Berstatus Negara Middle Power, RI-Korsel Bisa Menjadi Kekuatan Penyeimbang

Bambang Trismawan/Rakyat Merdeka Newspaper

Lokakarya Indonesia and Korea Middlepower-ship in Changing World yang digelar di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Jumat (9/12/2023). Lokakarya ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia yang bekerja sama dengan Korea Foundation. (Foto FPCI)

RM.id  Rakyat Merdeka – Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) sama-sama berstatus sebagai negara dengan kekuatan menengah atau middle power nation. Bukan negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, atau China, tapi juga bukan negara kecil. Meski begitu, negara kekuatan menengah dinilai mempunyai pengaruh yang signifikan di kancah global.

Indonesia misalnya, bisa menjadi juru damai atau jadi jembatan bagi negara-negara yang sedang bertikai dan memainkan peran penyeimbang di tengah dunia yang terpolarisasi. Demikian disampaikan Dosen Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra saat menjadi pembicara dalam lokakarya bertajuk “Indonesia and Korea Middlepower-ship in Changing World” yang digelar di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Jumat (9/12/2023).

Selain Radityo, hadir secara online Asisten Profesor di Departemen Studi Lintas Budaya dan Regional Universitas Kopenhagen, Dr Jin Sangpil. Lokakarya yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation ini diikuti 15 jurnalis yang tergabung dalam program Indonesian Next Generation on Korea Batch 3.

Radityo menjelaskan, sebenarnya tak ada definisi baku mengenai negara dengan kekuatan menengah. Namun, secara umum biasanya memiliki tiga ciri, yaitu ekonomi yang cukup lumayan, jumlah penduduk yang besar, dan identitas yang kuat.

Menurut dia, Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif sudah memainkan peran sebagai negara middle power dengan cukup baik. Ia lalu menjelaskan sejumlah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah arahan Presiden Jokowi.

Indonesia misalnya, senantiasa mendorong multilateralisme yang lebih inklusif dan setara, serta mendorong hak membangun bagi semua negara, serta menjadi penengah bagi negara yang bertikai. Indonesia juga bersikap tegas menghadapi tekanan negara lain. Radityo mencontohkan bagaimana Presiden Jokowi misalnya, tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan G20 di Bali, pada November 2022, meski mendapat penolakan dan ancaman boikot dari negara-negara di Eropa.

Presiden Jokowi juga menghadiri KTT BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, Agustus lalu. Indonesia berbicara di forum tersebut, tapi tetap memilih tidak bergabung menjadi anggota BRICS.

Teranyar, Presiden Jokowi menyerukan pembelaan kepada Palestina dan meminta Israel menyetop serangan ke Gaza. Bahkan Jokowi menyampaikan langsung permintaan tersebut kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden, meski ditanggapi dingin.

“Tipikal negara middle power ialah berusaha menjadi mediator, dan cenderung menjadi jembatan besar antara dua pihak yang berseberangan atau bertikai,” kata Radityo.

Radityo menambahkan, Indonesia dan Korsel kurang lebih memiliki pandangan yang sama dalam melihat situasi global. Kedua negara sama-sama mendorong tatanan global yang damai. Kesamaan pandangan ini yang pada titik yang sama akhirnya mendirikan kelompok negara kekuatan menengah MIKTA yang beranggotakan Meksiko, Indonesia, Korea (Selatan), Turki, dan Australia. Terbentuknya kelompok ini merupakan hal bagus di tengah dunia yang terpolarisasi. Hanya saja, kata dia, perbedaan visi masing-masing negara menjadikan sebuah tantangan tersendiri sehingga sulit menghasilkan keputusan bersama.

Menurut dia, agar posisi Indonesia sebagai middle power makin diperhitungkan di kancah global, Indonesia harus memilih diplomasi mana yang akan difokuskan. Jadi misalnya, sebelum bermimpi menjadi penengah perang Rusia Ukraina, Indonesia bisa mengambil peran dalam persoalan Myanmar.

“Jadi mungkin fokus pada kawasan terlebih dahulu sebelum menjangkau global. Karena jika menjangkau terlalu tinggi, dan melupakan dasar dari kekuatan (diplomasi) yang sebenarnya, maka tidak akan berhasil,” ujarnya.

Jin Sangpil menyampaikan hal senada. Kata dia, forum MIKTA memang sangat rumit, dalam artian masing-masing negara mempunyai rencana dan visinya sendiri. Sehingga sulit dalam menyatukan suara. Namun, kata dia, negara-negara yang berkumpul untuk membentuk semacam organisasi informal seperti ini tidak boleh dianggap enteng di tahun-tahun mendatang. Karena akan menjadi kekuatan yang mempunyai pengaruh besar.

Jin mencontohkan bagaimana Indonesia menghadapi strategi Indo Pasifik yang digagas Amerika Serikat dan strategi One Belt One Road (OBOR) atau Belt Road Initiative (BRI) yang dibuat oleh Presiden China Xi Jinping. Indonesia bisa mengambil manfaat dari dua strategi tersebut.

Indonesia juga menjadi penyeimbang di kawasan. Kata dia, Korsel juga mestinya bisa mengambil manfaat dalam dua strategi negara adidaya tersebut.

“Namun tidak seperti Korea, Indonesia sudah punya pengalaman panjang dalam memposisikan diri sebagai negara netral,” cetusnya.

Saat ini, kata dia, setelah perang dingin usai memang ada dua negara adidaya. Namun, di tahun-tahun mendatang banyak pengamat yang memprediksi akan ada lima negara yang bakal mempunyai pengaruh. Bisa saja itu Brazil, India, atau mungkin juga Indonesia dan negara-negara lain yang akan mengubah peta geopolitik saat ini.

“Faktanya, Kanselir Jerman Olaf Scholz baru-baru ini juga menyampaikan dunia saat ini sedang menuju dunia multipolar,” imbuh Jin. 

Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/202786/berstatus-negara-middle-power-rikorsel-bisa-menjadi-kekuatan-penyeimbang