• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

2021

2021
Melihat “Hallyu” sebagai diplomasi budaya Korea Selatan

Desca Lidya Natalia – Antaranews.com


Konser grup idola K-pop BTS di SoFi Stadium di Los Angeles, Amerika Serikat. ANTARA/Soompi.

Jakarta (ANTARA) – Grup K-Pop BTS (Bangtan Boys) dinobatkan sebagai “Artist of the Year” dalam ajang American Music Awards (AMAs) 2021 yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat pada Minggu (21/11).

AMAs adalah salah satu acara penghargaan berdasarkan pemilihan suara penggemar terbesar di dunia.

Selain mengalahkan nama-nama besar seperti Ariana Grande, Drake, Olivia Rodrigo, Taylor Swift, dan The Weeknd untuk menjadi “Artist of the Year”, BTS juga mendapat dua penghargaan lain yaitu Favorite Pop Duo or Group dan Favorite Pop Song dengan lagu “Butter”.

Kelompok beranggotakan tujuh pemuda asal Korea Selatan itu juga menjadi satu-satunya “perwakilan” Asia yang memenangi gelaran penghargaan musik di benua Amerika.

“Kami tujuh anak laki-laki dari Korea disatukan oleh kecintaan pada musik, bertemu cinta dan dukungan dari ARMY di seluruh dunia. Semua ini adalah keajaiban. Serius, kami tidak akan pernah menganggap sepele (kemenangan) ini,” kata pemimpin BTS, Kim Nam Joon alias Rap Monster (RM) saat menerima penghargaan.

“ARMY” yang dimaksud oleh RM adalah kelompok penggemar BTS yang menurut majalah Time pada 2020 mencapai sekitar 40 juta orang yang tersebar di berbagai negar.

Penghargaan AMAs tersebut menambah panjang rentetan penghargaan yang diterima oleh grup yang memulai debut pada 2013 tersebut.

BTS di industri musik AS makin bersinar setelah merilis lagu “Dynamite” (2020). Lagu tersebut menduduki peringkat satu Billboard Hot 100, menjadikan mereka menjadi grup Korea Selatan pertama yang mencapai rekor tersebut. BTS selanjutnya terus merilis beberapa lagu hits, antara lain “Butter” dan “Permission to Dance”.

“Butter” dari BTS juga menjadi Song of the Summer pada 2021 di Billboard Hot 100 dan berhasil berada di posisi pertama Billboard Hot 100 selama 10 minggu.

Sebelumnya, ketujuh personel BTS yaitu RM, J-Hope, Jin, Suga, Jimin, V dan Jungkook juga berpidato bersama selama 7 menit di ruang sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York pada 20 September 2021. BTS menjadi Utusan Khusus Presiden Korea Selatan untuk Urusan Generasi Masa Depan dan Budaya.

Presiden Korsel Moon Jae In mengakui kekuatan BTS bersama Adorable Representative MC for Youth (ARMY) yang berjumlah puluhan juta di berbagai negara dapat dimanfaatkan untuk kampanye Social Development Goals (SDGs).

“Generasi Corona bukan ‘generasi yang hilang’ tapi ‘generasi penyambutan’, itu lebih tepat istilahnya karena bukannya takut akan perubahan, generasi ini mengatakan ‘selamat datang’ dan terus maju,” kata Kim Seok Jin atau Jin, personel BTS dalam bahasa Korea saat sidang Majelis Umum PBB.

BTS mengajak dunia, khususnya generasi muda memikirkan kondisi dunia saat ini terutama dampak pandemi COVID-19 yang menyebabkan lebih dari 4,5 juta jiwa meninggal sehingga muncul ancaman generasi hilang.

Menghadapi hal tersebut, RM berpesan agar generasi muda terus mempercayai harapan.

“Jika kita percaya pada kemungkinan dan harapan bahkan ketika hal yang tak terduga terjadi, kita tidak akan kehilangan arah, tapi menemukan (arah) yang baru,” kata RM atau Kim Nam Joon.

Setelah mereka berpidato, dalam sidang tersebut ditayangkan video lagu BTS berjudul “Permission to Dance”. Video tersebut menampilkan RM dan kawan-kawannya menyanyi sambil menari, menyusuri Assembly Hall dan kompleks gedung PBB hingga halaman luar dengan pemandangan ke arah East River yang tentu mengajak para pendengar dan penonton untuk berjingkrak mengikuti irama cepat lagu “Permission to Dance”.

Pengakuan pasar internasional terhadap BTS membuktikan dampak “Hallyu” (Korean wave) yang masih berlangsung saat ini.

Perjalanan “Hallyu”

Perjalanan “Hallyu” menurut dosen International Studies di Korea University Andrew Eungi Kim bukanlah kesuksesan yang diraih dalam semalam.

“Hallyu dimulai setidaknya sudah sejak tiga dekade lalu yaitu saat pemerintahan Presiden Kim Dae Jung (1998-2003). Presiden Kim mendapat laporan bahwa nilai penjualan film Jurasic Park sama seperti penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama, lalu Presiden Kim berpikir bahwa kami (Korea) harus melakukan sesuatu mengenai ‘popular culture’ ini karena bisa menghasilkan uang yang setara dengan ekspor mobil,” kata Kim dalam diskusi bertajuk “Hallyu and Its Impacts on Korea’s Cultural Diplomacy” melalui sambungan konferensi video di Jakarta, Jumat.

Andrew Eungi Kim menyampaikan hal tersebut dalam program “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta.

“Jadi itulah momen saat pemerintahan Korea berganti fokus dari manufaktur ke bidang lain,” tambah Kim.

“Hallyu” sendiri menurut Kim merujuk pada penyebaran popularitas budaya Korea ke berbagai penjuru dunia mulai awal abad ke-21. Awalnya dimulai dari popularitas drama Korea di negara-negara Asia lalu ke belahan dunia lain dan bahkan menjadi fenomena global saat ini.

“Korea Selatan saat ini menjadi salah satu pengekspor budaya utama setelah Amerika Serikat, Inggris dan Jepang,” ungkap Kim.

Pakar Hubungan Internasional Universitas Harvard Joseph Nye mengatakan “Hallyu” adalah sebagai gelombang popularitas atas segala hal terkait Korea mulai dari fesyen, film, musik hingga makanan.

“Beberapa makanan mendunia karena lezat atau ada banyak kaum diaspora di negara tertentu, tapi ada juga makanan menjadi populer di negara lain karena budaya negara asal makanan tersebut tampak keren di mata masyarakat negara lain. Contohnya makanan Jepang populer di AS karena budaya Jepang tampak ‘fancy’, masyarakat AS suka budaya film soal samurai, ninja dan lainnya, itulah yang terjadi dengan makanan Korea saat ini,” jelas Kim.

Kim lalu membagi perjalanan “Hallyu” ke tiga babak yaitu “Hallyu 1.0” periode 1995-pertengahan 2000-an, “Hallyu 2.0” periode pertengahan 2000-an – akhir 2010 dan “Hallyu 3.0” pada saat ini hingga selanjutnya.

Korea Selatan menjadi negara pengekspor drama (sinetron) kelima terbesar di dunia bersama-sama Amerika Serikat, Inggris, Spanyol dan Argentina.

Fokus “Hallyu 1.0” menurut Kim lebih pada drama Korea (K-drama) seperti Winter Sonata (2002), Jewel in the Palace/Daejanggeum (2003-2004), My Sassy Girl (2001) yang tersebar di China, Taiwan, Jepang.

Selanjutnya “Hallyu 2.0” menunjukkan popularitas dari grup K-pop seperti H.O.T, Rain, Super Junior, Big Bang, Wonder Girls, 2PM, TVXQ, Psy, EXO, Black Pink, SuperM hingga BTS. Lagu-lagu dan penampilan grup K-Pop tersebut menyebar ke negara-negara lain di Asia hingga Amerika Utara dan Eropa.

Kim menyebut, berdasarkan data Statista (2018), Produk Domestik Bruto Korea Selatan adalah sebesar 1.619 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, Samsung menyumbang 211,94 miliar dolar AS (13,1 persen), Hyundai sebesar 85,26 miliar dolar AS (5,3 persen), LG Electronics sebesar 54,31 miliar dolar AS (3,4 persen), KIA senilai 47,36 miliar dolar AS (2,9 persen), Korean Air senilai 11,65 miliar dolar AS (0,7 persen) dan BTS 4,56 miliar dolar AS (0,3 persen).

“Jumlah uang yang dihasilkan BTS pada 2018 tersebut bahkan lebih besar dibanding total PDB 40 negara termiskin di dunia termasuk Somalia, Burundi, Liberia, Bhutan dan Sudan Selatan. Bayangkan besarnya pendapatan BTS tersebut,” ungkap Kim.

Kim juga menyebut BTS sebagai “The Beatles in 21st century” atau artis penampil terbesar saat ini.

Sedangkan Hallyu 3.0 adalah terkait gaya hidup Korea (K-lifestyle) seperti “game online”, kosmetik, makanan, fesyen, animasi. Gim daring contohnya Battlegrounds sedangkan Kosmetik seperti Lineage, IOPE, Amorepacific, Nature Republic yang menyebar ke berbagai dunia melalui media sosial dan Youtube.

Dampak “Hallyu”

Kim pun menyebutkan sejumlah dampak lanjutan dari “Hallyu” yaitu pertama, meningkatnya ekspor konten budaya Korea. Total nilai konten budaya Korea yang diekspor pada 2017 adalah mencapai 6,7 miliar dolar AS atau meningkat lima kali lipat dibanding 2005.

Bentuk konten yang diekspor adalah games (3,77 miliar dolar AS), karakter (0,64 miliar dolar AS), pengetahuan (0,63 miliar dolar AS), musik (0,5 miliar dolar AS), broadcasting (0,42 miliar dolar AS), film (43 juta dolar AS) dan produk lainnya.

