• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

July 6, 2025

2024  ·  Journalist Network 2024
Diplomasi Digital dan Intimasi Indonesia-Korea Selatan

Ilustrasi relasi diplomatik Indonesia dan Korea Selatan.(SHUTTERSTOCK/DORSTEFFEN)

KOMPAS.com – Hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan, khususnya bidang kebudayaan, tak lepas dari pengaruh pengguna internet alias warganet di Tanah Air. Sebab, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 221 juta, salah satu yang terbesar di dunia. Di sisi lain, kemajuan teknologi, khususnya internet dan alat komunikasi, turut memengaruhi tata pergaulan internasional. Salah satunya dimanifestasikan dalam diplomasi digital.

Singkatnya, diplomasi digital adalah siasat baru berdiplomasi mengandalkan internet dan perangkat digital yang kini dimiliki hampir semua orang di Bumi. Humphrey Wangke, dalam bukunya Diplomasi Digital dan Kebijakan Luar Negeri Indonesia mengatakan, diplomasi digital adalah pergeseran praktik diplomatik yang menempatkan dan menekankan pada percakapan dengan penduduk asing.

Platform media sosial menjadi salah satu arena untuk membangun percakapan lintas negara itu. Nah, di sinilah diplomasi digital yang dilakukan antar-perorangan (people-to-people) terjadi.

Banyak penggemar budaya pop Korea atau K-waves alias Hallyu, mengonsumsi konten sekaligus berinteraksi dengan fandom—sebutan untuk penggemar—dari negara lain di platfom media sosial. Konsumsi konten Hallyu oleh warganet di Indonesia ini memengaruhi persepsi positif terhadap Korea Selatan. “Persepsi positif secara keseluruhan, (Korea dinilai sebagai negara dengan) kemajuan ekonomi, mitra favorit Indonesia, dan bertanggung jawab secara sosial di seluruh dunia” jelas Gangsim Eom, kandidat PhD Harvard University dan Peniliti Tamu di Universitas Indonesia.

Wanita asal Korea Selatan yang akrab disapa Simi itu hadir sebagai salah satu panelis di acara workshop Indonesian Next Generation Journalist Network yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, awal Desember lalu. Workshop ini diselenggarakan oleh Korea Foundation yang bekerja sama dengan FPCI. Senada dengan Simi, laporan dari Korean Foundation for International Cultural Exchange (KOFICE) berjudul Global Hallyu Trends 2022 menyebutkan, Indonesia memiliki 2,26 juta anggota komunitas K-Pop.

Hal itu membuat Indonesia menjadi negara kedua dengan penggemar K-Pop terbesar di Asia Tenggara. Para penggemar kerap membuat dan menjalankan komunitas mereka sendiri sesuai selebriti atau konten yang mereka sukai. Di sini, mereka juga saling bertukar informasi tentang dunia K-Pop. Mereka memainkan peran penting untuk mempromosikan kebudayaan Korea di Indonesia, baik dengan jalur online/virtual atau luring.

Sumber: https://www.kompas.com/global/read/2024/12/16/115046670/diplomasi-digital-dan-intimasi-indonesia-korea-selatan

2024  ·  Journalist Network 2024
Seberapa Besar Potensi Industri Kreatif Indonesia Dapat Mendunia seperti K-Wave?

Penampilan boy grup K-Pop, Tomorrow X Together (TXT) saat menggelar konser tur dunia Act: Promise in Jakarta di ICE BSD, Rabu (2/10/2024). Foto: Dok. BIG HIT Music

Gelombang budaya Korea Selatan, atau K-Wave, telah menjadi fenomena global yang tak terhindarkan.

Dari musik K-Pop hingga drama Korea, dominasi budaya pop Korea Selatan terus menembus batas negara, termasuk Indonesia.

Namun, di balik popularitas itu, muncul pertanyaan: Apakah Indonesia, dengan kekayaan budayanya, mampu menciptakan I-Wave yang juga mendunia?

Dalam lokakarya Indonesia-Korea Journalist Network (IKJN) yang digelar oleh FPCI dan Korea Foundation di Jakarta, Kandidat PhD dari Harvard University Gangsim Eom, mengungkap peran penting Indonesia dalam mendukung kesuksesan global K-Wave.

“Indonesia adalah salah satu kekuatan utama di balik kesuksesan K-Wave,” ujarnya.

Data Spotify 2023 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ketiga untuk jumlah streaming artis K-Pop di dunia, hanya di bawah Jepang dan Amerika Serikat.

Empat kota di Indonesia bahkan masuk dalam 17 besar pendengar terbanyak secara global. Jejak K-Wave di Indonesia dimulai pada 2009 melalui konser tur Asia Rain di Jakarta, dan terus menguat dengan konser SMTOWN pada 2012.

Namun, hubungan budaya ini bukan hanya tentang konsumsi. Eom menyoroti bagaimana K-Wave telah digunakan dalam diplomasi budaya dan politik di Indonesia.

Dari kampanye politik yang menggunakan elemen budaya Korea hingga kolaborasi figur publik seperti Choi Si-won dari Super Junior, pengaruh Korsel semakin terasa di berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Peluang dan Tantangan I-Wave

Meski K-Wave menginspirasi, Indonesia juga mulai menapaki jalannya sendiri dengan I-Wave.

Sejak 2019, budaya Indonesia semakin diperkenalkan di Korea Selatan melalui festival budaya, pertunjukan seni, hingga kuliner.

Tayangan Korea seperti Myunsikdang yang mengeksplorasi masakan Indonesia menunjukkan adanya ruang bagi budaya Indonesia untuk dikenal lebih luas di negeri ginseng.

Dari data industri kreatif dalam negeri, Deputi Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kemenparekraf, Muhammad Neil El Himam, mengatakan subsektor kuliner, fesyen, dan gim memiliki potensi besar untuk bersaing di pasar global.

“Namun, pendekatan strategis diperlukan agar produk Indonesia bisa diterima langsung oleh masyarakat Korea, bukan hanya melalui influencer,” ujarnya.

Menurut Eom, kekayaan budaya Indonesia adalah aset besar, tetapi keberhasilan K-Wave tak lepas dari dukungan kuat pemerintah Korsel itu sendiri.

“Dukungan pendanaan dan kebebasan berekspresi menjadi kunci penting dalam mendukung inovasi kreatif,” katanya.

