• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

2021

2021
Korea Selatan Konsisten dengan Kebijakan Mengatasi Perubahan Iklim

Suci Sekarwati – Tempo


Produsen mobil asal Korea meluncurkan kendaraan listrik hibrida terbaru , Kia K5 Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) di Seoul, Korea Selatan 12 Juli 2016. REUTERS/Kim Hong-Ji

TEMPO.CO, Jakarta – Korea Selatan telah menjadi salah satu negara yang unggul dalam mengembangkan green economic. Ini tidak lepas dari upaya tiga Presiden Korea Selatan di pemerintahan berbeda, yang konsisten dalam penanganan perubahan iklim.

Suh-Yong Chung Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, menjelaskan dalam pemerintahan mantan Presiden Lee Myung-bak periode 2008 – 2013, diterapkan kebijakan Low Carbon Green Growth.

Sedangkan pada pemerintahan berikutnya, yakni mantan Presiden Park Geun-hye periode 2013 – 2017, dikembangkan ekonomi kreatif. Mantan Presiden Park ketika itu, fokus pada peningkatan kapasitas ekonomi dalam memenuhi kebutuhan global di sektor perubahan iklim.

Di pemerintahan Presiden Moon Jae-in, Korea Selatan mengembangkan tiga kebijakan, yakni transisi energi, green new deal dan kebijakan carbon neutral. Untuk kebijakan green new deal, ini adalah bagian dari rencana pemulihan Korea Selatan dari pandemi Covid-19.

Dalam green new deal tersebut, Seoul berencana menanamkan investasi sebesar €54.3 miliar (Rp 918 triliun) agar bisa mengubah infrastruktur yang ada ke green infrasturture dan memotivasi industri Korea Selatan agar menjadi industri hijau serta menciptakan 659 ribu lapangan kerja.

Sedangkan kebijakan carbon neutral adalah ambisi Korea Selatan untuk mencapai netralitas karbon per-tahun 2050. Demi mewujudkan target tersebut, pada Desember 2020 Korea Selatan mengadopsi strategi carbon-neutral untuk menciptakan sebuah masyarakat hijau dan berkesinambungan.

“Korea Selatan itu dulunya miskin, namun sekarang kami menjadi negara maju. Kami tidak bisa memproduksi minyak, sekitar 70 persen wilayah kami adalah pegunungan, yang kami punya hanya SDM. Kebijakan bidang perubahan iklim di Korea Selatan, untungnya konsisten dari tiga pemerintahan yang berbeda. Kami belajar dari pengalaman dan melihat bagaimana negara-negara lain bergerak maju,” kata Suh, dalam workshop online, Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu, 1 September 1, 2021, yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan FPCI.   

Korea Selatan salah satunya unggul dalam pengembangan teknologi mobil listrik. Suh mengatakan pengenalan mobil dengan energi listrik ini, untuk mewujudkan iklim yang lebih baik. Penggunaan mobil energi listrik ini, tidak diwajibkan, namun masyarakat diberikan pilihan.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1501494/korea-selatan-konsisten-dengan-kebijakan-mengatasi-perubahan-iklim/full&view=ok

2021
Indonesia Diminati Negara Donor Penanganan Perubahan Iklim

Idealisa Masyrafina – Repubulika


Sejumlah warga menyusuri kawasan hutan mangove di wilayah Kedonganan, Badung, Bali, Jumat (18/6/2021). Berbagai potensi yang ada di kawasan hutan mangrove tersebut mulai dikenalkan kepada masyarakat sebagai destinasi edukasi pelestarian mangrove dan ekowisata.

Banyak negara tertarik berinvestasi penanganan perubahan iklim di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hutan hujan Indonesia dianggap sangat penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Hal ini yang menyebabkan banyak negara-negara pendonor berminat untuk berinvestasi dalam penanganan perubahan iklim.

Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, Suh-Yong Chung menilai bahwa Indonesia perlu meningkatkan kebijakan diplomasinya ke dunia internasional dalam mengangkat isu perubahan iklim. Ia mencontohkan isu hutan mangrove yang sangat krusial dalam penyerapan karbon.