Dampak lain adalah peningkatan turis internasional ke Korea Selatan yang pada 2016 ada 17,2 juta turis asing atau meningkat 3 kali lipat dibanding pada 2000.

Selanjutnya Korea Selatan pun mendapat citra yang positif karena popularitas “Hallyu” yang tampak dari meningkatnya minat untuk belajar bahasa dan budaya Korea serta permintaan untuk pembukaan mata kuliah Korea di universitas luar negeri.

Kim juga menyebut dengan adanya “Hallyu”, banyak orang Asia akhirnya menemukan bintang pop internasional yang tampak terkoneksi sebagai “sesama” Asia dibanding artis dari Amerika atau orang Barat.

“TV dan film produk AS juga mulai menjadikan aktor Asia sebagai ‘spotlight’ karena ada keyakinan ‘cool to be an Asian’ dari yang tadinya orang Asia tidak dianggap,” ungkap Kim.

Namun Kim mengingatkan meski “Hallyu” tampak “powerfull” tapi tidak berarti langsung memberikan dampak positif bagi “soft power” Korea Selatan.

Kim, mengutip Nye, mengatakan konsep “soft power” adalah konsep yang masih kabur sehingga sulit untuk diukur mana negara yang memiliki lebih banyak atau lebih sedikit “soft power”. “Soft power” sendiri menurut Nye adalah kemampuan untuk mendapatkan sesuatu melalui daya tarik dan bukan melalui paksaan atau bayaran.

“‘Hallyu’ atau ‘Korean wave’ paling bisa dipahami sebagai cara yang diambil oleh pemerintah Korea untuk mengambil ceruk penting dalam berbagai kebijakan dalam relasi Korea dengan negara lain,” ungkap Kim.

Namun Kim sendiri menegaskan bukan berarti Hallyu yang merupakan produk budaya Korea tidak penting dalam diplomasi Korea dengan negara-negara lain.

Menurut Kim, diplomasi budaya melalui Hallyu tetap penting sejauh untuk mendorong pemahaman bersama mengenai budaya negara yang satu dengan negara lain. Namun bila fokus diplomasi budaya untuk menjadikan satu budaya lebih menarik dibanding yang lain sehingga negara yang satu mau mengikuti kemauan negara lainnya, hal tersebut belum dapat dipastikan efektivitasnya.

“Saya pikir hal tersebut tidak akan terjadi,” kata Kim saat diminta pendapatnya apakah Hallyu dapat mengubah kebijakan suatu negara terhadap Korea Selatan.

Alasannya, meski “Hallyu” sangat populer di China namun pemerintah China tetap menerapkan larangan bagi agen perjalanan untuk menjual paket wisata ke Korea Selatan (pada 2017).

“Artinya bila terkait dengan kepentingan nasional, popularitas budaya bukan menjadi pertimbangan karena kepentingan nasional menjadi prioritas,” ungkap Kim.

Untuk menyokong “Hallyu”, pemerintah Korea Selatan memang mendirikan agensi untuk mendorong ekspor budaya Korea pada 2000 yaitu Center for Promotion of Cultural Industry dan mentranfromasinya jadi Korea Creative Content Agency (KOCCA) pada 2009 untuk mencari pasar bagi budaya Korea.

“Pemerintah Korea tidak pernah memberikan subsidi finansial ke satu artis tertentu. Pemerintah lebih membantu untuk menemukan outlet tepat untuk ekspor budaya Korea. Sangat besar perbedaan antara memberikan insentif pendanaan ke artis Korea dan mempromosikan konten budaya Korea ke pembeli potensial,” ungkap Kim.

Menurut Kim, pemerintah Korea lebih fokus mempromosikan konten budaya Korea sebagai produk potensial untuk diekspor.

“Pemerintah Korea sendiri tidak pernah memproyeksikan ‘Hallyu’ akan jadi seberapa besar, bahkan pemerintah Korea juga terkejut dengan besarnya dampak BTS. Kebesaran BTS bukan karena kerja pemerintah atau agensi tapi karena reaksi fansnya,” ungkap Kim.

Kim menyebut fans BTS yang disebut Army adalah faktor yang sangat penting. Fans K-pop menurut Kim tidak ada tandingannya dengan fans dari genre musik lain karena mereka sangat menurut kepada idolanya.

“Bila ada lagu baru yang dikeluarkan grup K-pop idola mereka maka para fans berupaya untuk menonton video di Youtube atau memutar di ‘platform’ musik online sesering mungkin sehingga ‘viewer’ bertambah dan perhatian media juga tertuju pada lagu tersebut. Jadi memang kelakuan fans bisa dianggap tidak normal dibandingkan misalnya dengan fans kelompok rock di AS,” jelas Kim.

Lantas apa pelajaran yang didapat dari perjalanan “Hallyu” tersebut?

Kim menyebut sejumlah negara menyamakan “budaya” dengan “kreativitas”, maksudnya untuk menekankan pentingnya kreativitas di dalam budaya.

“Bila Indonesia seperti Korea Selatan pada 20 tahun lalu, semua anggaran, semua sumber daya untuk menjaga budaya tradisional, karena memang pemerintah biasanya cenderung hanya melihat ke dalam yaitu untuk melindungi tradisi budaya. Padahal budaya tidak hanya soal melindungi tapi soal menciptakan,” ungkap Kim.

Kim mencontohkan “blue jeans” dan “coke” yang terkenal dari Amerika Serika, disukai dunia, meski keduanya bukan asli budaya AS.

“Mereka baru diciptakan di AS, itulah kekuatan ‘creation’ (menciptakan) dalam budaya, bukan preservation (memelihara). Maka pemerintah pun perlu lebih banyak memfokuskan anggaran untuk usaha-usaha kreatif di bidang budaya,” tegas Kim.

Artinya, meski belum ada studi ilmiah mengenai dampak popularitas BTS untuk mempromosikan poin-poin Sustainable Development Goals (SDGs), tapi BTS terbukti cukup membuat masyarakat global “sadar” mengenai kekuatan “Hallyu” yang mengajak badan menari meski masih dikelilingi pandemi.


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2552241/melihat-hallyu-sebagai-diplomasi-budaya-korea-selatan?page=all

2021
Menengok Pengolahan Limbah di Korea Selatan yang Berkesinambungan

Suci Sekarwati – Tempo.co


TEMPO.CO, Jakarta – Korea Selatan berusaha membuat manajemen pengolahan sampah di negara itu berkesinambungan. Di sektor lingkungan, hal yang bersifat berkesinambungan sangat penting sehingga masyarakat pun di dorong melakukan hal-hal yang sifatnya berkesinambungan dalam hal pengolahan limbah.

Rhee Seung-whee, profesor dari Departemen Teknik Lingkungan Universitas Kyonggi, mengatakan Korea Selatan adalah negara dengan sumber daya alam dan sumber energi yang sangat terbatas. Hampir 95 persen Negeri Gingseng itu impor bahan mentah dan energi.

Walhasil, total cost import Korea Selatan hampir USD500 miliar (Rp713 triliun) per tahun. Sebagian besar atau hampir 65 persen bahan bakar di Korea Selatan bergantung pada energi fosil per 2019. 

Saat yang sama, sektor industri di Korea Selatan juga berkembang pesat. Dengan begitu, jumlah sampah atau limbah di negara itu jadi meningkat.

“Situasi ini lalu menjadi motivasi mengapa kita tidak mendaur ulang energi untuk sosial-ekonomi. Bukan hanya itu, jumlah sampah secara umum di Korea Selatan juga naik, dari 346 ribu ton pada 2007 menjadi 497 ribu ton pada 2018,” kata Rhee, dalam workshop keempat Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea hasil kerja sama Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan Korea Foundation, 14 Oktober 2021.

Pada 2018, Korea Selatan mempromosikan penggunaan energi daur ulang. Lewat promosi ini, masyarakat dan para pelaku usaha di dorong agar menciptakan dan menggunakan produk-produk daur ulang yang sifatnya berkesinambungan. Pola yang diterapkan pun sederhana, yakni produksi, penggunaan dan daur ulang (recycle).

Contohnya, dengan menciptakan green jobs dan meningkatkan SDA yang efektif dan efisien. Contoh lain dalam pemanfaatan produk daur ulang di Korea Selatan adalah urban planning agar bisa mengurangi konsumsi dan memperpanjang usia gedung-gedung dengan pemilihan bahan-bahan bangunan yang digunakan dalam pembangunan.  

Sedangkan di bidang iklim, tindakan yang diambil diantaranya mengurangi emisi GHG (green house gas) dengan cara mencegah timbulnya sampah. Menciptakan energi yang bersih juga sangat terkait dengan climate action.        

Untuk mendorong kesuksesan pengolahan limbah di Korea Selatan, lembaga publik seperti universitas diminta untuk membeli green products setidaknya 10 persen dari anggaran belanja mereka per tahun.  

“Sebab teori sederhananya, ketika Anda diminta untuk menciptakan barang-barang daur ulang, maka harus ada yang mau membelinya, kan? Menciptakan produk daur ulang itu tidak mudah karena ada proses tambahan. Maka diterbitkan kewajiban membeli produk daur ulang 10 persen dari anggaran lembaga publik, ini sekarang sudah diatur dalam undang-undang,” kata Rhee.   

Bicara soal undang-undang, pengolahan limbah sebenarnya sudah diatur sejak 1986. Hanya saja, ketika itu baru ada satu undang-undang, yakni penambahan kata recycle.

Pada 1992, lahir lagi undang-undang lain, yang mempromosikan sikap hemat energi dan daur ulang sumber-sumber energi, dimana warga Korea Selatan juga mulai diminta untuk memilah sampah. Undang-undang soal pengolahan limbah di Korea Selatan beranak-pinak sampai terakhir pada 2020

Hal lain yang diatur oleh Korea Selatan adalah klasifikasi limbah (sampah), yang dibagi dua yakni sampah rumah tangga dan limbah industri. Pengolahan sampah rumah tangga menjadi tanggung jawab otoritas daerah. Sedangkan sampah industri menjadi tanggung jawab si manufaktur tersebut.  