Sinergi Dua Gelombang

Pemerintah Indonesia melalui Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran telah menunjukkan komitmen kuat dalam memajukan ekonomi kreatif, termasuk dengan target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.

Dengan 17 subsektor ekonomi kreatif mulai dari film, musik, fesyen, hingga aplikasi digital, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan budaya lokal sebagai modal utama.

Dukungan kebijakan, peningkatan infrastruktur, dan penguatan jejaring internasional adalah langkah penting.

Festival budaya, seperti JAFF Market di Yogyakarta, yang dihadiri puluhan peserta internasional, menunjukkan bahwa budaya Indonesia bisa menjadi daya tarik global.

Sebagaimana K-Wave yang telah menjelma menjadi simbol soft-power Korsel, I-Wave memiliki potensi serupa.

Dengan kolaborasi strategis dan pendekatan lintas budaya, hubungan Indonesia-Korsel dapat terus tumbuh, tidak hanya sebagai mitra budaya tetapi juga sebagai motor penggerak diplomasi dan ekonomi kreatif.

“Kepercayaan itu tidak diberikan, melainkan diperoleh,” tutup Eom, mengingatkan bahwa kerja keras dan strategi adalah kunci bagi Indonesia untuk menciptakan gelombang budaya yang mendunia.

Sumber: https://kumparan.com/kumparannews/seberapa-besar-potensi-industri-kreatif-indonesia-dapat-mendunia-seperti-k-wave-24An2sagCEj/full

2024  ·  Journalist Network 2024
Peneliti Korsel Sebut Budaya RI Berpotensi Saingi Hallyu

Foto: AP/Ahn Young-joon

Jakarta, CNBC Indonesia – Budaya Indonesia rupanya memiliki potensi menyaingi gelombang Korea atau Korean Wave (Hallyu). Hal ini disampaikan oleh peneliti fan K-pop asal Korea Selatan (Korsel), Gangsim Eom.

Eom, yang akrab disapa Simmi, merupakan kandidat Doktor di Universitas Harvard sekaligus dosen tamu di Universitas Indonesia. Secara umum, ia meneliti gelombang budaya Korea di Indonesia.

“Saya melihat Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, potensial (dalam menyaingi Hallyu). Ini adalah negara yang dibangun atas keberagaman, Bhinneka Tunggal Ika,” kata Simmi di Jakarta Pusat, dikutip Senin (30/11/2024).

Pernyataan ini disampaikan Simmi dalam diskusi bertajuk ‘Membangun Hubungan yang Lebih Kuat: Kolaborasi Indonesia-Korea melalui Hubungan Antar-Masyarakat’ yang digelar oleh Foreign Policy of Community Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation (KF).

Menurut Simmi, ada beberapa strategi penting yang perlu dilihat Indonesia agar dapat menyaingi Hallyu. Salah satunya adalah melihat pasar budaya populer dan mulai menerjemahkan budaya lokal ke khalayak global, tak hanya ke negara-negara Asia lainnya.

“Daripada menargetkan negara-negara Asia lainnya, (budaya Indonesia bisa) langsung (disebarluaskan) ke negara-negara lain,” katanya.

“Itu bisa menjadi strategi penting lainnya.”

Ia kemudian memberi contoh bagaimana Korsel membangun budayanya hingga dapat menghasilkan gelombang yang menggemparkan hampir seluruh negara di dunia. Menurutnya, hal ini tidak dicapai Korsel dalam waktu singkat.

Proyek Hallyu sendiri dimulai di bawah pemerintahan Kim Dae Jung sejak 1990-an. Tujuannya adalah untuk ‘melawan’ hegemoni budaya negara tetangganya seperti China dan Jepang serta dominasi Amerika Serikat di dunia.

Lewat sumber daya manusia, dukungan penuh dari pemerintah, serta soft power melalui industri budaya, Korsel pun kini telah mendunia. Salah satu buktinya dampak Hallyu terlihat di Indonesia, di mana produk budaya mereka telah menjamur dan menjadi ‘makanan’ sehari-hari masyarakat.

Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20241230183411-33-599633/peneliti-korsel-sebut-budaya-ri-berpotensi-saingi-hallyu

2024  ·  Journalist Network 2024
K-Wave, contoh memajukan ekonomi kreatif

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (tengah) didampingi Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha (kanan) dan pendiri Museum Rekor Indonesia (Muri) Jaya Suprana (kiri) menyaksikan aksi tari payung usai pemecahan rekor Muri Pawai Kebaya Lintas Generasi dengan peserta terbanyak di pelataran Sarinah, Jakarta, Minggu (22/12/2024). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/Spt.

Jakarta (ANTARA) – Terhitung 25 kali kata “kreatif” dicantumkan dalam dokumen Asta Cita, delapan misi pemerintahan Prabowo-Gibran. Dari jumlah itu, 10 kali di antaranya disebut “industri kreatif” dan 10 kali pula dimunculkan “ekonomi kreatif”.

Poin kedua Asta Cita misalnya, berbunyi: memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Dari sini terlihat ada keinginan kuat memajukan ekonomi kreatif sebagai bahan bakar pertumbuhan ekonomi 8 persen.

Kementerian Ekonomi Kreatif, dalam lokakarya jurnalis yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation, menjabarkan 17 sub-sektor dalam ekonomi kreatif.

Cakupan ekonomi kreatif ini amat luas, antara lain mulai dari kuliner, fesyen, seni pertunjukan, arsitektur, desain interior, desain produk, gim, aplikasi gawai, hingga film, animasi, musik dan fotografi.

Kebudayaan lokal menjadi akar yang melahirkan produk kreatif tersebut. Ciri khas budaya menambah keunikan dan nilai jualnya. Berbarengan dengan menghasilkan keuntungan ekonomi, sektor kreatif juga berarti merawat kebudayaan bangsa.

Sebagian besar dari aspek ekonomi kreatif itu juga berpindah media ke dunia digital, menyesuaikan dengan perkembangan teknologi zaman kini. Potensi cuan yang dihasilkan juga tercatat tak main-main.

Muhammad Neil El Himam, Deputi Ad Interim Bidang Kreativitas Digital dan Teknologi Kementerian Ekonomi Kreatif, mencontohkan perputaran ekonomi di sektor perfilman Tanah Air.