“Indonesia dapat memimpin diskusi tentang isu spesifik ini (mangrove) yang sesuai dengan implikasi global. Jadi, setiap negara memiliki kepentingan di Indonesia,” kata Suh-Young Chung dalam workshop Indonesia-Korean Journalist Network yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta, Rabu (1/9).

Chung menjelaskan bahwa dalam mengangkat isu-isu tersebut, Indonesia bisa mengajak negara-negara atau organisasi-organisasi sebagai partner, seperti Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC), negara-negara kelompok G20, atau New Southern Policy.

Hal ini bisa memberi kesempatan bagi Indonesia untuk mendapatkan pembiayaan iklim dari negara-negara pendonor.

“Dalam konteks proyek ODA (official development assistance), Indonesia harus mengidentifikasi partner yang bagus. Contohnya Norwegia yang berminat menjadi pendonor,” kata Chung.

Akan tetapi, ia menekankan pentingnya transparansi yang masih kurang, serta kapasitas untuk mengukur kontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Padahal, kedua hal ini sudah ditekankan dalam Paris Agreement.

Kedua hal ini yang menyebabkan Indonesia sulit mendapatkan donor dalam pembiayaan iklim. Padahal, Green Climate Fund (GCF) sangat berminat dengan Indonesia.

Selain itu, Chung juga mengingatkan bahwa kerjasama antara Korea Selatan dan Indonesia dalam penanganan perubahan iklim sangat krusial. Korea Selatan memiliki pengalaman yang baik dalam Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), dan telah bekerjasama dengan berbagai proyek kehutanan Indonesia.

“Kita punya jaringan global yang bisa kita manfaatkan, tentunya nantinya kita bisa melakukan pengembangan bersama proyek-proyek ODA dengan organisasi internasional terpilih untuk pendanaan yang ditingkatkan dari KOICA/ADB/GCF,” kata Chung.

2021
Peluang Besar Indonesia – Korea Selatan Kerja Sama Atasi Perubahan Iklim

Laela Zahra – Metro TV


Pembangkit listrik tenaga angin Korea Selatan. Foto: AFP.

Seoul:Indonesia dan Korea Selatan memiliki peluang besar membangun kerja sama dalam mengatasi perubahan iklim. Menciptakan teknologi ramah lingkungan untuk masyarakat luas, adalah upaya yang tengah dilakukan Korea Selatan.

Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan Suh-Yong Chung meyakini Indonesia memiliki tujuan yang sama dengan Korea Selatan dalam mengatasi perubahan iklim.

“Saya yakin indonesia sangat tertarik untuk membuat masyarakat lebih sejahtera, dalam arti apa mesin penggeraknya? Sekali lagi tentang teknologi ramah lingkungan. Ketika Anda berbicara tentang energi terbarukan, kita berbicara tentang teknologi angin, teknologi surya,” kata Chung dalam workshop yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, pekan ini.

Menurutnya, upaya mengatasi perubahan iklim sangat penting untuk melindungi lingkungan. Lebih dari itu, kebijakan pemerintah dalam hal ini memiliki potensi besar, untuk membuat masyarakat dunia lebih sejahtera. Realisasi transisi energi menjadi penekanan bagi tiap negara.

“Indonesia telah menekankan kepada masyarakat pentingnya energi terbarukan, memiliki kebijakan untuk menempatkan penekanan besar pada teknologi terbarukan, yaitu kebijakan transisi energi,” terangnya.

Kerja sama dalam penggunaan kendaraan ramah lingkungan adalah salah satu langkah yang dapat dilakukan kedua negara, untuk mengurangi emisi karbondioksida. “Akan lebih baik jika masyarakat Indonesia mengendarai mobil listrik dari pada mobil disel. Lebih baik juga jika Indonesia memiliki transportasi massal kereta cepat. Ini ramah lingkungan dan lebih murah,” kata Chung.