Sama seperti negara lain, Korea Selatan juga menerapkan 3R dalam manajemen pengolahan limbah. Yakni reduce, reuse dan recycle.

Dalam hal reduce, Pemerintah Korea Selatan melarang penggunaan barang sekali pakai. Contohnya disposable cups, kotak makan, tas belanja, melarang overpackaging pada produk makanan, minuman dan kosmetik.

Untuk reuse, Korea Selatan membuat sistem deposit untuk kaleng minuman, yang bisa dibersihkan dengan mesin dan digunakan lagi.

Adapun untuk recyle, Korea Selatan mendukung industri daur ulang di negara itu dengan cara membantu mempromosikan penggunaan bahan-bahan daur ulang ke masyarakat. Bukan hanya itu, masyarakat harus bayar ke pemerintah saat mereka membuang lebih banyak barang yang sudah tidak dipakai. Contohnya membuang kulkas rusak, mesin cuci, TV hingga rongsokan kendaraan.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1530930/menengok-pengolahan-limbah-di-korea-selatan-yang-berkesinambungan/full&view=ok

2021
Hallyu, Kekuatan Dahsyat Diplomasi Budaya Korsel

Muhammad Rusmadi – Rakyat Merdeka


Rakyat Merdeka – Korean Wave atau Gelombang Korea (Selatan) terus menerjang ke pelosok dunia. Beberapa waktu terakhir, Negeri Ginseng itu kembali mengguncang dunia dengan “Parasite”, film berbahasa asing pertama yang memenangkan film terbaik di Academy Awards 2019.

Tak cuma itu, Korsel juga punya band, yang boleh jadi, salah satu band musik terbesar di dunia, BTS! “Sukses besar Hallyu ini tidak terjadi dalam semalam!” kata Andrew Eungi Kim, Profesor International Studies di Korea University.

Hal ini dia sampaikan saat menjadi pembicara pada Workshop ke-5 yang dihelat Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, Jumat (12/11) siang. Workshop bertema “Hallyu and Its Impacts on Korea’s Cultural Diplomacy” ini, dipandu oleh Dayu Nirma Amurwanti dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara (BINUS).

Dikutip dari laman resminya, FPCI adalah lembaga yang didirikan untuk membahas dan memperkenalkan isu-isu hubungan internasional kepada banyak pihak terkait di Indonesia. Seperti diplomat, duta besar, pejabat pemerintah, akademisi, peneliti, bisnis, media, dosen, think tank, mahasiswa hingga media.

Didirikan pada 2014 oleh Dr. Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat periode Agustus 2010 hingga 17 September 2013 dan Wakil Menteri Luar Negeri sejak Juli hingga Oktober 2014), FPCI dibentuk untuk mengembangkan internasionalisme Indonesia, agar lebih mengakar di seluruh nusantara dan memproyeksikan dirinya ke seluruh dunia.

Terkait Korean Wave, ungkap Prof Kim, dari 26 kata baru dari bahasa Korea yang ditambahkan ke dalam Oxford English Dictionary pada September lalu, salah satunya adalah kata “hallyu”.

Secara harfiah, jelasnya, hallyu berarti “aliran Korea” atau “Gelombang Korea”. Ini mengacu pada penyebaran dan popularitas budaya populer Korea ke seluruh dunia, terutama sejak awal abad ke-21.

“Hallyu pertama kali didorong oleh penyebaran K-drama di seluruh Asia pada dekade pertama abad ke-21, tetapi telah berkembang dari tren regional, menjadi fenomena global yang berpengaruh saat ini,” beber Anggota Komite Pengarah International Center for 2 Korean Studies, Korea University ini.

Tak pelak memang, kini Korsel menjadi salah satu eksportir budaya populer terkemuka di dunia, bersama Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Bahkan, kutip Kim, ilmuwan politik Amerika Joseph Nye menafsirkan, Gelombang Korea membuat semua hal tentang Korea, mulai mode, film, musik hingga masakan, semakin populer.

“Majalah berita Inggris terkemuka The Economist pada 2014 bahkan menyebut, budaya pop Korea sebagai trendsetter terkemuka di Asia,” kutip Anggota Dewan Direksi Asosiasi Sosiologi Korea ini.

Dilacak mundur ke belakang, lanjut Kim, hallyu setidaknya dimulai sejak sekitar 1995 hingga pertengahan 2000-an, dengan kemunculan drama Korea (drakor). Persebaran awalnya hanya di wilayah China, Taiwan dan Jepang. Di antara drakor yang bisa disebut antara lain Winter Sonata (2002), Jewel in the Palace (2003-04) dan My Sassy Girl (2001).

Lalu pada pertengahan 2000-an hingga akhir 2010-an, bermunculanlah demam K-pop, menyebar ke negara-negara Asia, Eropa, hingga Amerika Utara. Sederet band K-pop lahir, seperti H.O.T., Rain, Super Junior, Big Bang, Wonder Girls, 2PM, TVXQ, Psy, EXO, Black Pink, SuperM, hingga BTS.

“BTS mungkin menonjol sebagai band terbesar di dunia saat ini,” jelas Anggota Dewan Direksi Asosiasi Korea untuk Studi Kanada ini.

Tak terkecuali, masuk dalam Gelombang Budaya Korea ini juga K-lifestyle seperti game online (Battlegrounds, Lineage), kosmetik (IOPE, AmorePacific, Nature Republic), makanan, mode, hingga animasi.

Sebagai bayangan, kata Kim, film Daejanggeum (Jewel in the Palace, 2003-2004) adalah salah satu drama TV Korea dengan rating tertinggi di Korea sebelum diekspor ke 91 negara di seluruh dunia. Ternyata, di negara lain pun drakor kini disambut luar biasa. Salah satunya di Iran, rating pemirsanya tembus hingga 86 persen pada 2006-2007!

Saat ini, jelas mantan Ketua Program Studi Korea, Sekolah Pascasarjana Studi Internasional, Universitas Korea ini, Korea adalah salah satu pengekspor drama televisi terbesar di dunia.

Bahkan dalam lima tahun terakhir, di lima besar negara pengekspor drama TV teratas, Korsel berada di urutan ke-3 setelah AS dan Inggris, diikuti Spanyol dan Argentina

Kini, bentuk hallyu yang terpopuler justru K-pop, yang mengalami pertumbuhan dua digit setiap tahun sejak pertengahan 2000-an. Lagi-lagi, di antara sederet band ini, BTS menjadi artis K-pop pertama, dan artis Asia pertama, yang menduduki puncak tangga lagu Billboard 200 pada Juni 2018, dengan album mereka Love Yourself: Tear.

Sementara Love Yourself: Answer, menjadi album top chart ke-2 BTS di AS pada September 2018. Band ini juga mencetak Album No. 1 ke-3 di Tangga Lagu Billboard 200 dengan Map of the Soul: Persona pada April 2019.

Tak heran, terang Kim, BTS menjadi grup pertama sejak The Beatles yang mendapatkan tiga album No. 1 dalam waktu kurang dari setahun! (Juni 2018-April 2019).

Selain menyaingi The Beatles dalam kesuksesan tangga lagu, ungkapnya lagi, BTS tentunya menghasilkan banyak uang. “Pendapatan band ini mencapai 4,65 miliar dolar ASpada 2018, alias 0,3 persen dari total Produk Domestik Bruto Korea!” bebernya.

Sebagai perbandingan di tahun yang sama sejumlah perusahaan besar Korsel, misalnya Samsung, meraup pendapatan 211,94 miliar dolar AS (13,1 persen PDB Korsel), Hyundai 85,26 miliar dolar AS (5,3 persen), LG Electronics 54,31 miliar dolar AS (3,4 persen), KIA 47.36 miliar dolar AS ( 2,9 persen) dan Korean Air 11.65 miliar dolar AS (0.7 persen).

“Meski masih di bawah KOREAN AIR, tetap saja, pendapatan BTS pada 2018 itu hampir sama, atau lebih tinggi dari total PDB masing-masing dari 40 negara termiskin di dunia, termasuk Somalia, Burundi, Liberia, Bhutan, dan Sudan Selatan,” tegas Kim.

Tak heran, lanjut Direktur Hubungan Internasional, Asosiasi Masyarakat dan Budaya Korea ini, BTS disanjung sebagai The Beatles Abad 21, karena pertunjukan terbesar dan terpanasnya di dunia saat ini.

Bahkan Jumat malam, 11 Oktober 2021, BTS buat pertama kalinya mengguncang King Fahd International Stadium, Riyadh, Arab Saudi! Ini menjadikan BTS sebagai artis luar negeri pertama dalam sejarah yang menggelar konser tunggal di sana.

Tak pelak, konser itu dipenuhi tak kurang dari sekitar 70 ribu penonton. Termasuk para perempuan Arab yang mengenakan abaya dan hijab, turut berbondong-bondong datang.

Yang jelas, kata Kim, Korean Wave atau hallyu sebagai kekuatan diplomasi kebudayaan (soft diplomacy) ini membawa dampak positif. Dia mengutip jajak pendapat BBC pada 2016 yang mengungkap, opini publik tentang Korea Selatan telah meningkat setiap tahun sejak data dikumpulkan mulai 2009.

Demikian juga minat studi Korea yang kian lebih besar. Termasuk naiknya minat di kelas bahasa dan budaya Korea di sejumlah kampus. Bahkan, nilai Kim, Hallyu menjadi sumber kebanggaan nasional bagi banyak orang Korea.

“Khususnya K-pop, dapat dikatakan menginspirasi munculnya Kebanggaan Asia (Asian pride),” katanya.

