• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

2021

2021
Pentingnya Penelitian Kelautan untuk Penguatan Ekonomi Biru

Laela Zahra – Medcom.id


Paris’ aquarium Blacktip sharks swim in a pool before being transferred to the Cap d’Agde aquarium, on June 30, 2017 in Paris. / AFP PHOTO / Martin BUREAU

Jakarta: Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia memiliki potensi meningkatkan sumber ekonomi biru, di bidang kelautan dan perikanan. Indonesia dan Korea Selatan telah bekerja sama di bidang penelitian ini sejak 2011, untuk mengembangkan teknologi dan membangun tata kelola kelautan dan perikanan yang lebih baik.

Co-Director of the Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) Hansan Park mengatakan, kedua negara telah melakukan banyak penelitian bersama. Di antaranya pengembangan sistem operasional peramalan oceanografi, pembentukan stasiun validasi satelit optik, pengembangan energi laut, dan manajemen limbah laut.

“Kita juga mengembangkan proyek satelit laut berupa pembentukan sistem aplikasi pengelolaan perairan Indonesia, menggunakan satelit geostationary Korea,” ujar Park, dalam workhop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia, dikutip Rabu, 22 Desember 2021.

Untuk meningkatkan kekuatan ekonomi biru, hasil penelitian harus menjadi perhatian. “Penting bagi pemerintah membaca hasil penelitian,” kata Park.
 
Tata kelola kelautan dan perikanan yang baik, menurutnya akan memberikan banyak manfaat bagi Indonesia untuk meningkatkan produktivitas perikanan, dan mengatasi dampak perubahan iklim.  
 
Sayangnya, di Indonesia manajemen limbah masih belum optimal. “Ini bukan hanya masalah limbah laut, ini dimulai dari kebiasaan masyarakat, lalu juga dalam manajemen limbah, dan daur ulang (recycling) limbah,” kata Park.
 
Dalam misi ini, kedua negara juga telah melaksanakan gerakan bersih pantai di Cirebon, Jawa Tengah, yang mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat, dan berhasil mengumpulkan satu ton sampah.
 
Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia, Rokhmin Dahuri, mengatakan potensi produksi perikanan Indonesia lebih dari satu juta ton per tahun. Angka ini yang tertinggi di dunia, namun dampak perubahan iklim perlu diantisipasi.
 
“Dampak perubahan iklim pada perikanan dirasakan pada peningkatan suhu air, karena ikan di daerah tropis memiliki kemampuan adaptasi terhadap peningkatan suhu air yang sangat rendah. Sejak lima tahun terakhir, pelaku budi daya ikan telah menyiapkan spesies baru yang tahan terhadap peningkatan suhu air,” terang Rokhmin.


Sumber: https://www.medcom.id/ekonomi/bisnis/ybDX7aAb-pentingnya-penelitian-kelautan-untuk-penguatan-ekonomi-biru

2021
Fenomena Hallyu dan Mesin Uang Industri Hiburan Korea Selatan

Ana Noviani – Bisnis.com


Girl grup Korea Selatan, BlackPink berpose usai tampil di festival musik Coachella, Amerika Serikat, pada 2019. – YGFamily

Bisnis, JAKARTA—Pandemi Covid-19 nyatanya tidak memudarkan gemuruh hallyu di penjuru dunia. Lagu-lagu BTS dan Blackpink yang merajai tangga lagu global hingga booming serial Squid Game menjadi bukti tingginya antusiasme publik terhadap produk-produk industri hiburan Korea Selatan dan besarnya perputaran uang di dalamnya.

“Selama pandemi ini, gue justru makin suka sama drama Korea. Semua drama atau film yang menang award gue tonton, hiburan banget,” ujar Feni yang merupakan seorang karyawan swasta ketika berbincang dengan Bisnis, baru-baru ini.

Feni mengaku mulai “terpapar” gelombang Korea sejak masa kuliah. Saat itu, dia mulai menonton serial drama Korea lewat dvd seperti Full House dan Endless Love, serta acara ragam (variety show) seperti Family Outing dan Running Man.

Namun, dia merasa menjadi makin menyukai produk-produk budaya pop Korea dalam 2 tahun terakhir. Tak hanya menikmati K-drama, K-movie, dan K-pop, Feni bahkan juga mengeksplorasi produk makanan hingga kosmetik asal Negeri Ginseng.

“Sekarang gue langganan dua platform OTT, Netflix dan Viu, demi nonton drama Korea,” imbuhnya.

Lain lagi dengan Elga yang menjadi penggemar boy group Korea Selatan Big Bang dan Winner tetapi jarang menonton drama Korea. Sebagai fangirl yang loyal, dia tak segan untuk merogoh kocek demi membeli tiket konser dan album musisi kesayangannya.

“Gue terakhir maraton konser 2018-2019, ada Kpopfest karena pengen lihat Winner, terus juga Red Velvet, Supershow. Kalau merchandise, gue beli albumnya Winner, Mino karena ada edisi eksklusif, dan beberapa yang lain,” paparnya.

Istilah Hallyu atau Korean Wave yang saat ini populer sejatinya merupakan hasil dari perjalanan panjang industri hiburan Korea Selatan selama lebih dari 3 dekade. Saat awal 1990an, Korea Selatan memutar otak untuk melebarkan sayap dari ekonomi yang mengandalkan manufaktur menuju industri lainnya.

Di sela-sela periode memimpin Blue House pada 1998-2003, Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung mendapat laporan bahwa nilai penjualan Jurasic Park, sama seperti penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama. Larisnya penjualan film Hollywood menginspirasi Kim untuk memonetisasi budaya populer Korea Selatan ke dunia internasional.

Andrew Eungi Kim, Professor of International Studies at Korea University, memaparkan tiga fase perkembangan hallyu yang telah bergulir.

“Hallyu berawal dari K-drama, kemudian meluas sehingga saat ini Korea menjadi negara pengekspor budaya populer terbesar di dunia bersama Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Mulai dari film, musik, makanan, hingga fesyen,” tuturnya dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.

Drama dan film Korea yang menjadi pembuka jalan gelombang pertama popularitas Korea atau Hallyu 1.0, antara lain Winter Sinata (2001/2002), Jewel in the Palace (2003/2004), dan My Sassy Girl (2001).

Berkat perkembangan industri perfilman yang pesat, Korea menjadi top eksportir drama televisi dalam 5 tahun terakhir bersama Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, dan Argentina.

Babak kedua Korean Wave atau Hallyu 2.0, kata Kim, berlangsung pada 2000 hingga akhir 2010an dengan fokus pada K-pop mulai dari H.O.T dan Shinhwa, hingga Super Junior, 2PM, Wonder Girls, Big Bang, 2NE1, Psy, serta sekarang BlackPink, NCT, dan BTS.

“BTS sukses dengan penjualan album, konser internasional, dan lagu-lagunya merajai chart global. Mereka menghasilkan banyak uang bahkan nilainya diestimasi US$4,65 miliar pada 2018,” papar kim.

Kendati sulit divalidasi, nilai itu disebut Kim setara dengan 0,3% dari total produk domestik bruto (PDB) Korea Selatan senilai US$1.619 miliar pada 2018.

“Kalau nilai itu benar, pendapatan BTS pada 2018 melampaui PDB 40 negara termiskin di dunia, seperti Somalia, Burundi, Liberia, Bhutan, dan Sudan Selatan,” ungkapnya.

Fase ketiga atau Hallyu 3.0 menyorot soal gaya hidup Korea atau K-lifestyle seperti online games, kosmetik, makanan, fesyen, dan animasi. Gim besutan developer Korea Selatan yang populer antara lain Battlegrounds dan Lineage.

Sementara itu, pecinta skincare Negeri Ginseng pasti sudah tidak asing dengan merek kosmetik IOPE, Nature Republic, Innisfree, Sulwhasoo, Laneige, dan COSRX. Tak sedikit dari merek kosmetik Korea Selatan yang kini sudah memiliki toko resmi di platform e-commerce Indonesia untuk memperluas kanal distribusi daring. Perusahaan kosmetik Korea Selatan, Amorepacific berpartisipasi dalam pameran China International Import Expo ke-4./apgroup.com

NILAI EKONOMI

Kim menyebut Korean Wave memiliki dampak besar terhadap Korea Selatan, khususnya di sektor ekonomi. Pertama, nilai ekspor konten budaya Korea melonjak lima kali lipat dari 2005 menjadi US$6,7 miliar pada 2017.