Di Korea Selatan, mobil listrik telah diproduksi massal dan diminati masyarakat karena harganya lebih murah. Saat ini Korea Selatan juga tengah mengembangkan mobil hidrogen, yang diyakini akan lebih murah dari pada mobil listrik. Chung meilai penggunaan kendaraan berbahan bakar ramah lingkungan sangat berdampak positif bagi iklim bumi.

Realisasi mengatasi perubahan iklim yang berkelanjutan, menurut Chung, perlu konsistensi kebijakan pemerintah dalam jangka panjang. Indonesia diharapkan memiliki kebijakan jangka panjang tersebut.

Korea Selatan memiliki konsistensi kebijakan tentang perubahan iklim dalam tiga masa pemerintahan terakhir. Dimulai dengan kebijakan meningkatkan pertumbuhan karbon hijau pada pemerintahan Lee Myung-Bak, kebijakan ekonomi kreatif pada pemerintahan Park Geun-Hye, dan dilanjutkan dengan kebijakan transisi energi pada pemerintahan saat ini. Korea juga aktif terlibat dalam organisasi tingkat dunia untuk misi mengatasi perubahan iklim, salah satunya pada konferensi tingkat tinggi G20 yang lalu di Arab Saudi. 


Sumber: https://www.medcom.id/internasional/asia-pasifik/GNlgoyBK-peluang-besar-indonesia-korea-selatan-kerja-sama-atasi-perubahan-iklim

2021
Upaya agar kendaraan listrik “mengaspal” di Indonesia

Desca Lidya Natalia – Antara News


Jakarta (ANTARA) – Pada peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional ke-26 yang dilangsungkan pada 10 Agustus 2021, Presiden Jokowi menyebut pengembangan teknologi di Indonesia tidak boleh hanya berhenti di sektor hulu namun juga mengalir ke hilir.

“Kita memiliki kesempatan besar dalam membangun industri mulai dari hulu sampai hilir, sebagai contoh, pertambangan nikel, kita punya tambang nikel, tapi tidak boleh berhenti di situ saja. Kita harus mengembangkan industri hilir seperti industri litium baterai sampai produksi mobil listrik,” kata Presiden melalui tayanan di kanal Youtube Sekretariat Presiden.

Menurut Presiden, salah satu pilar kebijakan pemerintah saat ini adalah hilirisasi industri dalam negeri sehingga tidak boleh hanya memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi harus meningkatkan nilai tambah dan peluang kerja melalui pengembangan industri hilir.

Sebelumnya, mantan Menteri Riset dan Teknologi Indonesia/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro memang sempat mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang mendorong produksi baterai listrik selain terus mengembangkan baterai litium dan teknologi “fast charging”.

Baterai tersebut digunakan untuk keperluan kendaraan listrik dengan harapan begitu kendaraan listrik dipromosikan sebagai komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi.

Produksi baterai litium bahkan masuk ke dalam lima strategi dalam prioritas Riset Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Memang berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia sepanjang 2019 menjadi produsen terbesar di dunia yang menghasilkan 800.000 ton bijih nikel per tahun.

Untuk pembuatan baterai dibutuhkan tiga bahan baku utama yaitu nikel, lithium dan kobalt. Untuk nikel, Indonesia menguasai sebesar 30 persen dan dibandingkan beberapa negara lain, keunggulan Indonesia yaitu memiliki nikel laterit.

Dua perusahaan besar Korea Selatan yaitu Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution pada 28 Juli 2021 pun telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan pemerintah Indonesia untuk membentuk perusahaan patungan (joint venture) di Indonesia yang memproduksi sel baterai dari mobil listrik bertenaga baterai atau “Battery Electric Vehicle” (BEV)

Berdasarkan MoU tersebut, Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution akan menginvestasikan dana senilai 1,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp15,9 triliun ke dalam “joint venture” untuk membangun pabrik sel baterai di Karawang, Indonesia.