“Film Indonesia di bioskop tengah mendominasi pasar domestik. Ada sebuah aplikasi bernama CinePoint yang menunjukkan data bahwa penjualan di Tanah Air mencapai 150-an juta tiket. Dan sekitar 75-78 juta di antaranya adalah film Indonesia,” kata Neil.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya agar segala potensi itu tak hanya merajai negeri sendiri, namun juga bisa dikenal oleh masyarakat dunia luar.

Cara Korea Selatan

Ketekunan Korea Selatan patut menjadi contoh, bagaimana negara yang merdeka hanya lebih awal dua hari dengan Indonesia itu mampu menyebarkan K-Wave hingga mencapai popularitasnya saat ini.

Bicara popularitas, Indonesia telah menjadi pasar super besar bagi gelombang budaya Korea, mulai dari drama seri, film, musik, bahasa, kuliner, hingga terus merambah ke fesyen, produk kosmetik, dan teknik perawatan kecantikan.

Gangsim Eom, kandidat doktor Universitas Harvard sekaligus peneliti tamu di Universitas Indonesia, menyebut K-Wave memulai debut di panggung Tanah Air pada 2009 lewat konser penyanyi kenamaan Rain dalam Asia Tour in Jakarta.

Satu setengah dekade kemudian, ternyata gelombang penggemar dari masyarakat Indonesia tak terlihat redup sama sekali, malah kian membesar.

“Tahun lalu kita merayakan peringatan 50 tahun hubungan bilateral Indonesia-Korea, dan saat itu salah satu pakar ilmu kebudayaan dari UGM, Dr. Suray Agung Nugroho, berpandangan bahwa K-Wave telah berkembang menjadi K-Tsunami di Indonesia,” kata Eom dalam lokakarya FPCI-Korea Foundation.

Istilah ini tidak berlebihan jika kita melihat besarnya pengaruh fenomena ke-Korea-an. Gelombang budaya Korea telah menjalar ke mana-mana.

Belakangan, tak jarang tokoh dan kampanye politik melibatkan unsur K-Pop, K-Drama untuk menggaet massa. Penggemar K-Pop dan K-Drama juga seringkali menggalang dana sumbangan untuk masyarakat yang dilanda musibah.

Keberhasilan soft-power diplomacy Korea Selatan diganjar dengan nilai fantastis. Badan Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD) menyebut sektor kreatif negara itu tumbuh 4-5 persen dengan lebih dari 600.000 pekerja, menghasilkan laba ekspor hingga 12,4 miliar dolar AS pada 2021 lalu.

Korea telah mengupayakan soft power sejak 1990-an yang secara geopolitik berada di tengah kekuatan besar dunia kala itu, Amerika Serikat, China, Jepang. Kebudayaan menjadi modal besar bagi Korea untuk menyebarkan pengaruh kepada dunia.

Dukungan pendanaan dari pemerintah pastinya berperan besar terhadap perkembangan K-Wave. Inovasi dari pelaku budaya dan ekonomi kreatif pun diperlukan agar dunia dibuat penasaran dengan hal baru. Kolaborasi hal mutlak.

“Tentu saja supaya bisa mencapai itu, kebebasan berekspresi adalah aspek yang sangat penting. Sensor terhadap kebebasan bisa jadi berbahaya bagi industri kreatif,” kata Eom.

Yakin dengan I-Wave

Indonesia memang tidak diam saja, banyak cara dicoba demi mengekspos budaya dan sektor kreatif kita agar lebih dikenal dunia. Festival Indonesia hadir di berbagai negara sebagai langkah diplomasi antar-masyarakat.

Di Korea, misalnya, Indonesian-Wave baru mulai bangkit pada 2019. Dampak yang dihasilkan memang belum semasif budaya Korea di Indonesia.

Tentu banyak faktor yang memengaruhi hal itu. Eom melihat salah satunya karena pandangan masyarakat Korea terhadap masuknya budaya luar—tidak cuma dari Indonesia.

Korea Selatan mengalami peristiwa sejarah politik dan budaya yang tidak bisa dibilang biasa saja, sebutlah kolonialisme Jepang dan perang Korea. Hal-hal itu berdampak pada pola perilaku masyarakat negara itu.

“Krisis eksistensial semacam ini membuat masyarakat Korea lebih memikirkan permasalahan di dalam negeri sendiri. Sehingga mereka tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal di luar itu,” kata Eom.

Bagaimanapun, Indonesia tetap percaya diri untuk tampil di panggung dunia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menekankan bahwa bangsa ini amat kaya budaya, pelaku industri kreatif juga begitu menggeliat. Dan itulah modal besar yang kita miliki.

Indonesia bisa meniru langkah-langkah strategis yang dilakukan negara Asia seperti Korea Selatan dalam memajukan ekonomi kreatif. Namun, penyebaran budaya Indonesia bisa saja menarget negara di belahan dunia lain yang budayanya sama sekali berbeda.

“Dalam perfilman, misalnya, ada JAFF dan JAFF Market juga yang dihadiri oleh 96 peserta pameran dari berbagai negara. Dan itu membuat jejaring yang sangat baik antara semua stakeholders yang ada,” kata Menbud.

Dengan modal kebudayaan melimpah, kemauan dari pelaku industri kreatif, dan dukungan pemerintah, pantas kalau I-Wave diyakini juga bisa menciptakan gelombang pengaruhnya di luar Indonesia.

2024  ·  Journalist Network 2024
Potensi Indonesia Bangun Ekonomi Kreatif Mirip K-Wave, Bisa?

Potret Numbay Creative Festival di Jayapura, Papua (Dok. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)

Jakarta, IDN Times – Indonesia terus menggedor potensi ekonomi kreatifnya. Dengan jumlah penduduk yang besar dan budaya kaya, Indonesia diyakini memiliki modal kuat demi memperluas pengaruhnya.

Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Muhammad Neil El Himam, menyatakan Indonesia sebenarnya bisa memanfaatkan heterogenitas budaya dan banyaknya kekayaan intelektual yang tersedia. Beberapa kesenian bahkan sudah merebut pasarnya tersendiri, baik dalam dan luar negeri.

Lagu-lagu berbahasa Jawa memang belakangan laku di Indonesia, bahkan Malaysia dan Singapura. Terlebih, beberapa penyanyi Indonesia terkenal pula di dua negara tersebut.

“Kita punya aset karena budaya yang kaya. Pada dasarnya, semua negara punya potensi menciptakan ekonomi kreatif dari budayanya sendiri,” kata Neil dalam seminar bersama Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.