Saat itu, imbuh Kim, ekspornya didominasi oleh konten gim (US$3,77 miliar), karakter (US$640 juta), informasi pengetahuan (US$630 juta), musik (US$500 juta), dan penyiaran (US$420 juta). Di sisi lain, kontribusi ekspor animasi dan film tercatat hanya US$135 juta dan US$43 juta.

Kedua, kenaikan turis internasional ke Korea. Pada 2000-2016, jumlahnya meningkat lebih dari 3 kali lipat menjadi 17,2 juta wisatawan mancanegara.

“Ketiga, Hallyu juga membentuk citra yang lebih positif tentang Korea dan meningkatkan soft power Korea,” ujar Kim.

Keempat, Korean Wave meningkatkan minat untuk belajar bahasa dan budaya Korea di universitas dan Korean Cultural Center di luar negeri. Kim juga menyebut Hallyu juga menjadi sumber kebanggan nasional bagi banyak warga Korea.

Gelombang popularitas budaya Korea membuat pundi-pundi perusahaan yang terlibat di bidang ini terus menggemuk. Tengok saja pendapatan agensi yang menaungi Bangtan Boys, Big Hit Entertainment.

Sejak BTS merintis popularitas pada 2016, pendapatan Big Hit Entertainment terus melesat. Merujuk data Statista, pendapatan Big Hit naik dari 35,22 miliar won pada 2016 menjad 301,37 miliar won pada 2018 dan 796,28 miliar won atau sekitar Rp9,55 trililun pada 2020.

Kondisi yang hampir senada dialami oleh agensi artis lainnya, seperti JYP Entertainment, SM Entertainment, dan Cube Entertainment.

Dinamika terbaru di industri hiburan Korea Selatan berembus dari rencana akuisisi CJ ENM terhadap 80% saham perusahaan studio film Hollywood, Endeavor Content.

Melansir The Korea Times, salah satu perusahaan media dan hiburan terbesar di Korea Selatan itu harus menyiapkan setidaknya harus menyiapkan dana US$775 juta atau sekitar 920 miliar won untuk mencaplok Endeavor.

Tak hanya itu, CJ ENM juga dikabarkan akan mengakuisisi 18,72% saham SM Entertainment yang menaungi EXO dan Super Junior. Nilai akuisisi perusahaan milik Lee Soo-man itu diperkirakan sekitar 600 miliar won hingga 700 miliar won.

“Kami mendorong investasi skala besar untuk memperbesar intangible asset dan transformasi digital di level grup pada 2023. Kami sudah mengamankan kapabilitas finansial yang cukup untuk mencari sumber pertumbuhan baru dan menciptakan sinergi,” tutur manajemen CJ ENM.

Sebelumnya, CJ Group Chairman LEe Jay-Hyun menyampaikan komitmen untuk mengucurkan investasi lebih dari 10 triliun won dalam 3 tahun ke depan untuk fokus pada empat mesin pertumbuhan, yakni di bidang budaya, platform, kesehatan, dan keberlanjutan.

Hingga akhir 2020, CJ ENM memiliki total aset 6,28 triliun won. Adapun, total penjualannya dalam 3 tahun terakhir tercatat sebesar 2,36 triliun won pada 2018, meningkat menjadi 3,78 triliun won pada 2019, tetap tergerus menjadi 3,39 triliun won pada 2020 akibat terimbas pandemi Covid-19.

Di bisnis kosmetik dan perawatan tubuh, Amorepacific melaporkan total penjualan luar negeri mencapai 1,74 triliun won pada 2020. Jumlah itu setara dengan hampir 40% dari total penjualan Amorepacific pada tahun lalu yang mencapai 4,43 triliun won.

“Kendati pandemi, Amorepacific membidik China dan Asia Tenggara sebagai pasar potensial dengan fokus pada merek global yang menjadi flagship perseroan,” tulis manajemen Amorepacific dalam keterangan resminya.

Perusahaan over-the-top (OTT) global, Netflix Inc. juga memetik buah manis dari fenomena Hallyu. Perusahaan bermarkas di California, Amerika Serikat itu melaporkan peningkatan laba dan pelanggan pada kuartal III/2021 yang melebihi ekspektasi analis berkat serial streaming paling populer di dunia saat ini, Squid Game.

Serial asal Korea Selatan tersebut telah ditonton oleh 142 juta rumah tangga, hanya dalam 4 minggu pertama sejak peluncurannya.

Manajemen Netflix menjelaskan, hal tersebut membuat Squid Game menjadi seri terbesar dalam sejarah Netflix. Serial ini menempati peringkat pertama di 94 negara, termasuk AS.

Mengutip Los Angeles Times, Rabu (20/10), popularitas Squid Game membantu Netflix menambah 4,38 juta pelanggan dari total 214 juta pelanggan pada kuartal ketiga tahun ini, naik dari 2,2 juta dibanding tahun sebelumnya.

Sejalan dengan penambahan pelanggan, pendapatan bisnis streamer naik 16% menjadi US$7,48 miliar pada kuartal III/2021. Laba bersih Netflix juga naik menjadi US$1,45 miliar dari US$790 juta pada periode sama tahun lalu.

“Squid Game adalah representasi dari apa yang kami lihat adalah eksekusi bertahun-tahun pada strategi yang direncanakan dengan sangat baik,” kata Michael Morris, Direktur Pelaksana Senior di Guggenheim Partners, seperti dilansir Los Angeles Times.

Squid Game dirilis pada 17 September 2021 dengan menelan biaya Netflix US$21,4 juta. Serial populer yang disutradarai oleh Hwang Dong-hyuk dan dibintangi Jung Ho-yeon dan Lee Jung-jae itu telah mengkonfirmasi kelanjutan Squid Game musim kedua.

Kendati perputaran uang di industri hiburan Korea bernilai jumbo dan terus berkembang, kontribusinya terhadap ekonomi negara yang kini dipimpin oleh Presiden Moon Jae-in itu tidak sesignifikan industri manufaktur dan teknologi.

Mengutip Statista (2018), kontribusi terbesar PDB Korea Selatan bersumber dari Samsung (13,1%), Hyundai (5,3%), LG Electronics (3,4%), KIA (2,9%), dan Korean Air (0,7%).

“Pemerintah Korea tidak pernah memproyeksikan Hallyu akan menjadi seberapa besar, bahkan pemerintah juga terkejut dengan besarnya dampak BTS,” imbuh Andrew Eungi Kim.

Kendati demikian, Hallyu diakui merupakan sarana diplomasi budaya yang cukup efektif. Pemerintah Korea tidak memberikan subsidi finansial atau insentif kepada industri hiburan Korea, tetapi terus mempromosikan konten budaya Korea ke pasar potensial.


Sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20211222/19/1480638/fenomena-hallyu-dan-mesin-uang-industri-hiburan-korea-selatan

2021
Menilik Peluang Damai Korut-Korsel, Reunifikasi Korea Bakal Tercapai?

Tanti Yulianingsih – Liputan6.com


Liputan6.com, Jakarta – Isu reunifikasi antara Korea Utara (Korut) dan Korea Selatan (Korsel) tak lekang oleh waktu. Hingga kini masih disorot dan tak sedikit yang menanti kedua Korea bersatu, tak hanya berdamai via kesepakatan gencatan senjata.

Ibaratnya, walau berdampingan kedua Korea sejatinya tak sejalan.

Walau kerap tampil bersama dalam beberapa kesempatan seperti ajang olahraga Asian Games 2018, kedua negara tersebut masih menghadapi sejumlah perbedaan dalam beberapa kesepakatan.

Semenjak Korea terpisah dua, Korut dan Korsel kerap menujukkan ke tidak akurannya. Bahkan kedua pemimpin negara hanya bertemu dua kali sejak perang dunia II berakhir. Namun di awal 2015, titik terang perdamaian di Semenanjung Korea mulai terlihat. Ini dimulai kala Pemimpin Tertinggi Korut Kim Jong-un menyampaikan pidato tahun baru yang bernada positif terkait situasi semenanjung Korea.

Terobosan demi menciptakan perdamaian di Semenanjung Korea sesungguhnya telah dilakukan para pemimpin Korea Selatan, bahkan hingga detik ini. Dialog demi dialog semeja dengan pemimpin Korea Utara pun digalakkan.

Namun apa dikata, tak pernah ada kata sepakat untuk reunifikasi dari Pemimpin Tertinggi Korea Utara saat ini,Kim Jong-un. Hasilnya, nihil. Hanya berbuah perpanjangan kesepakatan gencatan senjata yang sejatinya membuat Semenanjung Korea kerap memanas beberapa dekade belakangan, terkait dengan program nuklir yang dilancarkan oleh Korut.

Berkaca dari upaya-upaya tersebut, apakah reunifikasi kedua Korea bakal terjadi?