Pembangunan pabrik dijadwalkan akan dimulai pada kuartal keempat tahun 2021, dan akan selesai pada semester pertama 2023 sedangkan produksi massal sel baterai di fasilitas baru ini diharapkan akan dimulai pada semester pertama 2024.

Produksi sel baterai tersebut ditargetkan dapat memenuhi kebutuhan lebih dari 150.000 kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) per tahun. Hingga 2025, Hyundai Motor Group diketahui ingin memperluas jajaran BEV ke lebih dari 23 model dan menjual 1 juta BEV setiap tahun di pasar global.

Sementara PT Toyota Astra Motor juga menggandeng Toyota Motor Manufacturing Indonesia untuk produksi mobil listrik model kendaraan Hybrid Electric Vehicle (HEV) di Indonesia mulai 2022 dengan rencana investasi mencapai 2 miliar dolar AS untuk lima tahun mendatang.

Tantangan dan akselerasi

Namun berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), tercatat realisasi total penjualan mobil listrik di Indonesia sepanjang semester pertama 2021 mencapai 1.900 unit. Angka tersebut tak jauh beda dibandingkan penjualan tahun sebelumnya yaitu 1.234 unit.

Jumlah tersebut tentu jauh dibanding angka penjualan mobil konvensional pada Januari-Juni 2021 yang mencapai 393.469 unit.

Harus diakusi, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan rendahnya minat masyarakat Indonesia atas mobil listrik.

Pertama, harga mobil listrik yang masih cenderung lebih mahal dibandingkan mobil konvensional; kedua, daya jelajah kendaraan listrik yang terbatas; dan ketiga Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang masih minim.

Mobil listrik memiliki harga jual lebih mahal daripada mobil konvensional karena komponen utamanya, yaitu baterai, belum diproduksi secara massal. Padahal harga baterai mobil listrik sendiri sekitar 40 persen dari harga mobil listrik.

Salah satu mobil listrik termurah adalah Renault Twizy yang dibanderol seharga Rp408 juta dan mampu mencapai 0-45 km per jam dalam 6,1 detik, dengan kecepatan puncak hingga 80 km/jam sedangkan yang termahal adalah Tesla Model S Plaid+ senilai Rp4,4 miliar.

Untuk melakukan akselerasi terhadap kendaraan listrik di Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada 18 Agustus 2021 telah meluncurkan proyek percontohan konversi sepeda motor berbahan bakar minyak ke listrik di lingkungan kementeriannya dalam rangka percepatan penerapan program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).

Program KBLBB dalam Grand Strategi Energi Nasional ditargetkan sebanyak 13 Juta sepeda motor listrik dan 2,2 juta mobil listrik pada tahun 2030, dengan potensi pengurangan konsumsi BBM sebesar 6 juta kiloliter per tahun dan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 7,23 juta ton karbon dioksida ekuivalen.

Pelaksanaan program konversi dilakukan pada pertengahan Agustus 2021 secara bertahap sampai akhir November 2021 dengan target konversi 100 unit sepeda motor untuk tahap awal yang tersebar di seluruh satuan kerja Kementerian ESDM wilayah Jabodetabek.

Program tersebut sesuai dengan amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Menindaklanjuti peraturan itu, sejumlah peraturan turut mendukung akselerasi mobil listrik di Indonesia. Misalkan PP Nomor 73 tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor (PPnBM).

Dalam aturan ini, pengenaan pajak akan berdasarkan emisi gas buang. Artinya, semakin besar emisi sebuah kendaraan, maka pajaknya akan semakin besar.

Kementerian ESDM memperkirakan pada 2021 akan ada 125 ribu unit mobil listrik di dalam negeri. Selanjutnya pada 2030, diperkirakan mobil listrik mencapai 2,2 juta unit.

Dengan asumsi tersebut maka kendaraan listrik dapat mengurangi konsumsi BBM hingga 9,44 juta kilo liter per tahun. Pemerintah juga mempunyai target panjang untuk menghadirkan 2 juta unit mobil listrik pada 2030 yang bisa menurunkan emisi CO2 sebanyak 11,1 juta ton serta menghemat devisa hingga 1,8 miliar dolar karena pengurangan impor BBM.

