperbesar tantangan yang dihadapi mereka mulai dari segi ekonomi, persaingan pekerjaan, hingga pendidikan.

Banyak anak muda Korsel yang juga khawatir reunifikasi akan mempengaruhi perekonomian dan perkembangan yang tengah dicapai Korsel sampai saat ini. Mereka khawatir unifikasi dengan Korut hanya akan membawa Korsel melangkah ke belakang.

Pasalnya, Korsel terus berkembang menjadi negara dengan perekonomian yang maju dan budaya yang mendunia.

Saat ini, hampir seluruh warga negara mengenal Korsel, terutama soal budayanya mulai dari makanan, kosmetik, musik, film, drama hingga para artisnya.

Sementara itu, Korut di tangan kepemimpinan Kim Jong-un semakin tertutup dan terisolasi akibat ambisi program senjata rudal dan nuklirnya.

Sampai saat ini, Korut masih menjadi target sanksi internasional hingga membuat tingkat kemiskinan warganya semakin tinggi.

Belakangan, warga Korut juga dilaporkan tengah dihadapkan krisis kelaparan yang diperparah dengan musim dingin. Krisis itu juga diperburuk dengan pandemi Covid-19 sehingga membuat negara itu semakin terisolasi.

“Isu reunifikasi bagi pemerintahan Presiden Moon Jae-in saat ini merupakan topik yang sensitif,” kata Woo.

Woo menuturkan pemerintahan Moon tetap memegang teguh upaya perdamaian di antara kedua Korea yang hingga kini secara teknis masih berperang.
Pendekatan Moon, ucap Woo, cukup berbeda dengan pendahulunya, Presiden Park Geun-hye, soal reunifikasi.

Menurut Woo, pemerintahan Park yang konservatif lebih optimistik mengejar reunifikasi yang dinilai dapat menguntungkan Korsel.

“Saat kepemimpinan Park, pemerintah berulangkali menegaskan kalau unifikasi itu akan sangat menguntungkan warga Korea.Di satu sisi, Korsel memiliki perekonomian yang maju, sementara Korut memiliki sumber daya alam yang belum terjamah dan buruh yang murah. Menurut para konservatif ini menjadi peluang bagus,” ucap Woo.

Terlepas dari keuntungan, Woo menegaskan bahwa Korsel tetap berpegang teguh bahwa reunifikasi bukan berarti menyatu dengan Korut dan membentuk satu negara yang diktator, komunis, dan tidak demokratis.

Perbedaan ideologi itu, kata Woo, menjadi salah satu tantangan tersulit dalam merealisasikan reunifikasi.

“Karena ketika kita bicara soal unifikasi, itu berarti Kim Jong-un harus hilang,” ucap Woo.

“Kami (Korsel) tidak mau hidup menjadi negara diktator. Ketika kami mengatakan unifikasi, itu berarti kami menggambarkan sebuah negara demokratis dengan ekonomi kapitalis. Bukan negara yang otoriter, pemimpin komunis, tidak demokratis, dan terisolasi,” paparnya menambahkan.

(rds/rds)


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211222155908-113-737375/anak-muda-korsel-makin-was-was-bicara-isu-unifikasi-dengan-korut/1

2021
Jurus Korsel Bangun Sistem Olah Sampah hingga Untungkan Ekonomi

Riva Dessthania – CNN Indonesia


Jakarta, CNN Indonesia — Korea Selatan menjadi salah satu negara yang memiliki sistem pengelolaan limbah berkelanjutan dan ramah lingkungan sehingga patut dicontoh negara lainnya, termasuk Indonesia.
Saat ini, Korsel menjadi satu di antara sejumlah negara yang menerapkan konsep ekonomi sirkular (circular economy), sebuah model produksi dan konsumsi yang melibatkan konsep daur ulang, memperbarui, memperbaiki bahan dan produk yang ada selama mungkin hingga mencapai akhir usia penggunaan.

Menurut seorang profesor dari Departemen Teknik Lingkungan Universitas Kyonggi Korsel, Rhee Seung-whee, negaranya telah membangun sistem dan kebijakan pengolahan limbah sejak 1985 lalu. Saat itu, pemerintah Korsel mulai mengenalkan konsep daur ulang dan pemisahan jenis sampah kepada masyarakat.

Salah satu motivasi Korsel membentuk sistem pengelolaan limbah, kata Rhee, karena jumlah timbunan sampah nasional terus meningkat setiap tahun hingga kini mencapai hampir setengah juta ton.

Rhee memaparkan jumlah sampah di Korsel meningkat dari 346.669 ton/hari pada 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada 2012. 

“Itulah motivasi kenapa kami dulu menerapkan konsep daur ulang dan beralih ke circular economy society(masyarakat ekonomi sirkular),” kataRhee dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) beberapa waktu lalu.

Pada 2018, Rhee mengatakan Korsel pun mulai menerapkan Act on Resource Circulation yang mulai memperkenalkan sistem pemanfaatan barang hingga sistem pengelolaan limbah hingga ke ranah rumah tangga.

Dalam workshop yang berkolaborasi dengan Korea Foundation Jakarta itu, Rhee turut menjabarkan bagaimana konsep ekonomi sirkular itu bekerja.

Ia menjelaskan bahwa aliran pengelolaan limbah seperti pemisahan, pembuangan, pengumpulan, dan daur ulang sampah dilakukan oleh pemerintah lokal.

Meski begitu, Korsel juga memiliki sejumlah manufaktur khusus mengelola limbah-limbah tersebut untuk membantu kerja pemerintah setempat.

“Pemisahan (sampah) adalah kunci utama pengelolaan limbah dengan konsep ekonomi sirkular bisa berhasil. Dengan begitu, pabrik limbah dapat dengan mudah mendaur ulang dan memperbaiki sampah yang masih memiliki nilai guna,” ucap Rhee.

Jika praktik pemisahan sampah sudah terjamin, Rhee menuturkan pengurangan sampah dan kegiatan daur ulang bisa terlaksana secara berkelanjutan sehingga dapat mengurangi jumlah limbah yang beredar.

Rhee mengakui banyak kesulitan agar membuat masyarakat peduli terkait konsep ekonomi sirkular terutama soal pengolahan limbah secara berkelanjutan.

Ia mengatakan Korsel saja membutuhkan waktu 35 tahun hingga akhirnya memiliki kebijakan dan sistem pengolahan limbah berkelanjutan dengan konsep ekonomi sirkular seperti ini.

Apalagi Rhee menuturkan tidak ada hukuman bagi warga yang melanggar aturan pengolahan limbah rumah tangganya. Hal itu membuat efek jera dan kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah semakin minim.

Banyak warga Korsel, kata Rhee, masih menganggap pengelolaan limbah rumah tangga bukan hal yang serius.

Namun, ia menuturkan pemerintah terus melakukan kampanye dan sosialisasi hingga ke tingkat komunitas dan sekolah-sekolah demi meningkatkan kesadaran warga soal pentingnya mengelola limbah pribadi dan rumah tangga secara tepat.

“Jadi mulai dari TK, SD diajari warga sudah dikenalkan dan diajarkan (soal sirkular ekonomi untuk pengelolaan sampah plastik). Setiap tahun adakan pembelajaran soal sirkular ekonomi, sesi wajib. Pemerintah juga menggandeng NGO dan beberapa public figure seperti artis untuk mempromosikan ini tangan bersama mempromosikannya,” kata Rhee.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211222155425-113-737366/jurus-korsel-bangun-sistem-olah-sampah-hingga-untungkan-ekonomi


Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net