“Korea Selatan tidak lagi mengejar unifikasi langsung dengan Korea Utara,” ujar Profesor Jung-Yeop Woo, peneliti dan direktur di Asan Institute for Policy Studies dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta pertengahan Desember ini.

Menurut Profesor Woo, saat ini Korsel sudah tak berambisi untuk mencapai reunifikasi dengan Korut. Sudah lewat masa tersebut.

“Pada tahun 1950 dan 1960-an ada perdebatan tentang mencapai unifikasi dengan Korea Utara di Korea Selatan, apakah Korea Selatan perlu menjajaki Korea Utara untuk mencapai unifikasi. Tapi sekarang tidak lagi,” jelas penulis Foreign Intervention in Civil Wars (Cambridge Scholars Publishing, 2017).

Kendati demikian, sambung Profesor Woo, orang-orang Korea Selatan diperkirakan tak bakal menampik proses reunifikasi jika suatu saat nanti terjadi.

“Jadi orang Korea Selatan akan menerima unifikasi jika itu terjadi. Tetapi saya pikir tak bisa mengikuti kebijakan yang langsung bertujuan pada unifikasi,” tuturnya.

“Jadi saya tak bisa mengira apakah pemerintah Korea Selatan bakal merancang kebijakan untuk mencapai unifikasi, tetapi kami sedang mempersiapkan bahwa kami mungkin perlu menerima unifikasi (penyatuan) jika itu terjadi,” paparnya.

Saat ini, urainya, persentase pemikiran orang-orang Korea Selatan untuk mencapai reunifikasi dengan Korea Utara sudah tak seambisius dahulu. Tak lagi menggebu-gebu.

“Tuntutan unifikasi jauh lebih lemah di antara orang Korsel, terutama pada generasi muda,” ucapnya.

Sekilas Perseteruan Korea Utara-Korea Selatan

Secara teknis, Seoul dan Pyongyang berperang pada 1950-1953. Perseteruan antara keduanya berakhir dengan gencatan senjata, bukan perjanjian perdamaian.

Hubungan antar-Korea beku sejak 2010. Saat itu, sebuah kapal perang Korea Selatan tenggelam dan menewaskan 46 pelaut. Seoul melimpahkan kesalahan pada Korea Utara. Namun, Pyongyang menyangkal bertanggung jawab atas kejadian itu.

Eskalasi terbaru ketegangan keduanya terjadi lagi awal bulan Agustus 2015, ketika ledakan ranjau darat di DMZ melukai 2 tentara Korea Selatan. Lalu, peledakkan propaganda anti-Pyongyang dari pengeras suara di sepanjang perbatasan.

Kebuntuan mencapai titik krisis ketika Korea Utara menembakkan 4 peluru ke Korea Selatan. Hal itu diungkapkan pihak pemerintah Korea Selatan. Seoul pun menanggapinya dengan rentetan tembakan artileri.

Pyongyang kemudian membuat ultimatum Seoul untuk menghentikan siaran pada Sabtu sore atau mereka akan membuat aksi militer. Tetapi pada hari itu kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan pembicaraan.

Pada 27 April 2018, ditandatangani dokumen perjanjian damai bertajuk “Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification on the Korean Peninsula”. Korea Utara dan Korea Selatan kemudian bersiap melanjutkan pembahasan mengenai eksekusinya.

Salah satu topik yang kembali disinggung terkait cita-cita persatuan Semenanjung Korea adalah reconnection banyak keluarga, yang terpisah oleh garis perbatasan sejak diberlakukannya gencatan senjata pada 1953 silam.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4830465/menilik-peluang-damai-korut-korsel-reunifikasi-korea-bakal-tercapai

2021
Batu Uji Komitmen Iklim Korea Selatan dan Peluang Kolaborasi

Adhitya Ramadhan – Kompas


Foto yang diambil 30 Mei 2021 dan dirilis oleh Istana Kepresidenan Korea Selatan memperlihatkan Presiden Moon Jae-in memberikan sambutan pada pembukaan 2021 Partnering for Green Growth dan Global Goals 2030 atau pertemuan puncak P4G di Seoul.

Korea Selatan meneguhkan komitmennya pada perubahan iklim setelah parlemen negara ini mengesahkan undang-undang yang mengamanatkan pemangkasan 35 persen emisi gas rumah kaca pada 2030, 1 September 2021. Regulasi ini menjadi pembuka jalan menuju ambisi sebagai negara karbon netral 2050.


Sumber: https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/12/21/batu-uji-komitmen-iklim-korea-selatan-dan-peluang-kolaborasi

2021
Demi Ekonomi Sirkular, Korea Selatan Pacu Ekosistem Daur Ula

Ana Noviani – Bisnis.com


Pekerja mengemas biji plastik usai dijemur di salah satu industri pengolahan limbah plastik di Jakarta. Bisnis – Arief Hermawan P

Bisnis, JAKARTA — Kampanye ekonomi sirkular mulai didengungkan di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Saat Indonesia masih merintis konsep ekonomi hijau itu, Korea Selatan sudah melaju menjadi salah satu negara dengan ekosistem waste management yang unggul di Asia.

Mengutip artikel yang dipublikasikan World Economic Forum (Weforum) pada 2019, Korea Selatan telah mendaur ulang (recycling) 95% dari total sampah makanan mereka. Kesuksesan itu berawal dari langkah pemerintah Korsel melarang pembuangan sampah makanan ke tempat pembuangan sampah pada 2005. Langkah itu dilanjutkan dengan memberlakukan kewajiban mendaur ulang limbah makanan menggunakan kantong khusus yang mudah terurai atau biodegradable pada 2013.

Rata-rata keluarga dengan empat orang membayar US$6 per bulan untuk kantong tersebut. Disinsentif tersebut mendorong keluarga untuk melakukan pengomposan di rumah.

Apabila ditarik ke belakang, Korsel sudah merintis payung hukum untuk menaungi regulasi terkait dengan pengelolaan sampah sejak 1986. Saat itu, pemerintah Negeri Ginseng menerbitkan Undang-Undang Pengendalian Limbah (Waste Control Act Enact).

“Tetapi saat itu Korea masih miskin sehingga regulasi itu tidak berjalan. Baru pada 1995 kembali dimulai,” ujar Ahli Teknik Lingkungan dari Kyonggi University, Korea Selatan, Seung Whee Rhee dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.

Merujuk data Universitas Kyonggi, pemerintah Korsel menerbitkan UU promosi untuk mendaur ulang dan mengurangi penggunaan sumber daya (act on the promotion of saving and recycling of resources) pada 1992.

Baru pada 1995, klasifikasi sampah berdasarkan sumber dan jenisnya diperinci dalam regulasi pemerintah. Limbah diklasifikasikan menjadi sampah rumah tangga dan sampah industri (sampah industri umum, sampah konstruksi, dan sampah khusus).Tak berhenti pada klasifikasi sampah secara sederhana, Korsel membuat enam digit kode untuk jenis-jenis sampah yang berbeda.

Di level rumah tangga, sampah yang wajib untuk dipilah ialah sampah makanan, kertas, plastik, kaleng, gelas, sterofoam, dan tekstil. Sampah jenis tersebut akan didaur ulang. Klasifikasinya terus berkembang dengan menerapkan sampah barang-barang elektronik, termasuk dengan mengadopsi Eco-Assurance System (Eco-AS) di Korea.

“Sangat penting untuk membuat klasifikasi jenis sampah dengan kode yang berbeda-beda,” tuturnya.

Selanjutnya, sampah yang sudah dipilah di level rumah tangga dibuang ke proses pemilahan sampah di level rumah tangga. Khusus untuk sampah makanan, sistem pembuangan sampah pun telah diatur dengan menggunakan kantong plastik khusus yang mudah terurai, tempat sampah dengan cip atau stiker, serta mesin penampung sampah yang dilengkapi RFID (radio frequency identification).

Pada 2019, sampah rumah tangga Korsel tercatat mencapai 57.961 ton per hari. Sekitar 59,7% sudah didaur ulang, 25,7% masuk insenerator, dan 12,7% dibuang ke TPA.

Tingginya tingkat daur ulang di Korsel juga ditopang oleh ketersediaan fasilitas pengolahan sampah yang dibangun oleh pemerintah daerah. Saat ini, ada 33 fasilitas daur ulang milik pemerintah pusat dan daerah yang beroperasi.

Menurut Rhee, skema pendanaan fasilitas daur ulang publik itu berasal dari anggaran pemerintah daerah. Namun, apabila pemda tidak memiliki dana yang cukup pemerintah pusat akan turun tangan mengucurkan pendanaan dengan porsi 40% pusat dan 60% daerah.