1. Harus selesaikan banyak PR
Namun, Indonesia harus bekerja keras demi membangun ekosistem ekonomi kreatifnya. Banyak PR harus diselesaikan seperti infrastruktur, pemerataan talenta, hingga peningkatan literasi digital, yang menjadi fondasi dalam ekonomi kreatif.

Akses modal juga jadi salah satu hal yang perlu disorot. Sebab, banyak potensi yang bisa digali lewat kuliter, game, fesyen, namun sering mengalami kesulitan mengembangkannya karena butuh modal besar.

“Pendekatan strategis juga dibutuhkan agar produknya bisa diterima. Jadi, bukan cuma lewat influencer,” kata Neil.

2. Kebebasan berekspresi sangat penting

Peneliti dan kandidat PhD Harvard University, Gangsim Eom, merasa tantangan lain dari perkembangan ekonomi kreatif adalah sensor. Aturan sensor harus diperjelas agar tak mengekang kebebasan berekspresi. Sebab, berkaca dari kesuksesan K-Wave, menurut Eom, pemerintah Korea Selatan memberikan kebebasan terhadap pelaku industri kreatif untuk mengembangkan dirinya.

“Selain pendanaan, kebebasan berekspresi juga penting,” ujar Eom.

3. Indonesia bisa langsung dekati pasar global
Eom percaya Indonesia bisa mendongkrak daya tawarnya lewat ekonomi kreatif yang menjadi alat dalam diplomasi budaya. Dengan kekayaan budaya Indonesia, Eom merasa modal yang dimiliki sudah kuat.

Kuncinya, ditegaskan Eom, Indonesia bisa melakukan pendekatan yang tepat dengan menyasar langsung pasar global. Selain itu, penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar dalam penyebaran informasi dan produk ekonomi kreatif juga bisa dimanfaatkan.

“Menyasar pasar global seperti Amerika Serikat bisa jadi pilihan, ketimbang ke Asia,” kata Eom.

Sumber: https://www.idntimes.com/business/economy/potensi-indonesia-bangun-ekonomi-kreatif-mirip-k-wave-bisa-00-dtjm6-crthv3



2024  ·  Journalist Network 2024
Indonesian Wave Bersinar di Korsel, Diplomasi Budaya Perkuat Hubungan Bilateral

Kandidat PhD di Harvard University, Gangsim Eom (memegang mik) menjadi narasumber dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea bertajuk Building Stronger Ties: Indonesia-Korea Collaboration Through People to People Connection, yang digelar Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Senin (9/12/2024). (Foto: FPCI)

RM.id  Rakyat Merdeka – Korean Wave atau K-Wave telah mendominasi budaya populer global, memberikan pengaruh besar di berbagai belahan dunia. Namun, siapa sangka, kebudayaan Indonesia kini juga mulai menarik perhatian dan berkembang di luar negeri, khususnya di Korea Selatan.

Gangsim Eom, kandidat PhD di Harvard University dan peneliti tamu di Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa fenomena ini menunjukkan hubungan dua arah. “Tidak hanya budaya Korea yang memengaruhi Indonesia, tetapi kebudayaan Indonesia juga mulai memberikan pengaruh di Korea,” jelasnya.

Perempuan yang karib disapa Simi itu menjelaskan, sejak 2019 Korea Selatan secara khusus merayakan budaya Indonesia. Mulai dari festival budaya, kelas memasak, hingga pertunjukan seni. 

“Acara-acara seperti ini menunjukkan bahwa budaya Indonesia kini memiliki pengaruh yang signifikan di Korea Selatan,” ungkap Eom, dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea_yang digelar Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Senin (9/12/2024). Workshop bertajuk Building Stronger Ties: Indonesia-Korea Collaboration Through People to People Connectionitu. 

Melanjutkan paparannya, Eom menyebut, media Korea juga mulai menampilkan elemen budaya Indonesia. Menurut Eom, ini adalah peluang besar untuk mempererat hubungan bilateral melalui diplomasi budaya. 

Media sosial, sambungnya, juga menjadi jembatan penting dalam hubungan Indonesia-Korea. Dengan waktu penggunaan media sosial harian yang tinggi, Indonesia menjadi pasar strategis untuk kampanye K-wave. 

“Namun, ini juga menghadirkan tantangan, seperti bagaimana memastikan konten budaya yang positif dan membangun mendominasi lanskap digital,” ucapnya.

K-wave, lanjutnya, telah membawa perubahan besar dalam interaksi budaya antara Indonesia dan Korea Selatan. Hubungan yang didukung diplomasi antarwarga, media sosial, dan pengaruh budaya, memiliki potensi untuk berkembang lebih jauh.

“Kepercayaan itu tidak diberikan, melainkan diperoleh,” ujarnya.

Lebih lanjut, kata dia, K-wave, telah jadi fenomena global. Mulai dari musik hingga drama, budaya pop Korea mendominasi panggung dunia. Indonesia disebut memainkan peranan penting dalam popularitas tersebut. 

Data Spotify 2023 menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ketiga untuk jumlah streaming artis K-pop di dunia. Hanya di bawah Jepang dan Amerika Serikat (AS). 