Dengan hallyu, banyak orang Asia akhirnya punya idola bintang pop internasional Asia, karena merasa sama-sama dari Asia. Karena selama ini, bintang-bintang populer internasional umumnya adalah orang-orang Barat, terutama dari Amerika Serikat.

Demikian juga budaya, AS selama ini dikenal menghasilkan produk budaya, sementara kehadiran Asia sering diabaikan, bahkan tidak ada, atau digambarkan bernada stereotip.

“Dengan popularitas K-pop/ K-drama di seluruh dunia, orang Asia akhirnya menjadi sorotan di mata publik dunia. Bahkan muncul istilah It’s cool to be an Asian (Keren menjadi orang Asia)!” ujarnya.

Workshop yang digelar secara daring dan luring dari Bengkel Diplomasi, (Sekretariat FPCI) Jakarta ini, diikuti oleh 10 peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea ini, yakni Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka/ RM.id). Kemudian Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com).

Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea merupakan wadah bagi para jurnalis profesional Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea, yang masih kurang terjamah karena keterbatasan akses informasi.


Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/100599/serial-workshop-fpci-the-korean-wave-hallyu-kekuatan-dahsyat-diplomasi-budaya-korsel

2021
K-Pop dan K-Drama Hanya Berdampak Kecil pada Ekonomi Korsel

Idealisa Masyrafina – Republika


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Budaya Korea Selatan telah mendunia akibat Hallyu wave (Korean wave) dari K-drama dan K-Pop. Namun industri tersebut tidak berdampak ekonomi besar pada Korsel.

Menurut Andrew Eungi Kim, Profesor Ilmu Internasional Universitas Korea, produk-produk yang dihasilkan oleh hallyu wave hanya berdampak kecil pada ekonomi Korsel.

“Ekspor terbesar dari Korea adalah semikonduktor, sedangkan ekspor budaya Korea terbesar adalah gim online,” ujar Prof. Andrew Eungi Kim dalam workshop ke-5 Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang berjudul ‘Hallyu and its Impact on Korea’s Cultural Diplomacy’, Jumat (12/11).

Workshop ini diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation. Ia memaparkan, pada 2017 pendapatan ekspor konten budaya Korsel mencapai 6,7 miliar dolar AS.

Dari jumlah tersebut, gim online menyumbang pendapatan terbesar yakni sebesar 3,77 miliar dolar AS. Industri musik (K-Pop) menyumbang pendapatan terbesar keempat sebesar 500 juta dolar AS. Sedangkan industri penyiaran (K-Drama) memperoleh 420 juta dolar AS di posisi kelima, dan film memperoleh pendapatan 43 juta dolar AS.

Kendati begitu, Korsel menduduki peringkat ketiga eksportir drama televisi, setelah AS dan Inggris. Sementara Spanyol dan Argentina menduduki peringkat keempat dan kelima.

Prof. Kim menjelaskan, meski tidak berdampak besar pada ekonomi Korea, namun kesuksesan hallyu wave sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi. Ini menunjukkan kompetensi negara dalam mengembangkan produk-produk budayanya. Selain itu, hallyu wave menjadikan Korsel sebagai negara yang menarik bagi negara-negara lain, sehingga meningkatkan soft power Korsel di mata dunia.

Menurutnya, terdapat korelasi langsung antara kekuatan ekonomi suatu bangsa dan jangkauan budayanya. Contohnya, Produk Domestik Bruto (PDB) India lebih besar daripada Korsel.

PDB India sebesar 2.623 triliun dolar AS pada 2020, sedangkan Korsel 1.631 triliun dolar AS. Tetapi karena standar hidup penting, maka India yang standar hidupnya lebih rendah dibandingkan Korsel, kata Prof. Kim, tidak mendapatkan pengakuan besar dalam soft power-nya.

“Popularitas hallyu meningkatkan citra  positif Korea sehingga lebih banyak yang tertarik untuk belajar mengenal Korea. Makanya hallyu menjadi kebanggaan nasional bagi banyak warga Korea,” tutur Prof. Kim.

Di sisi lain, soft power Korsel yang berasal dari hallyu wave tidak memiliki dampak pada kebijakan internasional Korsel. Ia mencontohkan mengenai kasus ‘Comfort Women’ yang terus menjadi perselisihan antara Korsel dan Jepang, meski hallyu sangat populer di negara tersebut. Begitu juga hubungan diplomasi antara Korsel dan China yang kerap kali berselisih, meski basis penggemar K-Pop juga besar di sana.

“Pertukaran budaya penting untuk memberi pemahaman mengenai negara satu sama lain, tapi tidak dapat mempengaruhi keputusan politik,” kata Prof. Kim.


Sumber: https://www.republika.co.id/berita/r2qp8l368/kpop-dan-kdrama-hanya-berdampak-kecil-pada-ekonomi-korsel

2021
Ini Pencetus Korea Selatan Ekspor Budaya K-Pop

Suci Sekarwati – Tempo.co


TEMPO.CO, Jakarta – Korea Selatan saat ini telah menjadi salah satu negara terdepan dalam hal ekspor budaya popular setelah Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang. Kesuksesan ini tidak terjadi dalam semalam, namun dibangun sejak 20 tahun silam.

Kim Eungi, profesor bidang international studies dari Universitas Korea, menjelaskan ekspor budaya popular tercetus ketika Presiden Kim Dae Jung, yang berkuasa pada 1998 – 2003, mendapat laporan kalau kesuksesan film Jurassic Park sama dengan pendapatan dari penjualan ekspor mobil Hyundai pada tahun yang sama (film dirilis).

“Presiden lalu bilang ‘kita harus melakukan sesuatu dalam hal budaya’. Sebab ini bisa mendorong nilai yang sama dengan ekspor barang. Lalu Pemerintah Korea Selatan untuk pertama kali mengubah fokus kebijakan dari manufaktur ke sekto budaya,” kata Kim, dalam acara Indonesia Korea Journalist Network 2021 hasil kerja sama Foreign Policy Community of Indonesia  (FPCI) dengan Korea Foundation, Jumat, 12 November 2021.

Sebagai salah satu bentuk keseriusan Pemerintah Korea Selatan dalam mengembangkan budaya popular adalah membentuk badan khusus yang bertugas mempromosikan ekspor budaya. Namun Kim menekankan, Seoul tidak pernah memberikan uang subsidi ke artis.

Salah satu upaya promosi budaya popular yang dilakukan Pemerintah Korea Selatan adalah mengundang selebriti untuk makan bersama Presiden.    

Lambat laun, budaya Korea bisa diterima negara-negara barat. Ini diantaranya ditandai dengan masuknya 26 kata bahasa Korea ke dalam kamus Oxford, contohnya hallyu, K-drama, mukbang, deabak dan fighting.

Contoh lain kesuksesan ekspor budaya popular Korea Selatan adalah film Parasite yang memenangkan piala Oscar pada 2019. Pada September 2020, boyband BTS mendapat kehormatan memberikan pidato di sidang umum PBB ke-75. Pidato BTS ketika itu menyoroti persoalan anak-anak muda, salah satunya kesehatan mental.

Menurut Kim, diplomasi budaya baru berhasil jika ada mutual understanding dengan negara lain, dibungkus dengan gagasan yang matang dan mendapat dukungan pemerintah di dalam negeri. Sebagai contoh, ketika Korea Selatan dan Jepang bersitegang soal Pulau Dokdo yang sedang dipersengketakan, maka diplomasi budaya bisa jadi tidak ada pengaruhnya.   

“Pemerintah tidak pernah memproyeksi akan seberapa besar Hallyu (Korean wave). BTS juga enggak menyangka bakal sebesar ini. Pada akhirnya, dunia yang putuskan,” kata Kim.  

Lebih lanjut, Kim menyadari tidak semua K-pop dan K-drama diterima dengan positif. Misalnya, K-drama yang kadang tidak realistis, dengan cenderung menampilkan gaya hidup upper middle class sehingga menimbulkan kekhawatiran para ahli. Untungnya, sekarang jalan cerita K-drama sudah di buat beragam, contohnya serial drama Squid Games. 

Media asing juga menyoroti persoalan training, dimana si artis yang membiayai semua kebutuhan training, hingga masalah slave contract. Terkait slave contract, Kim meyakinkan Pemerintah Korea Selatan sudah ikut ambil sikap dengan menetapkan standar bagi agensi hiburan. 


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1528238/ini-pencetus-korea-selatan-ekspor-budaya-k-pop/full&view=ok

2021
Jurus Korea Selatan Kelola Sampah Plastik Via Sirkular Ekonomi yang Bisa Ditiru Indonesia

Tanti Yulianingsih – Luptan6.com


Liputan6.com, Jakarta – Sampah plastik sudah sejak lama menjadi masalah bagi banyak negara di dunia. Meski sejumlah imbauan dan aturan telah diterapkan terkait pelarangan penggunaan plastik atau makanan dan minuman dengan kemasan plastik, namun tidak semua individu mematuhinya dengan benar.

Hal itu berdampak pada menumpuknya sampah plastik. Bahkan pada 2019 lalu terjadi tren pengembalian sampah plastik dari sejumlah negara.

Mengambil contoh dari Indonesia, pada tahun itu pernah mengirim balik 18 dari 103 kontainer sampah asal Australia yang masuk ke wilayahnya. Indonesia juga membantah mengalihkan pengiriman sampah terkontaminasi ke negara Asia lainnya seperti yang ditudingkan jaringan aktivis lingkungan dalam laporannya.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Indonesia (DJBC), selama empat bulan terakhir hingga 30 Oktober 2019, ada 358 kontainer atau peti kemas berisi sampah dari Australia yang masuk ke Indonesia.

Jumlah itu mewakili sekitar 16,3 persen dari total peti kemas sampah yang masuk ke Indonesia dan dihentikan otoritas Bea Cukai melalui 5 pelabuhan di Jawa dan Riau.