Anggarannya, lanjut Rhee, akan lebih besar apabila proyek yang dibangun ialah integrated recycling facility yang digunakan oleh beberapa daerah sekaligus. Dalam proyek itu, sumber pendanaan didominasi oleh anggaran pemerintah pusat dengan porsi sekitar 80%-90%.

“Biayanya akan sangat tergantung pada kapasitas di public recycling facility. Kisarannya US$10.000 per ton kapasitas sampah yang didaur ulang,” imbuhnya.

Dari fasilitas daur ulang tersebut, sampah makanan diproses menjadi makanan hewan, kompos, hingga biogas.

Untuk sampah elektronik, saat ini Korea memiliki 12 pusat daur ulang yang dibangun oleh producer responsibility organization (PRO).

Rhee menuturkan pemerintah Korsel pada 2004-2006 menerbitkan beleid untuk mendorong permintaan produk daur ulang. Aturan itu salah satunya tertuang dalam UU promosi pembelian produk hijau yang terbit pada 2004.

POTENSI KOLABORASI

Indonesia dan Korea Selatan dinilai berpotensi untuk berkolaborasi untuk memacu terbentuknya ekosistem ekonomi sirkular. Menurut Rhee, area kolaborasi antara lain meningkatkan manajemen plastik melalui sistem EPR dan mengembangkan inovasi pembangkit listrik tenaga sampah (waste-to-energy) untuk mencapai target netral karbon.

“Kolaborasi e-waste management melalui komunitas ekonomi sirkular. Hal itu bisa diawali dengan membentuk sistem legal dan institusional,” ujarnya.

Dalam laporan The Economic, Social and Environmental Benefits of A Circular Economy in Indonesia yang merupakan hasil kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas bersama UNDP Indonesia serta didukung oleh Pemerintah Kerajaan Denmark, penerapan ekonomi sirkular berpotensi meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Laporan yang diluncurkan pada awal 2021 tersebut mengungkap lima sektor di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk mengadopsi pendekatan ekonomi sirkular. Lima sektor itu ialah makanan dan minuman, tekstil, konstruksi, perdagangan besar dan ritel, serta kelistrikan dan peralatan elektronik.

Apabila ekonomi sirkular diterapkan dengan optimal di lima sektor itu, PDB Indonesia berpotensi bertambah sekitar Rp 593 triliun hingga Rp 642 triliun. Selain itu, implementasi konsep ekonomi sirkular di kelima sektor juga diestimasi dapat menciptakan sekitar 4,4 juta lapangan kerja baru hingga 2030.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa memaparkan pentingnya ekonomi sirkular untuk pemulihan ekonomi dan reformasi sosial.

“Implementasi ekonomi sirkular diharapkan dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dan terobosan untuk membangun kembali Indonesia yang lebih tangguh pasca Covid-19, melalui penciptaan lapangan pekerjaan hijau (green jobs) dan peningkatan efisiensi proses dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya,” ungkapnya.

Model ekonomi sirkular sekaligus membuka peluang bagi para pelaku ekonomi untuk mengurangi konsumsi bahan, produksi limbah, dan emisi sekaligus mempertahankan pertumbuhan ekonomi.

Kementerian PPN/Bappenas memproyeksikan penerapan model ekonomi sirkular ini juga dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia yang cukup signifikan.

Berdasarkan analisis Bappenas, ekonomi sirkular bisa membantu Indonesia mencapai penurunan emisi GRK sebesar 126 juta ton CO2 ekuivalen pada 2030. Hal itu didorong oleh beberapa faktor termasuk produksi limbah yang lebih rendah, penggunaan sumber daya alternatif yang lebih hemat energi, dan perpanjangan umur sumber daya.


Sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20211220/19/1479872/demi-ekonomi-sirkular-korea-selatan-pacu-ekosistem-daur-ulang-sampah

2021
Jejak Evolusi 3.0 Hallyu, Jalan Panjang Kesuksesan Diplomasi Budaya Korea

Tanti Yulianingsih – Liputan6.com


Ilustrasi Korean Wave (Liputan6.com / Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta – Hallyu, secara harfiah berarti gelombang Korea atau lebih dikenal dengan Korean Wave, mengacu pada penyebaran dan popularitas budaya populer Korea di seluruh dunia terutama sejak awal abad ke-21.

Hallyu pertama kali didorong oleh penyebaran K-drama –yang kemudian berkembang dengan munculnya K-pop dan sebagainya — di seluruh Asia pada dekade pertama abad ke-21 tetapi telah berkembang dari tren regional menjadi fenomena global yang berpengaruh saat ini.

“Korea sekarang menjadi pengekspor budaya populer yang terdepan bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, Jepang,” ujar Andrew Kim, Profesor International Studies di Korea University dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta pertengahan November lalu.

Kim mengutip politikus Amerika Joseph Nye yang menafsirkan Korean Wave atau Gelombang Korea sebagai perkembangan kepopuleran semua hal tentang Korea, mulai dari mode dan film hingga musik dan makanan.

“Contoh lain yang bisa saya rujuk adalah makanan Jepang. Jadi katakanlah Anda pergi ke kota berukuran sedang bahkan kecil di Amerika Utara, Anda akan menemukan restoran Jepang yang penuh dengan orang-orang lokal tanpa terlalu banyak etnis minoritas Jepang yang tinggal di kota-kota tersebut,” ujarnya.

“Dan alasannya adalah orang-orang ketahuan menikmati makanan Jepang karena budaya Jepang adalah sesuatu yang mereka suka, seperti menyukai film tentang samurai, ninja dan sebagainya. Saya memperhatikan bahwa hal yang sama terjadi dengan makanan Korea,” jelasnya.

Jadi, papar Kim, katakanlah 20 tahun yang lalu Anda tidak melihat terlalu banyak orang makan di restoran Korea tapi sekarang restoran Korea tengah menikmati popularitas yang saya saksikan dialami restoran Jepang 30 tahun yang lalu.

Profesor Kim mengatakan, majalah terkemuka Inggris The Economist (2014) bahkan menyebut budaya pop Korea sebagai trendsetter terkemuka di Asia.

Dampak Positif dari Popularitas Global Budaya Populer Korea, Mulai dari Peningkatan Ekonomi Nasional hingga Menjadi Kebanggaan Asia (Asian Pride)

Korean Wave telah memberikan banyak dampak positif bagi Korea khususnya di bidang ekonomi. Sebut saja peningkatan ekspor konten budaya Korea. Total ini lebih dari $6,7 miliar pada tahun 2017 lebih dari peningkatan 5 kali lipat dari tahun 2005.

Selain itu juga terjadi peningkatan pariwisata internasional ke Korea. Jumlah wisatawan mancanegara melonjak lebih dari 3 kali antara tahun 2000 dan 2016 mencapai 17,2 juta.

Tak hanya itu, Profesor Kim mengatakan dampak positif lainnya adalah pembentukan citra Korea yang lebih positif. Popularitas Hallyu meningkat dalam soft power Korea. 

Soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui ketertarikan daripada paksaan atau pembayaran.

Jajak pendapat BBC pada tahun 2016 mengungkapkan bahwa opini publik tentang Korea Selatan telah meningkat setiap tahun sejak data dikumpulkan mulai tahun 2009.

Hallyu juga berperan besar dalam peningkatan minat studi Korea. Terbukti dari pendaftaran yang lebih banyak di kelas bahasa dan budaya Korea di universitas dan pusat budaya Korea di luar negeri.

Hallyu yang menjadi sumber kebanggaan nasional bagi banyak orang Korea, khususnya K-pop bisa dibilang menginspirasi apa yang bisa disebut dengan Asian Pride.

Dengan Hallyu, banyak orang Asia akhirnya memiliki bintang pop internasional yang dapat mereka kagumi sebagai sesama orang Asia. Di mana biasanya bintang populer merupakan orang Barat terutama dari Amerika.

“Booming-nya popularitas K-pop/K-drama di seluruh dunia, membuat orang Asia akhirnya mendapat sorotan di mata publik global. Pada akhirnya orang Asia lebih diterima di seluruh dunia. Keren menjadi menjadi orang Asia,” imbuh Profesor Kim.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4810612/jejak-evolusi-30-hallyu-jalan-panjang-kesuksesan-diplomasi-budaya-korea

2021
Jeli mengambil peluang di tengah tantangan Presidensi G20 2022

Desca Lidya Natalia – Antaranews.com


Presiden Joko Widodo (kedua) menerima keketuaan atau Presidensi KTT G20 dari Perdana Menteri Italia Mario Draghi (kanan) pada sesi penutupan KTT G20 di Roma, Italia, Minggu (31/10/2021). Presidensi KTT G20 ini merupakan yang pertama bagi Indonesia dan akan dimulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. (ANTARA FOTO/Biro Pers Media Kepresidenan/Laily Rachev/Handout/rwa.)