https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?gdpr=0&client=ca-pub-4856760029410872&output=html&h=280&adk=3789469862&adf=4084342990&w=555&abgtt=9&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1751869707&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=1773395033&ad_type=text_image&format=555×280&url=https%3A%2F%2Frm.id%2Fbaca-berita%2Finternasional%2F247226%2Findonesian-wave-bersinar-di-korsel-diplomasi-budaya-perkuat-hubungan-bilateral&fwr=0&pra=3&rh=139&rw=555&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&uach=WyJtYWNPUyIsIjE1LjUuMCIsImFybSIsIiIsIjEzOC4wLjcyMDQuOTMiLG51bGwsMCxudWxsLCI2NCIsW1siTm90KUE7QnJhbmQiLCI4LjAuMC4wIl0sWyJDaHJvbWl1bSIsIjEzOC4wLjcyMDQuOTMiXSxbIkdvb2dsZSBDaHJvbWUiLCIxMzguMC43MjA0LjkzIl1dLDBd&dt=1751869705755&bpp=1&bdt=4228&idt=1&shv=r20250630&mjsv=m202507010101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Df0fe50366a065c03%3AT%3D1751811859%3ART%3D1751869705%3AS%3DALNI_MYofa9c3iP1Z_o2be65hmABJyz_Jg&gpic=UID%3D00001154c1c3c7b0%3AT%3D1751811859%3ART%3D1751869705%3AS%3DALNI_Mb4I2dP45LMC78JziIOn3CDDPcHjg&eo_id_str=ID%3D938878cbf73d0f13%3AT%3D1751811859%3ART%3D1751869705%3AS%3DAA-AfjazsMpA1no2zwHtazpX6ohY&prev_fmts=0x0%2C160x400%2C360x280%2C1140x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280&nras=6&correlator=3307961532108&frm=20&pv=1&u_tz=420&u_his=1&u_h=900&u_w=1440&u_ah=807&u_aw=1440&u_cd=30&u_sd=2&dmc=8&adx=150&ady=2743&biw=1440&bih=720&scr_x=0&scr_y=189&eid=31093234%2C42532523%2C95353387%2C95362656%2C95365225%2C95365235%2C95365111%2C95359266%2C95365121%2C95365798%2C31092548&oid=2&pvsid=882538123875021&tmod=1319975401&uas=3&nvt=1&ref=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&fc=1408&brdim=0%2C25%2C0%2C25%2C1440%2C25%2C1440%2C807%2C1440%2C720&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=128&bc=31&bz=1&td=1&tdf=2&psd=W251bGwsbnVsbCxudWxsLDNd&nt=1&ifi=9&uci=a!9&btvi=7&fsb=1&dtd=2154

“Bahkan, empat kota di Indonesia termasuk dalam 17 besar kota dengan pendengar Spotify bulanan terbanyak,” terangnya.

Eom menjelaskan, jejak K-wave di Indonesia dimulai pada 2009. Lewat konser tur Asia Rain di Jakarta. Popularitas ini semakin meningkat setelah konser SM Town World Tour pada 2012.

Dia mengaku menyaksikan langsung dedikasi para artis Korea yang terus menginspirasi penggemar Indonesia. Bahkan, dia bercerita, tentang pengemudi taksi online yang membagikan pengalaman soal bagaimana konser band asal Korea Blackpink, menyebabkan kemacetan total di Jakarta.

Menurut Eom, hal tersebut menunjukkan bahwa K-wave telah menyatu dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. “Tidak hanya terbatas pada kalangan penggemar,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, K-wave juga digunakan sebagai alat dalam diplomasi budaya dan politik di Indonesia. Eom menjelaskan bahwa fenomena “politik fandom” mulai terlihat sejak kampanye Gubernur Jakarta pada 2012. Ketika lagu Gangnam Style dipopulerkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, figur politik Indonesia mulai menggunakan elemen budaya Korea untuk mendekati pemilih muda. Seperti Ganjar Pranowo yang mengutip ungkapan bahasa Korea dalam kampanyenya.

Selain itu, figur K-Wave seperti Choi Si-won dari Super Junior turut aktif dalam diplomasi public. “Memperkuat hubungan antara kedua negara. Jadi, ini lebih dari sekadar budaya pop,” ujarnya.

Pasalnya, sambung Eom, hubungan Indonesia dan Korea juga ditopang diplomasi antarwarga yang sudah berlangsung lama. Sejak 1980-an, berbagai program pertukaran budaya, mulai dari kerja sama pendidikan hingga perayaan hari kemerdekaan bersama, telah mempererat hubungan kedua negara.

Kata dia, keberhasilan hubungan itu tak lepas dari kerja keras para sukarelawan. “Baik anak muda maupun ibu rumah tangga, yang menyatukan kedua budaya,” ujarnya. 

Di kesempatan yang sama, Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Himam menyebut, banyak budaya dan produk kekayaan intelektual yang bisa dimanfaatkan untuk nilai tambah. Seperti film, bahasa lokal, hingga makanan khas Indonesia.

“Bagaimana mengkomersialisasikan semua itu. Karena kita kaya akan budaya,” ujar Neil.

Dia mengatakan, Indonesia memiliki lebih dari 200 lebih bahasa daerah. Menurutnya, itu adalah aset. Katanya, semua negara punya potensi untuk menciptakan ekonomi kreatif dari budaya. “Seperti misalnya bahasa Jawa, Campur Sari yang cukup besar pasarnya,” katanya.

Namun, Neil tak memungkiri. Sektor ekonomi kreatif masih tergolong baru di Indonesia. Makanya, kata dia, ada sejumlah tantangan yang dihadapi. Seperti perlindungan kekayaan intelektual, akses pendanaan dan modal, kemampuan teknologi dan akses pasar serta jaringan ekosistem yang mendukung. 

https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?gdpr=0&client=ca-pub-4856760029410872&output=html&h=280&adk=3789469862&adf=4112873355&w=555&abgtt=9&fwrn=4&fwrnh=100&lmt=1751869739&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=1773395033&ad_type=text_image&format=555×280&url=https%3A%2F%2Frm.id%2Fbaca-berita%2Finternasional%2F247226%2Findonesian-wave-bersinar-di-korsel-diplomasi-budaya-perkuat-hubungan-bilateral&fwr=0&pra=3&rh=139&rw=555&rpe=1&resp_fmts=3&wgl=1&fa=27&uach=WyJtYWNPUyIsIjE1LjUuMCIsImFybSIsIiIsIjEzOC4wLjcyMDQuOTMiLG51bGwsMCxudWxsLCI2NCIsW1siTm90KUE7QnJhbmQiLCI4LjAuMC4wIl0sWyJDaHJvbWl1bSIsIjEzOC4wLjcyMDQuOTMiXSxbIkdvb2dsZSBDaHJvbWUiLCIxMzguMC43MjA0LjkzIl1dLDBd&dt=1751869705763&bpp=1&bdt=4236&idt=0&shv=r20250630&mjsv=m202507010101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Df0fe50366a065c03%3AT%3D1751811859%3ART%3D1751869705%3AS%3DALNI_MYofa9c3iP1Z_o2be65hmABJyz_Jg&gpic=UID%3D00001154c1c3c7b0%3AT%3D1751811859%3ART%3D1751869705%3AS%3DALNI_Mb4I2dP45LMC78JziIOn3CDDPcHjg&eo_id_str=ID%3D938878cbf73d0f13%3AT%3D1751811859%3ART%3D1751869705%3AS%3DAA-AfjazsMpA1no2zwHtazpX6ohY&prev_fmts=0x0%2C160x400%2C360x280%2C1140x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280%2C555x280&nras=10&correlator=3307961532108&frm=20&pv=1&u_tz=420&u_his=1&u_h=900&u_w=1440&u_ah=807&u_aw=1440&u_cd=30&u_sd=2&dmc=8&adx=150&ady=4442&biw=1440&bih=720&scr_x=0&scr_y=1592&eid=31093234%2C42532523%2C95353387%2C95362656%2C95365225%2C95365235%2C95365111%2C95359266%2C95365121%2C95365798%2C31092548&oid=2&pvsid=882538123875021&tmod=1319975401&uas=3&nvt=1&ref=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&fc=1408&brdim=0%2C25%2C0%2C25%2C1440%2C25%2C1440%2C807%2C1440%2C720&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=128&bc=31&bz=1&td=1&tdf=2&psd=W251bGwsbnVsbCxudWxsLDNd&nt=1&ifi=13&uci=a!d&btvi=11&fsb=1&dtd=34045