Melalui sebuah konferensi pers pada 2019, Negeri Jiran Malaysia pun menyatakan mengembalikan 3.300 ton sampah ke negara-negara asalnya: Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, Jerman, Norwegia, Prancis, Jepang, China, Kanada, Bangladesh, Arab Saudi, dan lainnya.

Berkaca dari hal itu, masyarakat global kini tengah dihadapkan dengan masalah terbesar yang masih sulit diatasi dari sampah plastik yang bisa memicu beragam pencemaran karenanya.

Dalam mengatasi permasalahan sampah plastik, gagasan circular economy (ekonomi sirkular) mengemuka. Sebuah sistem ramah lingkungan yang mempertahankan nilai material agar dapat digunakan berulang kali. Sistem tersebut bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan material secara sirkular untuk meminimalkan produksi limbah dengan memulihkan dan menggunakan kembali produk dan bahan sebanyak mungkin, secara sistemik, dan berulang-ulang.

Konsep ekonomi sirkular berpedoman pada prinsip utama mengurangi sampah dan memaksimalkan sumber daya yang ada.

Salah satu yang mengedepankan sistem ini adalah Republic of Korea (ROK). Negara yang juga dikenal dengan sebutan Korea Selatan ini menggunakan pendekatan ekonomi sirkular dalam mengolah limbah plastik baik domestik maupun dari impor.

Melihat biaya besar yang dikeluarkan untuk mengolah sampah, Korea Selatan berupaya untuk mengelolanya dengan cara yang lebih efektif dan juga menguntungkan.

Menurut data dari Dr. Seung-Whee Rhee, profesor di the Department of Environmental Engineering, Kyonggi University, Korea, total biaya impor di Korea adalah U$503,3 miliar. Hampir 95% dari semua energi dan bahan baku diimpor dari luar negeri dan 65% penggunaan energi bergantung pada bahan bakar fosil pada 2019.

Dia juga mengatakan bahwa jumlah timbulan sampah di Korea meningkat dari 346.669 ton/hari pada 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada tahun 20182). (Compounded Annual Growth Rate (%) /CAGR atau Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk: 3,05%)

“Itulah motivasi mengapa kami dulu membuat daur ulang dan beralih ke circular economy society (masyarakat ekonomi sirkular),” ungkap Dr Rhee dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta medio Oktober 2020.

Untuk mengubah menuju masyarakat ekonomi sirkular, menurut Dr Rhee, bisa melalui sumber daya, program kesadaran untuk mendorong partisipasi warga.

Jurus dari Korea yang Bisa Ditiru Indonesia

Dr Rhee mengakui memang ada kesulitan tersendiri untuk membuat orang peduli dengan sirkular ekonomi untuk mengelola sampah plastik. Ia pun memberikan sejumlah jurus yang mungkin bisa diterapkan di Indonesia.

“Sulit untuk membuat orang peduli tentang sirkular ekonomi. Indonesia yang mempunyai banyak pulau tidak mungkin menyambangi satu per satu, salah satunya bisa menggunakan metode poster. Ditempel di setiap pintu masuk, di setiap elevator, jadi orang melihatnya,” tuturnya seraya menjawab pernyataan salah satu perserta dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.

“Yang kedua melalui NGO, berkerja sama dengan organisasi. Itu adalah upaya stabil untuk bekerja demi lingkungan,” sambungnya lagi.

Selain itu, jurus menggunakan tokoh terkenal sebagai model promosi dicetuskan olehnya. “Cara lainnya menggunakan sosok popular, jadi orang peduli karena mengenalnya”. 

Dr Rhee memaparkan bahwa tidak ada hukuman di negaranya untuk program pengelolaan sampah plastik tersebut. Sebab hal itu justru akan membuat masyarakat enggan untuk berpertisipasi dalam metode tersebut.

“Tak ada hukuman untuk proses recycle itu. Soalnya kalau begitu nanti malah akan disembunyiin sampahnya,” ucapnya.

Dalam kesempatan tersebut, Dr Rhee juga mengatakan jurus membuat orang tertarik dengan metode sirkular ekonomi dalam mengelola sampah plastik.

“Jadi mulai dari TK, SD diajari (soal sirkular ekonomi untuk pengelolaan sampah plastik), dipromosiksan. Bergandeng tangan bersama mempromosikannya. Setiap tahun adakan pembelajaran soal sirkular ekonomi, sesi wajib,” tukasnya.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4709033/jurus-korea-selatan-kelola-sampah-plastik-via-sirkular-ekonomi-yang-bisa-ditiru-indonesia

2021
Korsel Disebut Mitra Tepat RI untuk Kerja Sama Atasi Masalah Iklim

Riva Dessthania – CNN Indonesia


Jakarta, CNN Indonesia — KTT soal perubahan iklim atau COP26 di Glasgow telah usai. Para pemimpin dunia didesak untuk bertindak lebih banyak lagi guna mencegah perubahan iklim yang semakin memburuk.

Salah satu jurus yang terus digaungkan untuk mengurangi faktor perubahan iklim adalah mengurangi emisi karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global.

Dalam COP26 ratusan negara pun kembali menegaskan janji mereka untuk dapat mencapai target nol emisi karbon dalam beberapa dekade mendatang.

Salah satu upaya mencapai target nol emisi itu adalah dengan mempercepat peralihan penggunaan energi dan pembangunan dengan teknologi yang ramah lingkungan serta berkelanjutan.

Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) dari Korea University, Chung Suh-yong, menganggap Korsel dapat mengisi kesenjangan yang dirasakan Indonesia selama ini ketika bekerja sama dengan negara maju terkait masalah perubahan iklim.

“Karena salah satunya faktor sejarah yang hampir sama, di mana kedua negara sama-sama pernah terpuruk akibat krisis ekonomi, Korsel memiliki pengalaman unik sehingga dapat merasakan kesulitan dan tantangan apa yang dirasakan RI dalam menangani masalah perubahan iklim, termasuk soal transfer teknologi,” kata Chung workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation beberapa waktu lalu.

Menurut Chung, kerja sama dalam hal menciptakan teknologi ramah lingkungan tidak semudah bekerja sama di bidang lainnya. Sebab, teknologi yang ada belum tentu bisa sama diterapkan dengan maksimal oleh semua negara.

Sementara itu, Chung menilai Korsel memiliki posisi yang dapat memahami bahwa setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki tantangan dan kondisi yang berbeda dalam menerapkan teknologi ramah lingkungan serta ekonomi hijau.

Selain itu, Chung menganggap Seoul dan Jakarta memiliki ambisi yang sama soal penanganan perubahan iklim. Ia mengatakan sektor kehutanan, kelautan, dan budidaya mangrove Indonesia selama ini menjadi yang paling disorot Korsel terkait masalah lingkungan.

“Sektor kehutanan memiliki banyak potensi. Indonesia memiliki banyak hutan hujan. Korea memiliki pengalaman yang sangat bagus tetapi ukuran lahan untuk eksplorasi terlalu kecil. Jadi kita bisa menggunakan pengalaman Korea sebagai uji coba, sehingga kita bisa memanfaatkan pengalaman dengan mitra hebat kita termasuk Indonesia,” ucap Chung.

Chung juga memaparkan pandangannya kenapa Korsel bisa memiliki kebijakan soal penanganan iklim yang komprehensif. Ia beranggapan salah satu kuncinya adalah konsistensi kebijakan dari satu pemimpin ke pemimpin selanjutnya.

“Tidak peduli pemerintahan mana yang sedang menangani di masa lalu, sekarang dan di masa depan,” papar Chung.

Chung menuturkan kebijakan ekonomi hijau Korsel pertama kali digagas oleh Presiden Lee Myong-bak. Saat itu. Korsel mendeklarasikan komitmen sukarela pertamanya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkenalkan ETS (Emission Trading Schemes).

Setelah Lee lengser, penerusnya, Presiden Park Geun-hye melanjutkan visi Lee dengan menerapkan kebijakan ekonomi kreatif yang fokus menerapkan teknologi yang rendah karbon dan lebih rama lingkungan.

Dan kini, di era kepemimpinan Presiden Moon Jae-in, Korsel fokus memperkenalkan kebijakan transisi energi.

“Saya berharap Indonesia juga bisa menerapkan (konsistensi) ini,” papar Chung.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20211111082301-106-719538/korsel-disebut-mitra-tepat-ri-untuk-kerja-sama-atasi-masalah-iklim

2021
Kapal Riset Canggih Korea Selatan Dibuat di Indonesia, Maritim RI Kian Potensial

Tanti Yulianingsih – Liputan6.com


Workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh FPCI bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta akhir September. (Tanti Yulianingsih/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta – Indonesia memiliki kerja sama riset teknologi kelautan dan perikanan dengan Korea Selatan sejak lama. Di bawah payung Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dengan Kementerian Samudera Perikanan Republik Korea terciptalah Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pada 14 September 2018.

Pusat penelitian tersebut menjalankan riset bersama Indonesia–Korea, program pendidikan serta pelatihan di bidang kemaritiman.

Kerja sama tersebut telah terjalin hingga kini. Selama itu, sudah banyak pencapaian yang diraih dari kerjasama dua kementerian Korea-Indonesia tersebut. Salah satu yang jadi sorotan adalah perihal pembuatan kapal ARA.

ARA adalah kapal riset canggih seberat 12 ton yang didatangkan ke Indonesia oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan Korea Selatan dan dioperasikan oleh MTCRC. Di bawah kerja sama tersebut, kapal jenis itu bisa dibuat di Tanah Air, tak lagi mengandalkan kiriman dari Korea Selatan.

“Sebelumnya kami membuat skema dengan pembuatan kapal ARA di Korea lalu mengirimkannya ke Indonesia. Melihat kapasitas ukuran dan terkait biaya pengiriman yang cukup mahal, maka di bawah proyek dengan Kemenko Marves dibuatlah kapal ARA di Indonesia,” kata Dr Hansan Park, Wakil Direktur Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) dalam workshop Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta akhir September lalu.