Sedangkan di tingkat global, diproyeksikan pada 2023 ada sekitar 269 juta unit kendaraan berbasis tenaga listrik dan pada 2050, kendaraan listrik akan mencapai lebih dari 600 juta unit.

Insentif

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana juga menyebut bahwa pemerintah telah memberikan berbagai insentif untuk meningkatkan minat penggunaan kendaraan listrik.

Salah satu insentif adalah kepada badan usaha bisnis SPKLU yaitu insentif tarif curah sebesar Rp714 per kWh untuk Badan Usaha SPKLU dengan tarif penjualan maksimal Rp2.467/kWh.

Pemerintah juga telah mengatur keringanan biaya penyambungan maupun jaminan langganan tenaga listrik, serta pembebasan rekening minimum selama dua tahun pertama untuk Badan Usaha SPKLU yang bekerja sama dengan PT PLN (Persero).

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2021 bahwa penetapan wilayah untuk SPKLU tidak lagi membutuhkan rekomendasi dari pemerintah daerah, melainkan dapat diganti dengan dokumen kepemilikan lahan SPKLU atau perjanjian kerja sama dengan pemilik lahan SPKLU.

Tak hanya bagi badan usaha SPKLU, pemerintah juga memberikan insentif kepada pemilik kendaraan listrik.

Pemilik kendaraan listrik mendapatkan biaya pasang spesial untuk tambah daya hingga 11.000 VA dengan biaya Rp150.000 untuk satu fasa. Sedangkan tambah daya hingga 16.500 VA biayanya Rp450.000 untuk tiga fasa.

Pemerintah juga memberikan insentif tarif tenaga listrik “home charging”, yakni diskon 30 persen selama tujuh jam pada pukul 22.00 malam sampai pukul 05.00 pagi. Diskon ini diberikan kepada pemilik kendaraan listrik dengan home charging yang terkoneksi pada sistem PLN.

Hanya saja, jika mengisi mobil listrik di rumah perlu waktu setidaknya 17 jam lebih dari hingga baterai penuh 100 persen dari kondisi 0 persen. Sedangkan di SPKLU hanya butuh sekitar 3 jam jika menggunakan “charger” biasa, atau 1 jam jika menggunakan “fast charger”.

Di Indonesia, pemermintah menargetkan 2,2 juta mobil listrik mengaspal di Indonesia pada 2030.

Meski per Agustus 2021, data menunjukkan jumlah kendaraan bermotor listrik di Indonesia baru mencapai 1.478 untuk roda empat, 188 untuk roda tiga, dan 7.526 unit untuk roda dua.

Target tersebut perlu diimbangi dengan pembangunan infrastruktur pendukung seperti SPKLU dan SPBKLU. Pada 2021, dari target 572 unit SPKLU baru ada 166 unit yang terbangun.

Jumlah SPKLU juga akan bertambah hingga 31.859 unit SPKLU pada 2030 untuk mengimbangi perkirakan sekitar 2,2 juta unit kendaraan listrik di Indonesia pada 2030.

Mencontoh Korea Selatan

Indonesia sesungguhnya dapat mencontoh strategi yang diterapkan oleh Korea Selatan (Korsel) untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik oleh masyarakatnya.

“Di Korsel, tiba-tiba banyak orang yang menggunakan mobil listrik, tahu kenapa? Karena lebih murah, pemerintah memberikan banyak subsidi ke kendaraan listrik,” kata dosen International Studies di Korea University Suh Yong Chung.

Dalam program “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, Suh Yong Chung menyampaikan bahwa, alasan kedua adalah harga isi ulang baterai listrik lebih murah bila dibandingkan dengan BBM walau butuh waktu lebih lama untuk melakukan pengisian baterai.

