
Jakarta: Pemerintah Indonesia tetap optimis dengan target ambisiusnya meningkatkan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai (KLBB), khususnya mobil roda empat hingga 400.000 unit pada tahun 2025. Namun, realitas pasar menunjukkan tantangan signifikan dalam mencapai target tersebut.
Direktur Energi, Mineral, dan Sumber Daya Tambang Bappenas, Nizhar Marizi mengungkap sejumlah faktor kunci yang memengaruhi lambatnya penetrasi pengguna mobil listrik di Indonesia.
“Survei PLN dan Pertamina menunjukan, pertama ialah masih banyak yang merisaukan ketahanan baterai dan terbatasnya jumlah stasiun pengisian daya, utamanya di TOL. Di Indonesia, mobil pribadi tak hanya digunakan untuk berangkat ke kantor namun juga untuk keperluan bepergian jarak jauh,” papar Nizhar dalam dialog ‘Indonesia-South Korea Green Partnership: Strategic Pathways in the EV Industry’ yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan Indonesian Next Generation Journalist Network di Jakarta 10 Oktober 2024.
“Faktor kedua ialah soal harga yang masih relatif mahal dibanding mobil berbahan bakar minyak. Dan faktor yang cukup unik ialah, masyarakat Indonesia dikenal loyal terhadap mobil pabrikan Jepang. Maka tak heran mereka menantikan mobil listrik buatan negara itu,” ucap Nizhar.
Program subsidi belum gairahkan minat
Pada tahun 2022, pemerintah meluncurkan program subsidi konversi kendaraan listrik dengan nilai subsidi mencapai Rp7 juta per unit. Namun, program ini baru berhasil mencapai sekitar 40 persen dari target penjualan kendaraan listrik. Meski ada insentif berupa subsidi, hal ini belum mampu mendorong masyarakat secara signifikan untuk beralih ke mobil listrik.
Nizhar menegaskan bahwa pemerintah akan mencoba untuk memodifikasi skema subsidi ke depannya. “Selain subsidi pembelian, kita juga mempertimbangkan subsidi untuk infrastruktur perawatan dan pelatihan teknisi,” ujarnya.
Pasalnya, ketersediaan bengkel serta teknisi yang kompeten juga menjadi isu penting dalam pengembangan kendaraan listrik. “Pengguna harus yakin dengan layanan purna jual, tidak hanya soal bisa membeli kendaraan,” tambah Nizhar.
Rantai nilai dorong ekosistem mobil listrik yang solid
Pelaku industri menilai bahwa pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia harus diiringi dengan pengembangan ekosistem yang solid. Kepala Departemen Bisnis Hyundai Motor Asia Pasifik, Hendry Pratama, menekankan pentingnya membangun rantai nilai (value chain) yang kuat untuk mendukung penyerapan mobil listrik oleh pasar.
“Kenapa rantai nilai penting? Karena mulai dari produksi hingga purna jual, semuanya akan mempengaruhi daya tarik dan adopsi mobil listrik oleh konsumen,” jelas Hendry. Ia menambahkan bahwa ekosistem mobil listrik hanya bisa berkembang jika ada sinergi antara pemerintah dan pelaku bisnis.
Tantangan pengembangan infrastruktur SPKLU
Salah satu kunci keberhasilan mobil listrik adalah tersedianya infrastruktur pengisian daya yang memadai. Namun, percepatan pembangunan SPKLU masih menemui kendala regulasi.
Merujuk peraturan pemerintah tahun 2020, Hendry menyebut pelaku industri dan swasta diwajibkan berinvestasi sebesar Rp10 miliar untuk membangun satu SPKLU per lokasi.
“Pembangunan SPKLU mungkin tidak selalu memerlukan biaya hingga Rp10 miliar. Ini yang sedang kami diskusikan dengan kementerian terkait agar ada deregulasi. Tujuannya supaya pemerintah, pihak swasta, dan pemain lokal bisa berlomba-lomba menyediakan akses stasiun pengisian kendaraan listrik kepada konsumen,” kata Hendry.
Hingga Agustus 2024, PLN mencatat sekitar 2.500 SPKLU yang tersebar di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali.
Pemerintah terus mendorong peningkatan jumlah SPKLU ini dengan target mencapai 10.000 unit pada akhir 2025. Peningkatan jumlah SPKLU diharapkan dapat mengurangi kekhawatiran konsumen terkait ketersediaan infrastruktur pengisian daya, sehingga mempercepat adopsi mobil listrik di tanah air.