Menurutnya, biaya membuat kapal ARA di Indonesia dengan spesifikasi yang disesuaikan lebih masuk akal ketimbang membangunnya di Korea Selatan dan mengirimkannya ke Indonesia.

“Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan tersebut lebih masuk akal daripada dengan skema pembuatan di Korea Selatan lalu baru dikirimkan ke Indonesia. Oleh sebab itu, tahun depan kami berencana membuat lagi satu kapal ARA di Indonesia melalui proyek dengan Kemenko Marves tersebut,” jelas Dr Park.

“Indonesia memiliki potensi dalam industri tersebut,” imbuhnya.

Sejauh ini, Dr Park memaparkan, sudah ada puluhan kapal ARA dibuat di Indonesia melalui skema kerja sama ini. ” Sudah ada sekitar 30 kapal, dengan basic design. Kapal ARA Korea Selatan memiliki spesifikasi yang berbeda dengan Indonesia,” ucapnya.

Kapal riset canggih ARA, yang sedang dioperasikan oleh MTCRC biasanya dikerahkan untuk mempercepat proses pencarian puing pesawat di laut. Sebelumnya, pernah dikerahkan untuk proses pencarian puing pesawat jatuh Sriwijaya Air SJ182 pada pertengahan Januari 2021.

Kapal ARA merupakan kapal berbobot 12 ton yang didatangkan ke Indonesia oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (MOF) Korea Selatan pada 2020, guna mendorong program kerjasama survei awal untuk kawasan pesisir Cirebon, Indonesia dalam skema ODA (Overseas Development Assistance) senilai 5 miliar won.

Keunggulan Kapal ARA

Kapal ARA dilengkapi dengan alat Multi-Beam EchoSounder, Sub-Bottom Profiler yang dapat digunakan untuk 3dimentional bathymetric survey, prediksi pasang surut dan deteksi dasar laut. Alat tersebut mampu menghasilkan data yang lebih presisi 10 kali lipat dan memiliki kecepatan observasi 2 kali lipat dibanding alat lainnya.

Di samping itu, kapal ARA didesain secara khusus untuk melakukan riset laut dangkal. Oleh karenanya, diharapkan kehadiran kapal ARA tersebut dapat sangat membantu dalam proses pencarian yang dilakukan.

MTCRC juga menerjunkan 15 orang tenaga ahli termasuk kepala MTCRC Dr Park Hansan (kapten kapal riset dan awak kapal 3 orang, 5 orang tenaga ahli untuk mengoperasikan perlengkapan, 7 orang tenaga ahli untuk pendataan) ke lokasi pencarian untuk bekerja sama dengan tim.

Korsel Berharap Kerja Sama di Bidang Bioresources

Sepanjang kerja sama terkait ilmu kelautan Korea-Indonesia yang berlangsung sejak 2011 lalu, banyak pendekatan dilakukan kedua belah pihak untuk melakukan penelitian. Mulai dari menggandeng kampus teknik terbaik di Indonesia yakni ITB dan sejumlah kampus di Indonesia sebagai pendukung seperti UI dan UGM.

Lembaga pemerintah LIPI juga turut serta dalam proyek tersebut.

Indonesia kembali menguatkan hubungan kerja sama dalam bidang riset teknologi kelautan dan perikanan melalui Korea – Indonesia Ocean ODA Research Equipment Handover Ceremony (03-06-2021).

Melalui lembaga pendidikan seperti ITB dan Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) pemerintah Kabupaten Cirebon mampu memanfaatkan teknologi kelautan dan perikanan ini.

Melalui kerja sama tersebut, Republik Korea melalui Kementerian Samudera dan Perikanan memberikan alat riset teknologi kelautan dan perikanan yang nantinya akan digunakan oleh Indonesia melalui Institut Teknologi Bandung.

Berbagai alat untuk melakukan riset teknologi kelautan dan perikanan ini nantinya akan dikelola oleh Institut Teknologi Bandung. Beberapa peralatannya, yaitu mobil operasional Hyundai H-1 dan H-100, fixed wing Drone, Rotary Wing Drone, RTK GNSS-Leica GS18 T, multibeam echo sounder kongsberg geoswath 4R.

Kemudian juga ada sub bottom profiler kongsberg geopulse compact, single beam echosounder kongsberg EA440, instrumen pengukuran parameter oseanografi, grab sampler, Kapal Survei dan Riset ARA, high performance server, plotter, dan yang terakhir ada komputer untuk sarana pelatihan.

Selain itu, apa harapan Korea Selatan yang ingin dicapai dalam kerja sama tersebut di masa mendatang?

“Pada dasarnya kerja sama bioresources (kekayaan hayati). Sampai saat ini kedua pemerintah antara Korea Selatan dan Indonesia belum ada pada MoU. Sejauh ini kita tidak bisa berbuat apa-apa terkait marine bioresources system,” ucap Dr Park.

Menurutnya, proyek itu bisa menjadi pilihan untuk memperluas kerja sama maritim antara Korea dan Indonesia ke depannya.

“Biological Diversity of Areas Beyond National Jurisdiction (BBNJ) masih menjadi poin utama. Kami ingin memberikan timbal balik yang spesial,” tegasnya.

Dr Park pun berharap area kerja sama itu dapat dilakukan di masa mendatang.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4683777/kapal-riset-canggih-korea-selatan-dibuat-di-indonesia-maritim-ri-kian-potensial

2021
Rehabilitasi hutan mangrove dan cita-cita ekonomi hijau

Desca Lidya Natalia – Antara News


Presiden Joko Widodo menanam mangrove bersama sejumlah duta besar negara sahabat dan masyarakat di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara pada Selasa (19/10/2021). ANTARA/HO-Biro Pers Setpres/Laily Rachev/am.

Jakarta (ANTARA) – Setidaknya dari 16 kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke berbagai daerah di Indonesia pada September-Oktober 2021, ada empat lokasi yang dikunjungi dan diisi dengan acara penanaman pohon bakau atau mangrove.

Penanaman mangrove itu bukan tanpa alasan karena menurut Presiden Jokowi, Indonesia memiliki hutan mangrove terbesar di dunia.

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021 yang baru diluncurkan pada 13 Oktober 2021, luas lahan mangrove di Indonesia saat ini adalah 3.364.080 hektare atau 20 persen dari total hutan bakau yang ada di dunia. Luasan tersebut bertambah seluas 52.873 hektare bila dibandingkan periode 2013-2019.

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) lahan mangrove seluas 3,36 juta hektare itu terdiri dari lahan mangrove dengan tutupan lebat seluas 3,15 juta hektare, tutupan sedang 167 ribu hektare dan tutupan jarang sekitar 42.779 hektare.

Sementara luasan berpotensi ekosistem mangrove seperti wilayah abrasi dan yang sudah terbuka tutupannya berada di kisaran 700.575 hektare.

Pemerintah sejak 2020 memang telah meluncurkan Program Pemulihan Nasional (PEN) melalui penanaman bibit mangrove dengan target rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare di 9 provinsi untuk dicapai pada 2024.

Rinciannya adalah rehabilitasi lahan seluas 34 ribu hektare pada 2021, 228.200 hektare pada 2022, 199.675 hektare pada 2023 dan pada tahun 2024 pelaksanaan rehabilitasi mangrove seluas 142.625 hektare.

Empat kunjungan Presiden

Saat kunjungan kerja pada 23 September 2021 di Desa Tritih Kulon, Kecamatan Cilacap Utara, Jawa Tengah, Presiden Jokowi memulai kegiatan dengan menanam pohon mangrove bersama masyarakat.

“Saya melakukan penanaman mangrove di kawasan ini bersama-sama dengan masyarakat karena memang rehabilitasi mangrove harus kita lakukan untuk memulihkan, melestarikan kawasan hutan mangrove ini,” kata Presiden di Cilacap pada 23 September 2021.

Presiden berharap dengan penanaman mangrove, maka lingkungan pantai dapat terlindungi dari abrasi air laut dan kondisi lingkungan pesisir pantai menjadi lebih baik. Termasuk juga dapat mengurangi energi gelombang, melindungi pantai dari abrasi, menghambat intrusi air, memperbaiki lingkungan pesisir dan memperbaiki habitat di daerah pantai.

Selain itu, penanaman mangrove di lingkungan pantai diharapkan berdampak kepada peningkatan produksi ikan dan produksi hasil laut lainnya. Dengan begitu, pendapatan masyarakat yang mengandalkan mata pencaharian dari kekayaan laut akan meningkat.

“Kita harapkan berdampak pada peningkatan produksi ikan dan produksi hasil laut lainnya, terutama ini kepiting ini, tadi kita dapat kepiting dua sehingga nantinya kita dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di pesisir pantai ini,” kata Presiden sambil mengangkat dua kepiting besar.

Kunjungan kedua adalah pada 28 September 2021 dengan agenda penanaman pohon mangrove adalah di Pantai Setokok, Batam, Kepulauan Riau.

Saat itu Presiden Jokowi bahkan ikut mencerburkan diri ke pantai di saat gerimis mengguyur untuk menanam sekitar 20 ribu bibit mangrove bersama masyarakat.

Presiden mengenakan jaket berwarna merah hanya melapisi kepalanya dengan tudung jaket menceburkan diri ke pantai dan membiarkan air merendam kakinya hingga setinggi paha. Ia kemudian menanam pohon mangrove meskipun harus merasakan dinginnya air laut.

“Semuanya masuk ke air, ya masa saya di darat sendiri. Kan enggak lucu. Tidak ada masalah, basah kan paling-paling 5-10 menit, tak ada masalah,” kata Presiden.