Alasan ketiga, adalah menggunakan mobil listrik membuat pengendaranya kelihatan keren, dan ini penting karena manusia punya kecenderungan untuk tampil keren dengan kata lain menggunakan kendaraan listrik memberikan citra lebih baik dibanding menggunakan kendaraan lain. Suh mengakui bahwa pemerintah Korsel memberikan banyak subsidi bagi kendaraan listrik. Tentu masih ada masalah dalam praktiknya seperti bagaimana mencari tempat pengisian baterai tapi pemerintah memberikan banyak subsidi, dan setelah mengendarai mobil listrik menjadi kebiasaan, maka ongkos secara keseluruhan akan lebih murah dibanding kendaraan berbahan bakar bensin.

Pemerintah Korsel diketahui memberikan hingga 19 juta won (sekitar Rp232,6 juta) bagi rakyatnya yang membeli mobil listrik pada 2021 serta subsidi 37,5 juta won (sekitar Rp459,13 juta) bagi pembeli kendaraan berbahan bahar hidrogen demi memastikan lebih banyak mobil ramah lingkungan di negara tersebut.

Pemerintah Korsel menargetkan menambah 136 ribu kendaraan listrik dan hidrogen pada 2021 serta menambah stasiun isi ulang baterai kendaraan listrik sebanyak 31.500 unit dan 54 stasiun pengisian hidrogen.

Program subsidi kendaraan ramah lingkungan tersebut adalah bagian dari insiatif “Green New Deal” di bawah pemerintahan Presiden Moon Jae In yang diluncurkan pada Juli 2021 yang mendorong penggunaan energi terbarukan, infrastruktur dan industri ramah lingkungan serta mengatasi polusi udara dan air.

Korsel juga Korea Selatan menargetkan dapat meningkatkan pangsa pasar kendaraan listrik global dari 2,2 persen menjadi 33 persen pada 2030, dengan fokus pada kendaraan listrik dan hidrogen.

Pada 2019, jumlah kendaraan listrik yang terdaftar di Korsel tumbuh sekitar 15 persen dibandingkan 2018. Dari lebih dari 601 ribu kendaraan ramah lingkungan yang terdaftar secara nasional, 506 ribu adalah mobil hibrida dan 90 ribu adalah kendaraan listrik murni.

Dari kendaraan-kendaraan listrik tersebut Hyundai Kona yang dirilis pada 2018 adalah kendaraan listrik terlaris di pasar domestik pada 2019. Hyundai Motor Company diketahui memulai produksi massal kendaraan listrik dan hibrida pada 2009.

Hyundai awalnya tidak terlalu tertarik untuk memproduksi mobil listrik dan lebih suka memproduksi kendaraan hidrogen, tapi perusahaan itu mulai menggarap mobil listrik saat Tesla berkembang menjadi produsen mobil listrik global.

Suh mengakui bahwa raksasa otomotif Korsel tersebut tidak memproduksi teknologi mobil listrik dari nol.

“Mereka tentu sudah punya modal dan teknologi awal untuk memproduksi mobil listrik, tapi dengan dukungan pemerintah menjadi pendorong bagi Hyundai untuk memperoduksi mobil listrik. Saya sendiri dalam 5 tahun ke depan mungkin akan membeli mobil listrik,” tambah Suh.

Untuk itu disarakan agar industri mobil listrik dapat tumbuh maka pemerintah harus menjadikan industri tersebut sebagai salah satu mesin pendorong ekonomi nasional.

“Tapi memang hal tersebut dapat dilakukan secara bertahap, pemerintah dapat berinvestasi ke teknologi menengah lebih dulu lalu bertahap menuju teknologi tinggi sehingga akan lebih mudah menciptakan pasarnya,” kata Suh. Pertanyaan yang tinggal adalah sanggupkah kendaraan listrik mengimbangi kecepatan dan kemampuan mobil konvensional serta menarik minat publik Indonesia?