Jakarta (ANTARA) – Presiden Joko Widodo menerima palu sidang dari Perdana Menteri Italia Mario saat penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Roma pada 31 Oktober 2021.

Presiden Jokowi lalu mengetukkan palu tersebut untuk menutup sidang. Artinya, Indonesia pun memegang tongkat Presidensi G20 mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022.

Presiden Jokowi menjelaskan Presidensi G20 Indonesia akan mendorong upaya bersama untuk pemulihan ekonomi dunia dengan tema besar “Recover Together, Recover Stronger”. Pertumbuhan ekonomi yang inklusif, “people-centered”, serta ramah lingkungan dan berkelanjutan, menjadi komitmen utama kepemimpinan Indonesia di G20.

Dalam pidatonya saat pembukaan Presidensi G20 Indonesia, seperti yang ditayangkan pada YouTube Sekretariat Presiden, pada 1 Desember 2021, Presiden Jokowi mengatakan ada tiga fokus yang akan Indonesia dorong.

Pertama, penanganan kesehatan yang inklusif. Kedua, transformasi berbasis digital, ketiga transisi menuju energi berkelanjutan.

“Saya ingin presidensi Indonesia di G20 tidak sebatas seremonial belaka. Indonesia mendorong negara-negara G20 untuk melakukan aksi-aksi nyata. Indonesia akan terus mendorong negara-negara g20 menghasilkan terobosan-terobosan besar, membangun kolaborasi dan menggalang kekuatan untuk memastikan masyarakat dunia dapat merasakan dampak positif dari kerja sama ini,” kata Presiden Jokowi dalam pidatonya.

Presiden Jokowi berjanji menggunakan tampuk Presidensi G20 untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan negara-negara berkembang.

“Indonesia berupaya memperkuat solidaritas dunia mengatasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan dan menggalang komitmen negara maju membantu negara berkembang. Negara kaya membantu negara miskin. Kebersamaan adalah jawaban atas masa depan dengan semangat solidaritas,” ungkap Presiden.

Nantinya akan dilangsungkan 150 pertemuan tingkat pimpinan, menteri, deputi, hingga “working group”. Pertemuan-pertemuan tersebut akan terbagi ke dalam dua “track” yaitu “finance track” (isu ekonomi dan keuangan) maupun “sherpa track” (meliputi isu yang lebih luas di luar ekonomi dan keuangan: energi, pembangunan, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, perubahan iklim, dan lain-lain), serta dapat diselaraskan dengan kerja sama multilateral lainnya.

Kelompok 20 (G20) yang berisi 19 negara dengan 1 organisasi regional (Uni Eropa) memang pertama terbentuk pada 1999 di Jerman sebagai respon atas krisis Asia 1997-1998.

Saat dunia kembali menghadapi krisis keuangan global pada 2008, level pertemuan yang tadinya hanya sampai pada tingkat menteri keuangan ditingkatkan menjadi pertemuan kepala pemerintah mulai 2008 di Washington, Amerika Serikat.

G20 pun menjadi bentuk kesadaran aksioma “mencegah lebih baik dari pada mengobati” negara-negara maju yang tergabung dalam G7 –Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jerman, Italia, dan Jepang– bahwa krisis keuangan tidak dapat mereka selesaikan sendiri dan membutuhkan kerja sama dengan negara lain seperti negara-negara berkembang.

Interdependensi sektor keuangan membuat negara-negara maju dalam G7 (dan UE) melihat perlunya aktor lain seperti Rusia, China, Korea Selatan, Australia, Indonesia, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Argentina, Brazil, dan Meksiko diikutsertakan untuk memperbaiki arsitektur keuangan nasional.

G20 menjadi suatu klub eksekutif yang memegang sekitar lebih dari 60 populasi global, 75 persen perdagangan dunia, dan lebih dari 80 persen perekonomian dunia, logikanya bila perekonomian anggota G20 sehat, kondisi perekonomian dunia pun terjaga.

Keunggulan lain G20 adalah partisipasi institusi finansial global seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, maupun bank regional seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam pertemuannya sehingga lebih mudah mengordinasikan kebijakan keuangan negara dengan kebijakan lembaga-lembaga tersebut.

Memimpin dalam tantangan

Namun kepemimpinan Indonesia dalam G20 sepanjang setahun ke depan juga memiliki sejumlah tantangan.

Pertama pandemi COVID-19 yang telah berlangsung selama dua tahun yang tidak hanya menelan korban hingga lebih dari 5,3 juta orang dan menjangkiti sekitar 273 juta orang di 222 negara dan teritorial tapi juga berdampak di bidang-bidang lain seperti perdagangan dan keuangan.

Hingga pertengahan 2021, negara-negara G20 telah mengeluarkan 21 miliar dollar AS untuk mendukung produksi, distribusi, dan akses terhadap diagnosis, terapi, dan vaksin. Anggota G20 juga mendukung WHO untuk mengimplementasikan Regulasi Kesehatan Internasional 2005, Dana Solidaritas untuk Respons COVID-19 serta mendukung inisiatif global untuk “Coalition for Epidemic Preparedness Innovations” (CEPI) dan inisiatif akselerator akses peralatan COVID-19 untuk menjamin akses terhadap vaksin, pengobatan, dan peralatan lain bagi semua negara.

Kedua, tantangan di bidang ekonomi. Ekonomi dunia pada 2020 tercatat mengalami kontraksi sebesar 3,2 persen, salah satunya karena pandemi COVID-19 yang hingga saat ini juga belum dapat dikendalikan.

Pandemi mengakselerasi gejala proteksionisme karena penutupan jalur distribusi utama global. Menurut Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, A Prasetyantoko dalam tulisannya, selain meningkatkan biaya logistik, penutupan jalur distribusi juga mengubah peta rantai pasok global sehingga meningkatkan biaya produksi.

Para investor juga mulai melepas kepemilikan saham perusahaan berbasis penerbangan, perhotelan, dan sektor lain terkait dengan pariwisata. Biaya logistik juga terus merangkak naik sehingga mendorong kenaikan harga barang kebutuhan konsumsi sehari-hari.

Dalam jangka panjang, perekonomian ke depan akan diwarnai dengan pertumbuhan rendah yang disertai kenaikan harga (stagflasi) sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat menurun.

Untuk mengatasi kondisi tersebut, di sektor keuangan, negara-negara G20 telah mengeluarkan stimulus hingga 11 triliun dollar AS untuk penanganan COVID-19 di bidang ekonomi. Salah satunya adalah melalui inisiatif “Debt Service Suspension Initiative (DSSI) yaitu penangguhan pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri bagi negara-negara paling miskin di dunia yang membutuhkan. Dalam jangka pendek, skema DSSI membantu perekonomian negara-negara miskin melalui penyediaan likuiditas untuk penanggulangan pandemi COVID-19.

Selain itu, G20 juga membuat “common framework” di luar fasilitas DSSI untuk membantu restrukturisasi utang bagi negara yang paling membutuhkan, serta mendorong keterlibatan kreditor sektor swasta.

Ketiga, semakin jauhnya ketimpangan pemulihan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ketimpangan tersebut dapat tampak di bidang kesehatan dan ekonomi.

Di bidang kesehatan misalnya adalah akses terhadap vaksinasi. Data menunjukkan tingkat vaksinasi di negara-negara maju dan sebagian negara berkembang berkisar 60-80 persen (negara maju) dan 25-40 persen (negara berkembang). Namun, di negara-negara miskin, khususnya di Afrika, tingkat vaksinasi masih di bawah 10 persen, bahkan ada yang baru 3-5 persen.

Sedangkan di bidang ekonomi, produktivitas yang meningkat akibat digitalisasi ekonomi di negara-negara maju akan mendorong realokasi sumber daya pada perusahaan atau sektor ekonomi yang mampu beradaptasi, diikuti dengan penyesuaian kebutuhan keahlian pekerja.

Negara maju dengan penguasaan teknologi dan infrastrukturnya akan lebih di depan dalam proses realokasi ini dibandingkan dengan negara-negara berkembang. IMF bahkan menurunkan prakiraan pertumbuhan ekonomi 2021 negara-negara berkembang sebesar 0,4 persen dan menaikkan proyeksi negara maju sebesar 0,5 persen.