Neil bilang, untuk membangun ekosistem ekonomi kreatif yang berkelanjutan perlu adanya kerja sama model hexahelix. Yakni, kolaborasi antara Pemerintah, media, akademik dan riset, komunitas, juga pihak bisnis. Kata Neil, dari sektor ekonomi kreatif, ada sekitar 24,9 juta orang yang menggantungkan hidup mereka. 

“Jumlahnya hampir dua kali lipat jika dibandingkan 10 tahun lalu yang hanya 14 juta orang,” ungkapnya.

Kolaborasi dengan pihak lain, termasuk negara asing juga dianggap bisa menciptakan peluang. Salah satunya dengan adanya Korean Wave atau Hallyu ke Indonesia. Menurut Neil, Korean Wave tidak hanya memberikan keuntungan bagi Korea Selatan. Tapi juga bagi Indonesia. 

“Korea Selatan sukses memperkenalkan budaya mulai dari K-Pop, musik, film, hingga makanan mereka. Indonesia bisa mencontoh hal itu,” pungkasnya.

Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/247226/indonesian-wave-bersinar-di-korsel-diplomasi-budaya-perkuat-hubungan-bilateral

2024  ·  Journalist Network 2024
Hallyu dan Kebebasan Berekspresi

Korean Wave atau Hallyu tak terelakkan. Bagaimana dengan Indonesian Wave?

Gelombang Korean Pop atau K-Pop tak tertahankan. Semua negara mendapati masuknya beragam produk hiburan asal Korea Selatan. Indonesia, apalagi. Hampir semua jenama populer menggunakan artis Korea sebagai model. BTS Army, sebutan untuk fans grup musik BTS, yang terbanyak pun berasal dari Indonesia.

Kandidat PhD Harvard University, Gangsim Eom, menceritakan keterpanaannya dengan pengenalan orang Indonesia pada K-Pop. Jangankan anak-anak sekolah atau mahasiswa, sopir taksi pun mengenal artis korea, drama korea, atau beberapa kata sederhana dalam bahasa korea.

Kalau Korean Wave (K-Wave) atau disebut juga Hallyu dimulai di Indonesia sekitar 2009 dengan konser musisi Rain, kata Gangsim Eom yang lebih akrab dipanggil Simi, sekarang semua artis K-Pop hampir pasti konser di Indonesia.

2024  ·  Journalist Network 2024
Indonesian Culture Shines in South Korea: Strengthening Ties Through Cultural Diplomacy

Festival Indonesia 2024 in Seoul (KBRI Seoul)

SEAToday.com, Jakarta – The Korean Wave, or K-Wave, has captivated global pop culture, making its mark worldwide. Yet, Indonesia’s rich cultural heritage is also gaining recognition abroad, especially in South Korea.

Gangsim Eom, a PhD candidate at Harvard University and a visiting researcher at Universitas Indonesia, highlights this growing cultural exchange. “It’s no longer one-sided. Indonesian culture is now influencing South Korea,” she said during a workshop in Jakarta hosted by the Korea Foundation and the Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

Since 2019, South Korea has celebrated Indonesian culture through festivals, cooking classes, and art performances. These efforts, Eom noted, signal Indonesia’s rising cultural influence in South Korea. Korean media and social platforms are increasingly featuring Indonesian elements, providing opportunities to strengthen bilateral ties through cultural diplomacy.

Social media plays a pivotal role in bridging these cultures. With Indonesians spending significant time online, Eom sees this as both a chance and a challenge to promote positive cultural content.

“The trust between our nations isn’t given; it’s earned,” she added. The mutual appreciation has also been shaped by the phenomenal global reach of K-Wave. Indonesia ranks third globally for K-pop streaming on Spotify, with four Indonesian cities among the top 17 in monthly listeners.

Eom traced K-Wave’s roots in Indonesia back to Rain’s 2009 Jakarta concert and SM Town’s 2012 tour, which solidified its popularity. The enthusiasm has since blended into daily life, even influencing local politics. Campaigns, such as Jakarta’s 2012 gubernatorial race, leveraged Korean pop culture to engage young voters.

South Korean public figures like Choi Si-won from Super Junior have also contributed to public diplomacy, strengthening ties beyond pop culture. Bilateral people-to-people connections, dating back to the 1980s through cultural exchange programs, continue to nurture this partnership.

Deputy for Digital Economy and Creative Products at Indonesia’s Ministry of Tourism and Creative Economy, Muhammad Neil El Himam, emphasized Indonesia’s rich cultural resources. “We have over 200 local languages and countless traditional arts. These are valuable assets for building a creative economy,” he said. However, challenges like intellectual property protection and market access remain hurdles.

Neil proposed a “hexahelix” collaboration model—uniting government, media, academia, communities, and businesses—to create a sustainable creative ecosystem. Currently, nearly 25 million Indonesians rely on the creative economy for their livelihoods, nearly double the figure a decade ago.

As South Korea’s Hallyu wave inspires, Neil believes Indonesia can replicate its success by showcasing its culture globally. “Korea’s achievements with K-pop, film, and cuisine can inspire us. There’s so much potential to unlock in our cultural wealth,” he concluded.

Sumber: https://lifestyle.seatoday.com/alvin-qobulsyah/11418/indonesian-culture-shines-in-south-korea-strengthening-ties-through-cultural-diplomacy

2024  ·  Journalist Network 2024
Peneliti: Orang Indonesia Lebih Mengenal Budaya Korea Selatan Dibanding Budaya Sendiri

53,5 persen orang Indonesia erasa Budaya Korea sudah tidak asing sama sekali bagi orang mereka.