Kendati hampir semua produsen otomotof sudah berlomba membawa mobil listriknya ke Indonesia, namun tetap melihat potensi pasar mobil listrik di Tanah Air di masa datang. Tentunya, juga sangat terkait dengan kesiapan konsumen dan infrastruktur pendukung elektrifikasi. Selain itu, para pemain teknologi kendaraan juga harus mempelajari betul berbagai regulasi dan kebutuhan konsumen agar dapat menentukan teknologi yang paling sesuai untuk Indonesia.


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2380398/upaya-agar-kendaraan-listrik-mengaspal-di-indonesia

2021
Kerja Sama Maritim Indonesia & Korea Selatan Makin Erat Lewat MTCRC

Ana Noviani – Bisnis.com


Kapal nelayan melintas dengan latar belakang matahari terbit di perairan Selat Malaka, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (8/4 – 2020). /Antara

Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia dan Korea Selatan terus mempererat kerja sama strategis di sektor kemaritiman. Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pun terus mengeksplorasi potensi kolaborasi dan penelitian yang melibatkan kedua negara.

Berawal pada 2011, kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan di bidang ilmu kemaritiman kini sudah memasuki tahun ke-10. Menapaki satu dasawarsa, kedua negara terus menjajaki peluang kemitraan strategis.

Relasi di bidang ilmu kemaritiman antara Indonesia dengan Korsel dalam 5 tahun pertama berjalan lewat kerja sama penelitian antara Korea Institute of Ocean Science & Technology (KIOST) dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Baru pada Mei 2016, kedua negara terikat dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding) tentang kerja sama kemaritiman. Dua tahun berselang, MoU itu dituangkan dalam perjanjian dalam rangka pendirian Pusat Penelitian dan Kerjasama Teknologi Kelautan (PPKT).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan mengatakan Indonesia mengajak Korea untuk membangun dunia yang mengutamakan prinsip keberlanjutan untuk generasi mendatang. Hal itu disampaikan Luhut saat menyambut kedatangan Menteri Samudera dan Perikanan Republik Korea Moon Seong-Hyeok ke Indonesia.

“Melalui billateral meeting ini, saya harap kolaborasi antara Indonesia dan Republik Korea dapat semakin kuat, utamanya dalam institusi kemaritiman,” ujar Luhut dalam keterangan resmi Rabu (13/10).

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut B. Pandjaitan bersama Menteri Moon Seong-Hyeok melaksanakan Billateral Meeting dan Memorandum of Understanding (MoU) di Jakarta pada 13 Oktober 2021./https://maritim.go.id/

Secara khusus, dalam pertemuan tersebut dibahas mengenai berbagai proyek kerja sama Indonesia dan Republik Korea melalui Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC). Beberapa isu kemaritiman yang diangkat antara lain restorasi mangrove, penanganan sampah laut, dan perubahan iklim.

Kedua menteri juga melakukan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) terkait dengan Industri Jasa Instalasi Lepas Pantai. MoU ini juga ditandatangani oleh lima perusahaan yang terkait dalam kerja sama ini, yaitu GasEntec dan Samin MTS dari Korea, PT Elnusa Tbk. (ELSA), PT GTS Indonesia Tbk. (GTSI), serta JSK Shipping dari Indonesia.

“MoU ini dapat menjadi dasar kerja sama antara Indonesia dan Korea untuk pembongkaran platform lepas pantai yang ditinggalkan. Platform lepas pantai yang tidak terpakai akan digunakan untuk artificial coral reefs, akuakultur, wisata laut, dan pusat penelitian,” imbuh Luhut.

Empat isu dibahas dalam MoU tersebut, yaitu pengembangan teknologi terkait industri jasa instalasi lepas pantai, mendorong komunikasi dan kerja sama di sektor swasta, peningkatan kapasitas dan pengembangan sumber daya manusia, dan decommissioning (penutupan fasilitas dan pemulihan lingkungan anjungan migas), dan pemanfaatan kembali pabrik lepas pantai.

“Korea selalu mendukung berbagai kerja sama bilateral dengan Indonesia utamanya terkait isu kemaritiman. Saya harap berbagai industri dapat terus berkembang melalui kerja sama ini,” ujar Moon Seong-Hyeok.