Usai menanam bakau di Pantai Setokok, Presiden mengatakan rehabilitasi mangrove akan berkontribusi besar pada penyerapan emisi karbon dan ini meneguhkan komitmen Indonesia dalam “Paris Agreement” (Perjanjian Paris).

Menurut Presiden Perjanjian Paris berisikan upaya-upaya mitigasi dan adaptasi, termasuk kebijakan soal pendanaan mengenai perubahan iklim yang disepakati negara-negara di dunia sejak 2015.

Presiden Jokowi berharap rehabilitasi mangrove akan mendorong perbaikan ekosistem, contohnya perbaikan lahan Mangrove di pesisir pantai diharapkan dapat menghambat abrasi yang diakibatkan air laut sekaligus mendukung program ekowisata sehingga sektor pariwisata di daerah akan berkembang. Apalagi pohon bakau mampu menyimpan karbon hingga 4-5 kali lipat dibandingkan hutan tropis daratan.

Program PEN Mangrove 2020-2021 di Provinsi Kepulauan Riau memang menargetkan rehabilitasi mangrove hingga seluas 1.292 hektare. Di Pulau Setokok, tempat Presiden menanam, KLHK melakukan rehabilitasi mangrove seluas 15 hektare dengan melibatkan kelompok-kelompok masyarakat.

Kunjungan ketiga adalah pada 8 Oktober 2021 yaitu saat Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Jokowi meninjau hutan mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Badung, Bali.

Di Taman Hutan Raya tersebut, Presiden Jokowi dan Ibu Iriana bersama rombongan berjalan kaki di atas jembatan kayu sepanjang 500 meter guna menelusuri kawasan hutan mangrove. Hutan raya itu sendiri adalah kawasan seluas 268 hektare yang sebelumnya adalah bekas tambang ikan dan udang yang terbengkalai.

Sejak 1992, pemerintah daerah merehabilitas lokasi tersebut sehingga menjadi tempat tinggal 92 jenis burung sekaligus 33 jenis pohon mangrove.

Presiden Jokowi pun berharap daerah lain dapat mencontoh model rehabilitasi mangrove seperti yang diterapkan di Taman Hutan Raya Ngurah Rai, Bali.

“Model rehabilitasi mangrove seperti inilah yang ingin kita replikasi, kita ‘copy’ untuk program rehabilitasi mangrove di provinsi-provinsi lain. Ini merupakan tempat percontohan rehabilitasi ekosistem hutan mangrove di negara kita yang memadukan pendidikan, edukasi, pariwisata, dan juga untuk penguatan ekonomi masyaraka,” kata Presiden Jokowi.

“Yang ini akan terus kita lakukan di kawasan-kawasan pesisir untuk memulihkan, melestarikan kawasan hutan mangrove kita, dan juga untuk mengantisipasi dan memitigasi perubahan iklim dunia yang terus dan akan terjadi,” ujar Presiden.

“Utamanya kepiting yang cocok untuk mangrove ini dan yang paling akhir adalah bisa meningkatkan pendapatan masyarakat, dan ini juga nanti mungkin akan menjadi salah satu ‘venue’ yang akan kita perlihatkan kepada pemimpin-pemimpin G-20 tahun depan,” ujar Presiden.

Berdasarkan data KLHK, luas lahan mangrove di Bali mencapai 2.147,97 hektare. Dari luas tersebut, 19 hektare masuk kategori jarang dan masih ada habitat mangrove yang berpotensi untuk ditanami seluas 263 hektare.

Kunjungan keempat adalah di Desa Bebatu, Kecamatan Sesayap Hilir, Kabupaten Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Utara pada 19 Oktober 2021.

Kali ini Presiden Jokowi menanam mangrove bersama dengan sejumlah duta besar negara sahabat. Mereka adalah Duta Besar Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek beserta istri, Duta Besar Cili untuk Indonesia Gustavo Nelson Ayares Ossandron, Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari, Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz, Wakil Duta Besar Brazil untuk Indonesia Daniel Barra Ferreira dan Country Director Bank Dunia Satu Kahkonen.

Presiden Jokowi menjelaskan di Kalimantan Utara ada 180 ribu hektare hutan mangrove yang akan direhabilitasi oleh pemerintah.

“Target kita dalam tiga tahun ke depan agar kita perbaiki, kita rehabilitasi sebanyak 600 ribu hektare dari total luas hutan mangrove kita yang merupakan hutan mangrove terbesar di dunia (seluas) 3,6 juta hektare,” ungkap Presiden.

Apresiasi pun disampaikan oleh para dubes dan “Country Director” Bank Dunia kepada Presiden Jokowi.

“Ini adalah program restorasi mangrove terbesar di dunia dan oleh karena itu kami memuji Pemerintah Indonesia yang melakukannya,” kata “Country Director” Bank Dunia Satu Kahkonen.

Hal senada diungkapkan Duta Besar Ceko untuk Indonesia Jaroslav Dolecek yang mengatakan rehabilitasi mangrove merupakan hal penting bagi semua negara, bukan hanya bagi negara tertentu saja karena iklim global bukan menyangkut individu atau satu pemerintah tetapi seluruh oenduduk dunia.

Sementara Dubes Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari mengatakan bahwa hutan mangrove sangat efisien dalam menyerap gas karbondioksida, karena itu, ia memuji langkah pemerintah Indonesia yang berfokus pada penanaman mangrove.

“Saya pikir jika Anda perlu menaruh uang Anda untuk satu jenis hutan, saya pikir ini adalah pilihan yang sangat baik dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Indonesia atas pilihannya,” ungkap Dubes Finlandia.

Sedangkan Duta Besar Swiss untuk Indonesia Kurt Kunz berharap program rehabilitasi mangrove ini bisa menjadi contoh dan stimulus bagi masyarakat Indonesia dan dunia.

Adapun Deputi Dubes Brazil Daniel Barra Ferreira menilai program rehabilitasi mangrove menunjukkan komitmen kuat Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dan menunjukkan komitmen Indonesia atas pembangunan berkelanjutan serta konservasi dan restorasi kawasan penting seperti mangrove.

Pada kesempatan tersebut seluruh dubes tampak kompak mengenakan sesingal tidung, ikat kepala khas Tidung yang diberikan oleh Wakil Bupati Tidung Hendrik sebelum mereka turun menanam mangrove. Setelah menanam mangrove bersama, Presiden Jokowi dan para dubes kemudian berbincang di saung kayu bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

Komitmen Indonesia

Komitmen Indonesia terhadap pengendalian perubahan iklim sudah disampaikan dengan lugas oleh Presiden Jokowi dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau Leaders Summit on Climate pada 22 April 2021. Presiden Jokowi mengikuti KTT tersebut secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi menegaskan pertama Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata.

“Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas,” kata Presiden.

Kedua, menurut Presiden, Indonesia telah memutakhirkan kontribusi yang ditentukan secara nasional (nationally determined contributions/NDC) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim.

Indonesia juga menyambut baik target sejumlah negara menuju net zero emission tahun 2050. Namun, agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen NDC tahun 2030.

“Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan,” tambah Presiden.

Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris kesepahaman dan strategi perlu dibangun di dalam mencapai “net zero emission” dan menuju United Nations Climate Change Conference Conference of the Parties (UNFCCC COP-26) Glasgow.

Indonesia sendiri sedang mempercepat percontohan “net zero emission” antara lain dengan membangun “Indonesia Green Industrial Park” seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang akan menjadi yang terbesar di dunia.

Pemerintah juga telah membangun Pusat Sumber Benih dan Persemaian Rumpin di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan kapasitas produksi sekitar 16 juta bibit.

Bibit-bibit yang diproduksi tersebut akan didistribusikan ke lokasi atau wilayah yang sering mengalami bencana banjir dan tanah longsor. Namun, selain fungsi ekologi, Presiden berharap agar pusat perbenihan tersebut juga akan menanam tanaman-tanaman yang memiliki fungsi ekonomi.

Berbagai upaya tersebut, menurut Presiden Jokowi, adalah upaya agar Indonesia turut mendapat manfaat dari perkembangan dunia yang mengarah ke “green economy”.

“Hati-hati dengan perkembangan ‘green economy’. Kita harus menyadari kita salah satu paru-paru terbesar dunia. Kita bisa mendapat manfaat besar dari hutan tropis dan hutan mangrove yang kita miliki oleh sebab itu transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai,” kata Presiden dalam acara di Bappenas pada 4 Mei 2021.

Pemerintah sendiri sudah merencanakan pembangunan “Green Industrial Park” atau Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara dengan memanfaatkan “hydro power” Sungai Kayan sehingga akan menghasilkan energi hijau, energi baru dan terbarukan yang akan disalurkan ke kawasan industri hijau sehingga muncul produk-produk hijau.

Contoh Korea Selatan

Kesadaran pentingnya menjaga lingkungan saat melakukan kegiatan ekonomi juga sudah dilakukan oleh negara-negara lain salah satunya Korea Selatan yang mengimplementasikan ekonomi sirkular.

Model ekonomi sirkular adalah model dimana barang yang sudah dikonsumsi dapat diolah kembali (Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Repair). Sampah dapat diproduksi
ulang sehingga mengurangi dampak limbah buangan yang berbahaya bagi lingkungan dan dapat digunakan kembali sebagai produk baru atau sebagai bahan baku produk lain.

Meski sudah memiliki Undang-undang Kontrol Limbah pada 1986, Korsel baru menetapkan Undang-Undang tentang Sirkulasi Sumber Daya (Framework Act on Resource Circulation) pada 2017 untuk mendorong jumlah daur ulang sampah.

Dalam pelatihan yang digelar oleh Korea Foundation bekerja sama dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), pakar Teknik Lingkungan dari Kyonggi University Korea Selatan, Rhee Seung Whee mengatakan timbulan sampah di Korsel meningkat dari 346.669 ton/hari pada 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada 2018.