Kandidat PhD dari Harvard University Gangsim Eom (memegang Mic) dan Deputi Ad Interim Bidang Kreativitas Digital dan Teknologi Kementerian Ekonomi Kreatif, Muhammad Neil El Himam dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation pada 9 Desember 2024/FPCI

TEMPO.CO, Jakarta – Kandidat PhD dari Harvard University Gangsim Eom mengatakan dalam penelitiannya ia menemukan bahwa ternyata orang Indonesia lebih mengenal budaya Korea Selatan dibanding dengan budaya Indonesia sendiri. “Saya cukup kaget juga dengan hasil survei ini. 53,5 persen orang Indonesia merasa Budaya Korea sudah tidak asing sama sekali bagi mereka,” katanya dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation pada awal Desember 2024.

Sebaliknya, ketika ditanya, seberapa asing responden terhadap kebudayaan daerah yang lokasinya jauh dari daerah Anda di Indonesia dibanding dengan budaya Korea, hanya 15,8 persen responden yang menjawab tidak asing. Bahkan 27,2 persen responden menjawab cukup asing dengan Budaya Indonesia. “Ini sangat mengejutkan buat saya,” kata Gangsim Eom. 

Gangsim Eom mengakui saat di Indonesia, ia sudah merasa seperti berada di rumah sendiri. Budaya Korea Selatan semakin mudah diaksesnya. Ketika ke minimarket terdekat dari rumahnya, ia sudah banyak mendapatkan pilihan makanan Korea. Beberapa di antaranya adalah adalah tentang mi instan dari Korea. 

Lalu ada pula kios kios yang menawarkan berbagai makanan Korea. Dari mulai kios yang ditargetkan untuk masyarakat menengah ke bawah, hingga kios untuk masyarakat menengah ke atas. Ada yang menawarkan makanan Korea ala tenda, mudah pula mendapatkan makanan Korea di restoran di Indonesia.

Data pun mendukung kepopuleran Budaya Korea Selatan di Indonesia. Gangsim Eom menyebutkan terdapat 80,8 ribu penggemar BTS-grup band paling terkenal asal Korea Selatan-yang berasal dari Indonesia. Jumlah fans BTS mencapai 20 persen dari total penggemar BTS di seluruh dunia. Bahkan Indonesia menempati urutan pertama dengan jumlah fans BTS dari 100 negara di dunia.  

Bahkan brand Spotify pada akhir 2023 menyebutkan 4 dari 10 kota teratas pendengar terbanyak grup Band Korea Selatan Seventeen berasal dari Indonesia. Para pendengar grup band dari Korea Selatan itu berasal dari Jakarta sebanyak 500 ribu di urutan pertama, Bandung dengan 189 pendengar menempati urutan ke-5. Lalu ada 178 ribu pendengar band itu yang berasal dari Surabaya di urutan ke-6, serta 122 ribu penggemar dari Semarang yang berada di urutan ke-8. 

K-Pop memang semakin ‘mendarah daging’ di Indonesia. Terlihat semakin banyak tawaran konser-konser K-Pop di tanah air. Gangsin Eom mengatakan pertumbuhan konser Korea berawal dari konser penyanyi Rain pada 2009 di Jakarta. Sejak itu, semakin banyak artis Korea yang menggelar panggung mereka di Indonesia. Sebut saja, Blackpink, SM Town hingga TWICE. Panggung kreativitas itu belum ditambah dengan tawaran panggung fan meeting dari sejumlah aktor dan aktris Korea. 

Lalu K-wave pun semakin menguat hingga masuk ke dunia politik. Hal ini terlihat dari bagaimana para Calon Presiden Indonesia yang mengikuti Pemilihan Umum Presiden Februari lalu mengunggah berbagai konten media sosial tentang K-Pop. Salah satunya, bagaimana Ganjar Pranowo, calon presiden nomor urut 3, mengunggah salah seorang pendukungnya yang mengangkat poster yang ditulis dengan Hangul, alfabet Korea.

Bahkan di dunia ekonomi pun konten Korea Selatan semakin terasa. Misalnya terlihat dari semakin banyaknya brand Indonesia, yang menggunakan brand ambassador dari Korea Selatan. Sebut saja aktor Park Seo Jun yang mewakili laman belanja Blibli, ada pula penyanyi Baekhyun EXO yang menjadi wajah dari Allo Bank. Kemudian ada pula Girl Group Twice yang menjadi brand ambassador krim kecantikan Scarlett Whitening.

Deputi Ad Interim Bidang Kreativitas Digital dan Teknologi Kementerian Ekonomi Kreatif, Muhammad Neil El Himam mengatakan Indonesia memiliki banyak sekali budaya yang bisa dipamerkan kepada dunia. “Kita punya 200 bahasa lokal dan tradisi budaya bernilai seni yang tidak terhingga. Semua itu, aset yang berharga untuk industri ekonomi kreatif,” katanya. 

Neil mengajak semua masyarakat ikut andil dalam mengembangkan industri ekonomi kreatif Indonesia. Menurutnya, mengembangkan industri kreatif membutuhkan tangan tidak hanya dari tim pemerintah, namun juga dari media, akademisi, komunitas, dan juga para pengusaha. Harapannya ada ekosistem yang pas untuk meningkatkan bidang ini. Menurut Neil, saat ini sekitar 25 juta masyarakat Indonesia yang bergantung pada industri kreatif. “Jumlah ini sudah dua kali lipat dibanding 10 tahun lalu,” lanjut Neil. 

Neil yakin, kesuksesan Gelombang Korea di Indonesia bisa dicontoh untuk mengembangkan industri kreativitas tanah air untuk dunia. “Prestasi Korea dengan K-Pop, film, dan juga kuliner berhasil menjadi inspirasi bagi kita semua. Kita pun punya banyak potensi untuk mengembangkan kebudayaan kita sendiri,” katanya. 

Sumber: https://www.tempo.co/gaya-hidup/peneliti-orang-indonesia-lebih-mengenal-budaya-korea-selatan-dibanding-budaya-sendiri-1187447

2024  ·  Journalist Network 2024
Belajar dari Korea Selatan yang Berhasil Memaksimalkan Diplomasi Budaya untuk Kepentingan Nasional

Sejumlah penggemar grup K-Pop Neo Culture Technology 127 berswafoto sebelum konser berlangsung di kawasan Indonesia Arena, Jakarta,( ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/nym.)