Keempat persaingan dua negara besar yang adalah anggota G20 yaitu Amerika Serikat dan China.

Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Jake Sullivan dan Asisten Deputi Presiden Biden di Asia Pasifik Kurt Campbell dalam tulisan mereka berjudul “Competition Without Catastrophe: How America Can Both Challenge and Coexist With China” di Foreign Affairs pada September/Oktober 2019 menganalogikan hubungan AS dan China sebagai “Perang Dingin” baru. Seperti Uni Soviet, China adalah kompetitor setara dengan sistem politik represif dan ambisi yang besar.

Namun tidak seperti Uni Soviet, China punya peranan besar di dunia dan punya irisan dengan ekonomi AS ditambah dengan relasi diplomatik yang lebih rumit dan ideologi yang lebih fleksibel dibanding Uni Soviet. Artinya tidak tepat lagi menerapkan strategi yang AS lakukan terhadap Uni Soviet kepada China. “containment strategy” yang diterapkan AS pada masa Perang Dingin 1950-1970.

Partai Komunis China telah menunjukkan kemampuan menakjubkan untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan teknologi termasuk pengawasan massal (mass surveillance) dan kecerdasan buatan sehingga memiliki pemerintahan otoriter digital yang efektif.

Selain itu China adalah kompetitor yang paling sengit untuk AS karena saat ini Pendapatan Domestik Bruto (PDB) China bahkan sudah 25 persen lebih besar dibanding AS sehingga China. Dengan kondisi tersebut, masalah global akan sulit diatasi bila AS dan China tidak bekerja sama termasuk untuk mengatasi perubahan iklim dan juga pandemi COVID-19.

Belajar dari Korsel

Pakar Hubungan Internasional dari The Sejong Institute Korea, Woo Jung Yeop mengakui bahwa kompetisi antara AS dan China dapat menempatkan Indonesia sebagai ketua G20 di posisi yang sulit.

“Presidensi Indonesia di G20 pada 2022 berbeda dengan Presidensi Korea Selatan (Korsel) pada 2010 karena saat ini dengan kompetisi yang semakin ketat antara AS dan China pertemuan G20 lebih cocok disebut sebagai ‘global power competition’ dibanding ‘multilateral discussion on the matters’ dan akhirnya membatasi ruang bagi ketua G20 untuk melakukan manuver,” kata Woo di Jakarta pada Senin (13/12).

Woo menyampaikan hal tersebut dalam “workshop” yang berjudul “Security Issues on the Korean Peninsula” untuk kegiatan “Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation.

Menurut Woo, pada 2010 saat Korsel mendapat presidensi G20, AS masih dipimpin Presiden Barack Obama yang punya pandangan positif terhadap China sehingga AS maupun China dapat bekerja sama dengan anggota-anggota G20 lain untuk mengatasi masalah global saat itu.

“Korsel dalam memimpin G20 dapat melakukan lebih banyak manuver misalnya dengan mengundang lebih banyak negara, menetapkan agenda diskusi G20 dan lainnya,” tambah Woo.

Apalagi saat itu Korsel dipimpin oleh Presiden Lee Myung Bak yang lebih pro-AS, punya hubungan baik dengan Presiden Obama dan ingin terlibah lebih banyak dalam isu-isu global.

“Jadi bukan masalah kapasistas dan kemampuan Indonesia yang berbeda dengan Korsel melainkan karena saat ini terjadi kompetisi sengit antara AS dan China maka forum multilateral menjadi ajang tarik-menarik kedua negara sehingga mungkin peran Indonesia akan terbatas,” ungkap Woo.

Namun Woo meyakini Indonesia dapat memainkan peran penting saat memimpin G20 dengan melakukan diplomasi yang cerdas.

Inisiatif Indonesia khususnya untuk menyatukan negara-negara berkembang dapat menjadi kunci agar ada perimbangan kekuatan AS-China.

Belajar dari KTT Seoul (2010) dimana pemimpin-pemimpin G20 memutuskan untuk memberikan porsi bobot suara yang lebih besar kepada negara-negara berkembang termasuk untuk ikut menentukan pembuatan keputusan-keputusan strategis di IMF dan Bank Dunia, Indonesia juga dapat memprioritaskan kepentingan negara-negara berkembang.

Para pemimpin G20 di Seoul (2010) sepakat menghasilkan kerangka kerja bagi pertumbuhan ekonomi global yang kuat, seimbang, berkelanjutan, serta membentuk Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI) sebagai “platform” untuk mempromosikan inklusi keuangan dan berjanji untuk tidak melanjutkan kebijakan-kebijakan proteksionis dan terus bekerja demi putaran Doha tentang pembicaraan liberalisasi perdagangan.

Peluang Indonesia

Dapat dikatakan salah satu keunggulan G20 adalah memberikan fleksibilitas dan kelenturan dalam merespons berbagai perkembangan ekonomi global karena sifatnya yang informal sehingga adaptif untuk membuat agenda pembahasan tata kelola ekonomi global berbasis konsensus anggota-anggotanya.

G20 sejak berdiri telah menghasilkan 457 komitmen tata kelola ekonomi global, di mana pada setiap KTT dihasilkan 20-40 komitmen.

Dengan melihat tantangan, situasi global dan natur dari G20 maka Indonesia diharapkan bisa menjadi pemimpin dan koordinator yang efektif bagi anggota-anggota G20 dan pada saat bersamaan menjadi menjadi jembatan penghubung antara negara-negara maju anggota G20 serta negara-negara berkembang di G20 bahkan dengan negara-negara tertinggal di luar G-20.

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Indonesia adalah pertama, membangun soliditas negara-negara berkembang dengan menyuarakan harapan dari negara-negara berkembang di luar G20 ke dalam forum G20.

Sejumlah harapan yang wajib disuarakan antara lain adalah akses setara atas vaksin COVID-19, bantuan untuk transformasi keuangan berbasis digital serta tentu bantuan modal dan teknologi menuju energi berkelanjutan.

Kedua, Indonesia juga bisa mengajak anggota-anggota G20 untuk berkolaborasi dan berkontribusi positif dalam menjaga perdamaian, stabilitas kawasan sekaligus memajukan kerja sama di Indo-Pasifik serta dunia.

Seperti adagium “global problems need global solutions” mata banyak negara menanti kerja nyata di G20 untuk menyelesaikan masalah global. Selamat bekerja.


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2593153/jeli-mengambil-peluang-di-tengah-tantangan-presidensi-g20-2022

2021
Mengungkap Alasan Korea Utara Kembangkan Senjata Nuklir

Suci Sekarwati – Tempo.co


TEMPO.CO, Jakarta – Ada banyak alasan mengapa Korea Utara mengembangkan senjata nuklirnya. Diantaranya, untuk mengkompensasi kelemahan dan membangun rasa percaya diri.

Menurut Woo Jung-yeop, Peneliti dari Sejong Institut di Korea Selatan, suatu negara harus punya rasa percaya diri. Maka, kelemahan harus dikompensasi dengan kekuatan dan Korea Utara memilih mengembangkan kemampuan senjata nuklirnya. Ini berbeda dengan Korea Selatan yang lebih memilih mengembangkan perekonomiannya.

“Coba bayangkan, jika perang dingin masih berlangsung dan Korea Utara ada di bawah kendali Uni Soviet, saya yakin Uni Soviet pun tidak akan membiarkan Korea Utara mengembangkan senjata nuklirnya. Sebab itu hanya akan menciptakan ketidak-stabilan,” kata Woo, Senin 13 Desember 2021, dalam pertemuan ke-6 the Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, yang diselenggarakan Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). 

Woo menjelaskan kombinasi dari sistem politik, kediktatoran individu di Korea Utara, runtuhnya perang dingin dan isolasi dunia internasional telah menjadi alasan bagi Korea Utara untuk mengejar pengembangan senjata pemusnah massal.

Kediktatoran di Korea Utara sangat serius, hingga hampir segalanya dianggap sebagai ancaman. Meskipun Korea Selatan tidak punya niat untuk menginvasi Korea Utara, begitu pula Amerika Serikat. Namun, Korea Utara masih saja menganggap Korea Selatan dan Amerika Serikat seperti ancaman, sikap ini juga sekaligus untuk menjaga kediktatoran individu di Korea Utara.  

Lalu, apa yang membuat Korea Utara bertahan di tengah isolasi dunia? Menurut Woo, sistem politik di Korea Utara yang membuat mereka survive meskipun ada perubahan dari luar negara itu (isolasi dunia luar).