Pada 1995, Korsel mulai menerapkan sistem Volume Based Waste Fee (VBWF) di seluruh negeri. Secara umum, ada tiga pembagian limbah padat perkotaan (MSW) yakni limbah makanan (food waste), “mixed MSW” yakni kertas, plastik, kaleng, kaca, sterofoam dan tekstil, dan limbah elektronik (e-waste).

Pemerintah Korsel lalu memperkenalkan sistem Extended Producer Responsibility (EPR) pada 2000 yang diperuntukkan bagi para pelaku usaha. Sistem EPR diterapkan bagi 4 bahan kemasan yaitu yaitu kertas, botol kaca, kaleng logam.

Produsen dan pengimpor diminta untuk melakukan daur ulang untuk limbah produk mereka. Produsen yang gagal untuk mengikuti kewajiban ini tunduk pada denda daur ulang.

Sistem EPR tersebut menurut Rhee juga memberikan keuntungan bagi para perusahaan.

“Industri memang mengeluarkan ongkos produksi lebih besar sebelum diterapkannya sistem ini tapi ongkos produksi itu sebenarnya ditanggung konsumen. Mereka sebenarnya mendapat uang dari konsumen. Jadi pemerintah bertugas sebagai pihak yang mengawasi kualitas bahan daur ulang dan menjaga lingkungan,” kata Rhee.

“Di Indonesia misalnya ada sejumlah perusahaan besar seperti Toshiba, LG, Sony dan perusahaan-perusahaan asing lainnya. Pemerintah dapat meminta mereka untuk mengumpulkan dan mendaur ulang sampah mereka. Mengumpulkan sampah menjadi sangat penting karena merupakan 60 persen bagian dari daur ulang itu sendiri dan hal itu menjadi kewajiban industri,” ungkap Rhee.

Namun lebih dari itu, menurut Rhee, pengenalan pentingnya melakukan daur ulang sampah juga harus diperkenalkan kepada masyarakat sejak dini bahkan mulai tingkat TK, SD, SMP, SMA, universitas hingga pengenalan kepada para pelaku ekonomi baik formal maupun informa.

Siapkah pemerintah dan rakyat Indonesia menerapkan “green economy?”


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2477073/rehabilitasi-hutan-mangrove-dan-cita-cita-ekonomi-hijau

2021
Indonesia-Korea Satu Tujuan Atasi Perubahan Iklim, Kehutanan hingga Bakau Jadi Sorotan

Tanti Yulianingsih – Liputan6.com


Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan Suh-Yong Chung pada workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Jakarta – Untuk mengatasi perubahan iklim, sudah saatnya semua pihak bergerak melakukan tindakan yang lebih konkret. Tak hanya di Indonesia, namun juga dalam skala global, umat manusia perlu bergegas mencari cara memperlambat krisis tersebut.

Salah satu cara yang tengah digalakkan banyak negara yakni melalui strategi low carbon atau rendah karbon. Upaya tersebut dinilai ramah bagi lingkungan dan cocok untuk menangani masalah krisis perubahan iklim.

Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) diyakini satu tujuan dalam hal tersebut. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menetapkan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050.

Korea pun, di bawah green policy (kebijakan hijau), mengembangkan kebijakannya sendiri di bawah tema netral karbon dan kemudian memperbarui Nationally Determined Contribution (NDC) dan diserahkan ke UNFCCC pada Desember 2020.

Sejalan dengan hal tersebut, kedua negara diyakini dapat bergandeng tangan untuk menangani krisis perubahan iklim. Sejumlah peluang besar membangun kerja sama antara Indonesia untuk berkolaborasi dengan Korea pun terbuka.

Forestry (sektor kehutanan), kelautan dan budidaya mangrove (bakau) Indonesia yang paling jadi sorotan bagi Korea. Alasannya, karena dinilai memiliki banyak potensi bermanfaat bagi kedua negara.

“Sektor kehutanan memiliki banyak potensi. Indonesia memiliki banyak hutan hujan. Korea memiliki pengalaman yang sangat bagus tetapi ukuran lahan untuk eksplorasi terlalu kecil. Jadi kita bisa menggunakan pengalaman Korea sebagai uji coba, sehingga kita bisa memanfaatkan pengalaman dengan mitra hebat kita termasuk Indonesia,” ujar Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, Suh-Yong Chung pada workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta awal September 2021.

Korea memiliki catatan yang sangat baik dalam hal penghijauan di dunia. Korea Selatan juga berpengalaman baik dalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Sejauh ini telah bekerjasama dengan berbagai proyek kehutanan Indonesia.

Menurut Chung, kerja sama tersebut dapat memicu penciptaan lapangan kerja di Indonesia, melestarikan kawasan kehutanan, mengurangi emisi gas rumah kaca hingga menciptakan transfer teknologi lapangan kerja dan pembiayaan iklim di luar Indonesia.

“Lingkungan laut di Indonesia juga sangat penting,” sambung Suh-Yong Chung.

“Bukan hanya masalah ekosistem yang berbasis isu konservasi, tapi juga bisa terkait mitigasi, pengurangan gas rumah kaca misalnya mangrove yang merupakan isu yang sangat mewah,” imbuhnya.

Pada Juni 2021, Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan kembali memperkuat hubungan kerja sama dalam bidang riset teknologi kelautan dan perikanan melalui Korea-Indonesia Ocean ODA Research Equipment Handover Ceremony.

Korsel melalui Kementerian Samudera dan Perikanan memberikan alat riset teknologi kelautan dan perikanan yang nantinya akan digunakan oleh Indonesia melalui Institut Teknologi Bandung (ITB).

Penyerahan alat riset menjadi tindak lanjut kesepakatan antara Kementerian Samudera dan Perikanan Korsel dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang mendirikan Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pada 2018.

Selain itu, Suh-Yong Chung menjelaskan bahwa melalui potensi mangrove Indonesia bisa memperoleh pendanaan dari negara asing. “Jika Anda merancang kebijakan negara untuk mempromosikan isu-isu terkait mangrove, mudah bagi Anda untuk mendapatkan pendanaan dari GCF, ADB, Bank Dunia atau Korea,” ungkapnya.

Pentingnya Konsistensi Kebijakan Pemerintah

Pada kesempatan tersebut, Suh-Yong Chung juga menuturkan bagaimana Korea bergulat untuk menangani isu perubahan iklim. Menurutnya, konsistensi tiga masa pemerintahan terakhir jadi kunci utama.

“Tidak peduli pemerintahan mana yang sedang menangani di masa lalu, sekarang dan di masa depan,” ucapnya.

Saat itu, Korea di tingkat internasional pernah membuat semacam partisipasi aktif dalam mengatasi tantangan global perubahan iklim. Hal itu dilakukan saat pemerintahan mantan presiden Lee Myeong-bak pada tahun 2008, di mana kebijakan hijau rendah karbon adalah mesin masa depan pertumbuhan Korea.

Di bawah pemerintahan Lee Myeong-bak, kebijakan rumah kaca rendah karbon tercipta. Korsel membuat serangkaian kontribusi kepada masyarakat internasional untuk mengatasi perubahan iklim. Sebagai contoh, Korea mendeklarasikan komitmen sukarela pertama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta memperkenalkan ETS (Emission Trading Schemes) dan pada saat itu Global Green Growth Institute didirikan.

Pada pemerintahan berikutnya, Park Geun-hye juga membuat langkah lebih lanjut dalam hal fokus pada teknologi rendah karbon. Tema kebijakan utama pemerintahannya adalah ekonomi kreatif, di bawah kebijakan itu ia banyak menekankan pada isu-isu teknologi.

Sekarang, di era Moon Jae-in, dia memperkenalkan kebijakan transisi energi. Semua kebijakan itu, menurutnya, tidak bakal berkesinambungan tanpa konsistensi sebelumnya.

Bagi Chung, konsistensi kebijakan pemerintah dalam jangka panjang itu penting. Ia pun berharap Indonesia bisa melakukannya.

Ketika Korea sangat miskin mungkin lebih miskin dari Indonesia sebelum tahun 1960, teknologi pertama yang Korea ingin fokuskan oleh adalah kehutanan, pertanian, dan tekstil, kemudian industri berat. Itu dikembangkan secara bertahap.

“Dalam rangka membuat masyarakat lebih sejahtera Anda harus membangun kapasitas untuk mengembangkan dan mengkomersialkan teknologi penting yang dapat menciptakan lapangan kerja, dengan demikian menarik investasi sehingga negara dapat maju di dunia,” jelas Chung.

Bagaimana dengan Indonesia untuk membuat masyarakat lebih sejahtera, apa mesin pertumbuhannya?

“Jika Indonesia merasa penting dalam hal keanekaragaman hayati dan isu tata guna lahan kehutanan. Melestarikan kehutanan juga sangat penting dalam hal teknologi,” ungkapnya.

Chung menuturkan bahwa bukan hanya soal menjaga lingkungan, namun upaya itu memiliki potensi besar untuk membuat seluruh masyarakat lebih sejahtera.

Baginya, karena Indonesia sangat menekankan pentingnya energi terbarukan. Kebijakan yang banyak ditekankan terkait itu adalah realisasi kebijakan transisi energi. Misalnya seperti beralih ke moda transportasi yang lebih efektif dan ramah lingkungan sehingga berdampak positif bagi iklim Bumi.

Untuk mengurangi emisi karbondioksida, saran Chung, Indonesia bisa beralih ke mobil listrik daripada mobil disel atau transportasi massal fast train (kereta cepat).

“Ini ramah lingkungan dan lebih murah,” tegas Chung.

Saat ini Korea Selatan juga tengah mengembangkan mobil hidrogen, yang diyakini akan lebih murah dari pada mobil listrik.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4664455/indonesia-korea-satu-tujuan-atasi-perubahan-iklim-kehutanan-hingga-bakau-jadi-sorotan

123456789
Page 5 of 9

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net