MASYARAKAT Indonesia kini familiar dengan keberadaan musik K-pop, kuliner khas Korea Selatan seperti kimchi, ramyeon, tteok-bokki, film, drama, hingga pakaian adat Korea Selatan. Bintang Korea Selatan juga mulai mewarnai layer kaca Indonesia sebagai duta dari berbagai macam produk. Korea Selatan dikenal luas melalui femonema Hallyu atau Korean-Wave yang digunakan negara tersebut dalam hubungan bilateral dengan negara lain termasuk Indonesia. 

“Yang mengarah pada meningkatnya kepercayaan pada Korea dari masyarakat Indonesia menunjukkan respons positif,” ujar Kandidat PhD dari Univeritas Harvard yang juga visiting scholar di Universitas Indonesia Gangsim Eom saat seminar bertajuk “Building Stronger Ties: Indonesia -Korea Collaboration Through People to People Connection” yang oleh Korea Foundation dan Indonesia Next Generation Journalists Network, di Jakarta, kemarin.

Melalui pertukaran budaya sebagai bagian dari pendekatan soft diplomacy, negeri Ginseng membangun citra positif untuk melancarkan kerja sama dan tujuan nasionalnya. Mengutip sejumlah data,  pada 2022, musik industri Korea Selatan berkontribusi pada pemasukan negara lebih dari KWR11 miliar atau Rp112 triliun. Peningkatan pendapatan negara dampak dari K-wave juga dirasakan pada sektor ekspor dengan nilai kontribusi sebesar US14,2 juta atau Rp227 miliar.

Dengan Indonesia, Korea Selatan menjalin hubungan kemitraan strategis sejak 2006. Korea Selatan dan Indonesia saling melengkapi di mana keduanya berpotensi untuk saling mengisi satu sama lain. Indonesia memerlukan modal/investasi dan teknologi Sementara Korea Selatan sebagai negara industri, memerlukan berbagai sumber daya, termasuk sumber daya alam dan tenaga kerja. Data dari Kementerian Perdagangan RI menyebutkan nilai perdagangan Indonesia-Korea Selatan pada Januari-Juli 2022 sebesar USD 14,03 miliar. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia ke Korea Selatan sebesar USD 7,27 miliar dan impornya USD 6,77 miliar. Sementara pada 2021, total nilai perdagangan kedua negara sebesar USD 18,41 miliar. Pada tahun tersebur, nilai ekspor Indonesia ke Korea Selatan mencapai USD 8,9 miliar dan impornya USD 9,4 miliar.

Eom menyampaikan untuk membuat pengaruh K-wave seperti sekarang bukan perjalanan singkat. Dimulai pada tahun 1990-an, Presiden Korea Selatan saat itu Kim Dae Jun melihat bahwa negaranya terjebak antar dua kekuatan besar yang mendominsasi yakni Cina dan Rusia. 

“Kami tidak punya banyak sumber daya alam seperti Indonesia, jadi kami memaksimalkan modal sumber daya manusia yang dimiliki, kita butuh kultur hegemoni yang mana bisa menjadi nilai penting bagi pemerintah mempromosikan negara dan mengambil hati masyarakat global itu perhatian utama Korea,” papar Eom. 

Untuk mewujudkannya, presiden membuat institusi pemerintah antara lain  Korea Creative Content Agency (KOCCA) untuk memaksimalkan industri kreatif. Dukungan lainnya tentu, ujar Eom, anggaran yang juga krusial.

“Butuh bertahun-tahun untuk melihat hasilnya. Kami juga pernah mengalami kemunduran seperti anti-Korean Wave yang terjadi di Cina dan Jepang. Kami harus meningkatkan sensitivitas budaya untuk berkomunikasi pada masyarakat global,” ungkapnya.

Selain komitmen dari pemerintah, ketelibatan interaksi people to people exchange semakin memperluas budaya antara Korea Selatan dan Indonesia. Kebudayaan Korea Selatan diperkenalkan oleh disapora Korea Selatan di Indonesia yang melibatkan sukarelawan, akademisi yang belajar di Indonesia, dan pekerja muda. Perkembangan media sosial danperan pemengaruh media sosial yang menciptakan digital publik diplomasi misalnya lewat konten-konten yang mereka buat.

“Tidak hanya hubungan people to people tetapi ada kerja sama seperti bantuan kemanusiaan. Ini semua membuka komunikasi antar dua negara,” ucap Eom.

Pentingnya hak kekayaan intelektual

Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kementerian Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Himam menyampaikan Korea Selatan dapat memaksimalkan intellectual property (IP) atau hak kekayaan intelektual untuk menyumbang pendapatan bagi negara. Sayangnya, ujar Neil, di Indonesia hal itu belum sepenuhnya dijalankan. 

Mengutip survei terkait ekonomi kreatif berdasarkan IP pada 2020, Neil menyebut pelaku ekonomi kreatif yang punya IP tercatat kurang dari 10%. Sedangkan pelaku ekonomi kreatif yang paham pentingnya IP kurang dari 30%.  

“Padahal kita tahu perusahaan besar seperti Google, Meta, Facebook dan lain-lain based-nya IP,” ucap Neil.

Indonesia, menurutnya punya peluang maksimalkan IP sebagai aset dan mengomersialisasikannya, tentunya dengan memanfaatkan perkembangan dunia digital dan teknologi. Neil menyebut karya fotografi misalnya, dengan memanfaatkan teknologi blockchain, fotografer kini dapat menjual foto-foto mereka sebagai Non-Fungible Token ( NFT).

Di industri musik, dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, ada aturan terkait masalah pemungutan royalti, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba diberi kuasa oleh pencipta, pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Namun, itu belum maksimal dilakukan. Neil menuturkan Indonesia dapat mencontoh Korea Selatan yang mempunyai beberapa manajemen kolektif untuk mengelola hak ekonomi dan pemasukan dari royalti karya musik yang sangat besar.

“Mereka bisa melakukan itu karena ekonomi kreatifnya sudah mulai jalan. Jadi pencipta lagu bisa mendapat keuntungan dari produk mereka melalui royalti,” ucap Neil.  (H-3)

Sumber: https://mediaindonesia.com/humaniora/726400/belajar-dari-korea-selatan-yang-berhasil-memaksimalkan-diplomasi-budaya-untuk-kepentingan-nasional

12
Page 1 of 2

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net