Setelah perang dingin berakhir, negara-negara non-demokratis di dunia runtuh, bukan karena invasi dari luar namun karena adanya tuntutan demokrasi dari dalam negeri. Untuk menciptakan setiap gerakan agar demokratisasi hidup, dibutuhkan upaya keras (semacam gelombang unjuk rasa)

Bagi Korea Utara, untuk meredam tuntutan itu (demokrasi), Pyongyang memutuskan menyetop masuknya semua bentuk informasi ke negara itu. Walhasil, secara ekonomi negara itu juga jadi tidak berkembang.

Kondisi ini membuat Korea Utara juga tidak bisa berkompetisi secara ekonomi, sehingga mereka mencari cara lain untuk mengkompensasi kelemahan tersebut, yakni dengan mengembangkan senjata nuklir.

Korea Utara terakhir kali melakukan uji coba senjata nuklir pada Selasa, 19 Oktober 2021. Ketika itu, Pyongyang menembakkan setidaknya satu rudal balistik di lepas pantai timurnya. 

Peluncuran itu bersamaan dengan pembukaan pameran senjata di Ibu Kota Seoul, serta rencana Korea Selatan yang bersiap meluncurkan pesawat luar angkasa.

Menurut Reuters, satu rudal balistik diluncurkan sekitar pukul 10:17 waktu setempat dari sekitar Sinpo, yakni sebuah wilayah di Korea Utara, yang diduga tempat Korea Utara menyimpan kapal selam serta peralatan untuk uji tembak rudal balistik dari kapal selam (SLBM).


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1540807/mengungkap-alasan-korea-utara-kembangkan-senjata-nuklir/full&view=ok

2021
Adanya Kompetisi AS dan China Dapat Batasi Agenda Indonesia di G20

Idealisa Masyrafina – Republika


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pertemuan G20 pada 2022 mendatang menjadi ajang penting bagi Indonesia dalam diplomasi internasionalnya. Saat itu, Indonesia akan menjadi tuan rumah atau Presidensi dari pertemuan penting ini.

Dalam agenda penting ini, Indonesia berharap untuk memperluas kerja sama internasional di bidang ekonomi, investasi, hingga kesehatan. Presiden RI Joko Widodo menekankan tiga agenda utama yaitu kesehatan inklusif, transformasi digital dan transisi energi. Indonesia juga berharap dapat menjadi bagian dari rantai pasok global untuk bidang kesehatan.

Pakar Hubungan Internasional dari The Sejong Institute Korea, Dr Woo Jung-yeop menjelaskan, kondisi global saat ini dengan kompetisi yang semakin berkembang antara AS dan China kemungkinan akan membuat Indonesia sulit untuk mengambil langkah-langkah yang tepat dalam hubungan bilateralnya.

“Dengan meningkatnya kompetisi antara dua ekonomi besar dunia, ini akan lebih mengarah ke kompetisi global dibandingkan diplomasi multilateral. Ini bukan tentang Indonesia, tapi faktor eksternal yang akan membatasi geraknya,” ujar Dr Woo Jung-yeop dalam workshop ke 6 Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Senin (13/12). Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation.

Menurut Dr Woo, situasi saat ini sangat berbeda ketika Korea Selatan yang menjadi presidensi G20 pada 2010 lalu. Saat itu, Presiden AS Barrack Obama lebih terbuka dengan diplomasi multilateral karena belum ada persaingan sengit dengan China.

Hal ini berbeda ketika pada saat ini China hampir mengejar AS dalam menjadi ekonomi terbesar di dunia. Dengan meningkatnya pengaruh ekonomi China, AS sekarang menekan negara-negara aliansinya untuk bertentangan dengan China.

Ia mencontohkan posisi Korea Selatan yang sulit saat ini, karena sebagai aliansi terbesar AS, Korsel bertetangga dekat dengan China. Ini tentunya juga terjadi pada Indonesia, yang memiliki hubungan baik dengan kedua negara ekonomi terbesar dunia tersebut.

“Sekarang AS berusaha menggunakan hubungan multilateral untuk melawan China. Dengan adanya kompetisi semacam ini, tarik-menarik dari dua negara, peran Indonesia mungkin akan terbatas,” kata Dr Woo.

Akan tetapi, ia meyakini bahwa independensi politik negara-negara Asia dapat diraih dengan berbagai upaya diplomasi. Upaya negara-negara Asia nanti dalam diplomasi multilateral diharapkan dapat memberikan jaminan keamanan regional dari AS, sekaligus meningkatkan hubungan ekonomi dengan China.

Sebelumnya Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengumumkan prioritas presidensi G20 Indonesia dalam pertemuan ASEAN-G7. “Saya menjelaskan prioritas keketuaan Indonesia di G20 yaitu, penguatan arsitektur kesehatan global, transisi energi, dan transformasi digital,” ujar Retno mengikuti pertemuan ASEAN-G7 secara virtual dari Jakarta, Ahad (12/12).

Presidensi G20 Indonesia akan memperkuat satuan kerja bersama kesehatan dan keuangan yang telah dibentuk dalam Presidensi G20 sebelumnya oleh Italia. Peran satuan tugas tersebut sangat penting untuk memitigasi potensi krisis di masa depan karena isu kesehatan.

2021
Memanfaatkan kerja sama bilateral dan multilateral maritim Indonesia

Desca Lidya Natalia – Antaranews.com


Pertemuan bilateral antara Menteri Koordinator BIdang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken, di Jakarta, Selasa (14/12/2021). ANTARA/HO-Kemenko Kemaritiman dan Investasi/aa.

Jakarta (ANTARA) – Saat kunjungan kerja Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken ke Indonesia pada 13-14 Desember 2021, Indonesia dan AS mencapai sejumlah kesepakatan yang tertuang dalam tiga nota kesepahaman (MoU).

Ketiga MoU tersebut adalah di bidang maritim, pendidikan dan “Peace Corps Program” yang digagas AS untuk meningkatkan hubungan antarmasyarakat (people-to-people contact).

Tiga MoU tersebut mencerminkan penguatan kerja sama bilateral kedua negara sekaligus tindak lanjut dari pembicaraan antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden RI Joko Widodo di Glasgow pada November 2021.

Khusus untuk kerja sama maritim, MoU itu memperpanjang kesepakatan yang sudah dicapai sebelumnya sehingga berlaku sampai 2026, antara lain mencakup kerja sama keamanan maritim, sumber daya kelautan, konservasi dan pengelolaan perikanan, serta keselamatan dan navigasi maritim.

“Di wilayah ini di mana begitu banyak hal terjadi di laut … dan pada saat kritis ketika krisis iklim mengancam jalur air, pesisir, dan kehidupan laut, kerja sama di bidang maritim menjadi lebih penting dari sebelumnya,” kata Menlu AS Antony Blinken di di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jakarta, Selasa (14/12).

Kesepakatan tersebut secara tidak langsung juga menunjukkan komitmen AS untuk meningkatkan keamanan di kawasan Indo-Pasifik bersama para sekutunya.

“Amerika Serikat mengakui bahwa sebagian besar masa depan planet kita akan berada di Indo-Pasifik. Komitmen abadi kami untuk kawasan ini dan kolaborasi kami dengan para sekutu dan mitra kami akan membantu mencapai kawasan yang bebas dan terbuka, saling terhubung, sejahtera, tangguh, dan aman untuk semua,” ungkap Blinken dalam pidatonya yang disampaikan di Universitas Indonesia, Depok, Selasa.

Menlu Blinken menyebut bahwa AS punya kepentingan agar kawasan Indo-Pasifik menjadi kawasan yang bebas dan terbuka.

Kerja sama maritim

Sesungguhnya, bukan AS saja yang memiliki kerja sama di bidang maritim dengan Indonesia. Salah satu negara yang juga punya kerja sama erat dengan Indonesia di bidang kemaritiman adalah Korea Selatan (Korsel)

Pada 14 September 2021 adalah tepat tiga tahun kerja sama Korea-Indonesia MTCRC (Marine Technology Cooperation Research Center).

Korea-Indonesia MTCRC merupakan pusat penelitian bersama antar pemerintah Korea dan Indonesia di bidang ilmu dan teknologi kelautan. Lembaga tersebut dibuat untuk memperkuat dan mempromosikan kerjasama praktis di bidang ilmu dan teknologi kelautan antara Korea dan Indonesia, seperti proyek penelitian bersama dan program peningkatan kapasitas.

Awal terbentuknya Indonesia MTCRC adalah pada 2011 saat Indonesia dan Korsel melihat potensi kolaborasi dan penelitian di bidang kemaritiman.

