Butuh waktu demi menciptakan ekosistem EV di Indonesia

Jakarta, IDN Times – Program elektrifikasi kendaraan dalam semua lini tak mudah untuk dilaksanakan di Indonesia. Bukan tanpa alasan, karena banyak tantangan yang dihadapi oleh pemerintah hingga brand-brand kendaraan yang fokus pada lini electric vehicle (EV).
Pengetahuan masyarakat Indonesia terhadap EV yang masih minim, keraguan, hingga infrastruktur, menjadi masalah psikologis yang harus didobrak oleh pemerintah hingga brand. Selain itu, infrastruktur pendukung seperti charging station, juga menjadi problem lainnya dalam upaya elektrifikasi kendaraan di Indonesia.
1. Loyalitas ke brand Jepang jadi salah satu kendala
Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas, Nizhar Marizi, menyatakan program elektrifikasi memang terkendala pula lewat stigma masyarakat Indonesia soal kendaraan. Selama ini, menurut Nizhar, ada fanatisme tertentu dari masyarakat Indonesia terkait kendaraan, yakni terlalu bergantung pada produksi Jepang.
Padahal, sebenarnya kendaraan elektifikasi di Indonesia lebih banyak dihadirkan oleh pabrikan Korea Selatan dan China.
“Kita gak bisa menyalahkan, karena itu memang stigmanya. Ada loyalitas tertentu dari masyarakat terhadap kendaraan Jepang,” ujar Nizhar dalam workshop Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation, di kawasan Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
2. Butuh waktu ubah kebiasaan
Head of Business Departement Hyundai Motor Asia Pacific, Hendry Pratama, sepakat dengan Nizhar. Selera dan loyalitas konsumen memang butuh waktu untuk diubah. Sebab, selama ini konsumen sudah dimanjakan dengan pilihan mobil konvensional merek tertentu.
Tapi, Hendry yakin edukasi yang dilakukan secara berkala bisa mengubah kebiasaan masyarakat Indonesia dan memunculkan kepercayaan terhadap kendaraan elektrifikasi.
“Gak mudah memang, butuh waktu. Tapi, kami punya keyakinan semua bisa terpenuhi. Hyundai juga saat ini terus membangun infrastruktur yang bisa mendukung elektrifikasi kendaraan di masa mendatang, demi mewujudkan program Net Zero Emission,” kata Hendry.
3. Masalah banderol jadi faktor utama
Masalah harga menjadi faktor lain, dan penentu dalam pemilihan masyarakat terhadap kendaraan. Hingga kini, EV masih mahal harganya.
Setidaknya, kocek yang harus disiapkan konsumen untuk bisa memiliki EV, minimal Rp300 jutaan untuk mobil. Motor listrik sudah banyak beredar, namun harganya juga terbilang tinggi. Terbaru, Honda mengeluarkan dua motor listrik yang harga tertingginya bisa mencapai Rp50 jutaan.
Hyundai, selaku pemain dalam EV di Indonesia, menegaskan memang punya niatan untuk mengeluarkan produk yang ramah kantong, terutama bagi kelas menengah. Namun, harus ada perhitungan matang, lantaran Hyundai punya standar tertentu dalam urusan keamanan.
“Kami ada stanndar minimal dalam standar keamanan. Ada rencana, tapi kami harus memenuhi standar yang ditetapkan,” ujar Hendry.
Sementara, terkait subsidi yang diberikan pemerintah, memang ada kesulitan tersendiri yang muncul. Nizhar mengakui, program konversi motor konvensional ke listrik, sering tak tercapai lantaran masih adanya keraguan dari pengguna.
“Jadi, kami terus pikirkan, mau apa strategi selanjutnya. Program konversi ini selalu tak mencapai target, dan harus dibuat skemanya yang paling efektif,” kata Nizhar.