Dalam lima tahun selanjutnya dilakukan penelitian bersama antara Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Barulah pada Mei 2016, kedua negara menandatangani MoU penelitian kemaritiman sehingga dua tahun berselang, MoU terwujud dalam pendirian Pusat Penelitian dan Kerjasama Teknologi Kelautan (PPKT) disusul dengan diresmikannya Korea-Indonesia MTCRC pada 2018.

MTRCR menjadi pusat penelitian bersama antara pemerintah Korea dan Indonesia di bidang teknologi kelautan untuk memperkuat dan mempromosikan kerja sama praktis di bidang ilmu dan teknologi kelautan, seperti proyek penelitian bersama dan program peningkatan kapasitas.

Direktur Korea-Indonesia Marine Technology Cooperaton Research Center Hansan Park dalam “workshop” Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama dengan Korea Foundation Jakarta mengatakan bahwa MTCRC memiliki sejumlah aktivitas.

Pertama, MTCRC menjadi wadah kemitraan kementerian, perguruan tinggi dan lembaga lainnya di bidang kemaritiman. Kedua, lembaga pelaksana penelitian bersama.

Sejumlah penelitian yang sudah dikerjakan, misalnya, adalah “Operational Oceanography Forecast System Development”, “Optical Satellite Validation Station Establishment and Application”, dan “Mid-long Term Plan of Korea Indonesia Marine Science and Technology Cooperation” untuk pengembangan konsep untuk proyek Official Development Assistance (ODA), serta ketiga, peningkatan kapasitas (capacity building).

MTCRC telah melakukan survei kelautan yang terdiri dari survei batimetri, data fisik oseanografi, studi dasar laut, dan data kualitas air. Survei batimetri dilakukan untuk mengukur kedalaman perairan yang akan dijadikan lokasi restorasi terumbu karang dan lokasi penenggelaman kapal perang.

Survei dasar laut dilakukan untuk mengetahui topografi dan profil dasar laut. Hasil survei tersebut berupa peta rekomendasi yang berisi informasi tentang kedalaman dan profil dasar laut.

Kedua, melakukan aksi bersih pantai yang dilakukam MTCRC bersama dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, ITB, Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) Korea serta pemerintah daerah Cirebon pada 2019, menurut Park, dalam waktu kurang dari 1 jam, bahkan berhasil mengumpulkan sampah plastik sebanyak 908.48 kilogram.

Ketiga, MTCRC juga turun tangan dalam survei Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) di Bali sampai membantu survei laut untuk mencari Pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di Perairan Kepulauan Seribu pada Januari 2021 dengan kapal riset ARA.

Kapal ARA sendiri merupakan kapal yang dioperasikan oleh MTCRC yang digunakan untuk kegiatan penelitian dan eksplorasi kelautan. Kapal ini memiliki panjang 12 meter dengan kapasitas 12 orang termasuk awak kapal dan nakhoda.

“Indonesia memiliki tiga isu utama di bidang maritim, yaitu logistik, lingkungan, dan potensi perikanan. Terkait dengan logistik, kerja sama dapat dilakukan dengan mengoperasikan ‘oceanography forecast system’ dan penggunaan ‘geostationary satellite’,” tutur Park.

Apalagi Indonesia adalah negara kedua yang memiliki garis pantai terpanjang sehingga biaya logistiknya lebih tinggi dibanding Korsel sehingga penggunaan teknologi navigasi dapat memberikan efisiensi biaya logistik sekaligus menjaga keselamatan pelayaran.

Sementara di budi daya perikanan, Park menyebut potensi kerja sama dengan mengembangkan praktik Smart Aquaculture (akuakultur cerdas), meski Park mengakui bahwa praktik “illegal, unreporter, and unregulated (IUU) fishing” masih terjadi dan perlu ditindak.

Park menyebut penggunaan “monitoring vessel system” dan “remote sensing technology” dapat diterapkan untuk mengurangi penangkapan ikan ilegal.

Kerja sama bidang maritim antara Indonesia dan Korsel bahkan diperkuat dengan kedatangan Menteri Samudera dan Perikanan Moon Seong-Hyeok ke Indonesia pada 13 Oktober 2021.

Saat Menteri Moon bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan, keduanya menyepakati MoU terkait Industri Jasa Instalasi Lepas Pantai. MoU tersebut juga ditandatangani oleh kelima perusahaan yang terkait dalam kerja sama ini, yaitu GasEntec dan Samin MTS dari Korea, serta Elnusa, GTSI, JSK Shipping dari Indonesia.

“MoU ini dapat menjadi dasar kerja sama antara Indonesia dan Korea untuk pembongkaran platform lepas pantai yang ditinggalkan. ‘Platform’ lepas pantai yang tidak terpakai akan digunakan untuk ‘artificial coral reefs’, akuakultur, wisata laut, dan pusat penelitian,” ujar Luhut.

Empat isu yang dibahas dalam MoU tersebut adalah pengembangan teknologi terkait industri jasa instalasi lepas pantai, mendorong komunikasi dan kerja sama di sektor swasta, peningkatan kapasitas dan pengembangan sumber daya manusia, dan decommissioning (penutupan fasilitas dan pemulihan lingkungan anjungan migas) dan pemanfaatan kembali pabrik lepas pantai.

Kerja sama multilateral

Selain kerja sama bilateral dengan Amerika Serikat dan Korea Selatan, Indonesia juga secara aktif terlibat dalam kerja sama mulilateral di bidang maritim dengan menjadi anggota aktif di Dewan di Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO).

Indonesia pun kembali terpilih sebagai anggota IMO kategori C pada pemilihan yang berlangsung di Markas Besar IMO di London pada 10 Desember 2021.

Indonesia mendapatkan perolehan 127 suara dari 159 suara sah, dan akan menjabat sebagai anggota Dewan (IMO) untuk 2022- 2023.

Menurut Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya dan Irlandia sekaligus Wakil Tetap RI untuk IMO, Desra Percaya, keanggotaan Indonesia pada Dewan IMO sebagai badan eksekutif organisasi maritim dunia tersebut akan memberikan peluang lebih besar untuk terus memainkan peranan penting dalam dunia pelayaran.

Desra menegaskan bahwa terpilihnya Indonesia tidak lepas dari pengakuan masyarakat internasional terhadap peran aktif Indonesia di keamanan dan keselamatan pelayaran yang menjadi mandat IMO.

“Indonesia selama ini juga telah berperan aktif sebagai perintis dalam mendorong perlindungan pelaut melalui adopsi resolusi Majelis Umum PBB pertama terkait pelaut dan pengelolaan arus barang secara global (global supply chain) pada Desember tahun lalu,” kata Desra.

IMO adalah badan khusus PBB yang berkantor pusat di London dan bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pelayaran dan pencegahan pencemaran laut oleh kapal.

Dewan IMO merupakan organ eksekutif organisasi yang bertanggung jawab untuk mengawasi kerja dan kinerja organisasi, dan dipilih untuk jangka waktu dua tahun.

Terdapat 3 kategori Anggota Dewan IMO yaitu Kategori A, B, dan C. Anggota Dewan Kategori A merupakan 10 negara anggota dengan armada terbesar. Kategori B merupakan 10 negara lain dengan kepentingan terbesar dalam penggunaan jasa pelayaran, sementara kategori C adalah 20 negara yang tidak termasuk dalam anggota kategori A dan B, namun memiliki kepentingan khusus dimana pemilihannya akan memastikan keterwakilan semua wilayah dunia di IMO.

Pada Kategori A, terpilih 10 negara anggota yaitu Yunani, Korea Selatan, Jepang, Rusia, Italia, Panama, Inggris, China, Norwegia dan Amerika Serikat.

Selain itu, pada Kategori B dikukuhkan 10 negara anggota, yaitu Uni Emirat Arab, Spanyol, Kanada, Prancis, Brazil, Jerman, India, Belanda, Australia, dan Swedia.

Sementara negara-negara Kategori C selain Indonesia adalah Bahama, Belgia, Chile, Siprus, Denmark, Mesir, Jamaika, Kenya, Malaysia, Malta, Meksiko, Maroko, Filipina, Qatar, Arab Saudi, Singapura, Thailand, Turki dan Vanuatu.

Indonesia, sebagai negara yang memiliki kawasan perairan luas memang memelurkan kerja sama maritim demi membangun kekuatan maritim yang memadai. Dengan penguatan tersebut maka Indonesia dapat memastikan tidak terjadi pemanfaatan sumber daya alam oleh pihak asing baik di laut teritorial maupun di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2593537/memanfaatkan-kerja-sama-bilateral-dan-multilateral-maritim-indonesia?utm_source=antaranews&utm_medium=desktop&utm_campaign=category_home

123456789
Page 4 of 9

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net