Menteri Samudera dan Kelautan Korea Selatan Moon Seong Hyeok meninjau operasional e-navigation di kapal milik nelayan yang dimulai sejak Januari 2021 di dermaga kapal Pelabuhan Incheon./https://www.mof.go.kr/

Pertemuan Bilateral dan MoU itu merupakan kelanjutan dari kemitraan sektor kemaritiman yang telah terjalin selama beberapa tahun terakhir.

Dari kacamata Luhut, kemitraan di sektor maritim dengan Korea Selatan sangat penting untuk dirajut. Korea dinilai memiliki teknologi dan pendidikan sektor maritim yang lebih maju dari Indonesia.

Kedua negara, lanjutnya, juga berpotensi untuk bekerja sama di wilayah Laut China Selatan dan Laut Natuna. Luhut juga berharap lebih banyak lagi investasi dari negeri Ginseng ke sektor maritim di Indonesia.

Potensi kerja sama juga dapat diperluas ke sektor kepelabuhan dalam bentuk penguatan kapasitas dan pembangunan pelabuhan ramah lingkungan di beberapa wilayah Indonesia.

PERAN MTCRC

Babak penting kemitraan Indonesia dan Korea Selatan di bidang kemaritiman juga terjadi saat Korea-Indonesia MTCRC diresmikan pada 2018. MTRCR menjadi pusat penelitian bersama antara pemerintah Korea dan Indonesia di bidang teknologi kelautan.

Lembaga yang baru berusia 3 tahun pada September 2021 itu dibentuk untuk memperkuat dan mempromosikan kerja sama praktis di bidang ilmu dan teknologi kelautan, seperti proyek penelitian bersama dan program peningkatan kapasitas.

Hansan Park, Co-Director of the Korea-Indonesia Marine Technology Cooperaton Research Center, mengatakan MTCRC memiliki beberapa aktivitas utama.

Pertama, sebagai platform kemitraan dengan kementerian, institusi, perguruan tinggi, maupun lembaga lainnya.

Kedua, melaksanakan penelitian bersama. Proyek penelitian yang sudah dilahirkan antara lain Operational Oceanography Forecast System Development, Optical Satellite Validation Station Establishment and Application, dan Mid long Term Plan of Korea Indonesia Marine Science and Technology Cooperation.

Co-Director of the Korea-Indonesia Marine Technology Cooperaton Research Center Hansan Park (kiri) di atas kapal riset ARA dalam operasi pencarian pesawat Sriwijaya Air yang jatuh di perairan Kepulauan Seribu./https://maritim.go.id/

Kajian bersama juga dilakukan untuk pengembangan konsep untuk proyek Official Development Assistance (ODA). Ketiga, peningkatan kapasitas (capacity building).

“MTCRC juga melakukan kampanye lingkungan pantai di sekitar Cirebon. Kami ajak komunitas lokal untuk bersih-bersih pantai pada 3 September, hampir 1 ton sampah terkumpul,” ujarnya dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation Jakarta, baru-baru ini.

Park menambahkan MTCRC juga turun tangan dalam survei Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) dan membantu Tim SAR kecelakaan jatuhnya pesawat Sriwijaya Air di perairan Kepulauan Seribu pada Januari 2021 dengan kapal riset ARA.

Dua kegiatan itu dilakukan dengan menggunakan kapal survei dan pelatihan ARA, serta peralatan pendukung lainnya, seperti marine sub-bottom profiler for marine geological survey, CTD for marine environment survey, dan submersible hyperspectral radiometers.

Menurut Park, Indonesia memiliki tiga isu utama terkait dengan sektor maritim, yaitu logistik, lingkungan, dan potensi perikanan. Terkait dengan logistik, kerja sama dapat dilakukan dengan mengoperasikan oceanography forecast system dan utilisasi geostationary satellite.

“Indonesia negara yang sangat besar, biaya logistiknya juga lebih tinggi dari Korea. Penerapan teknologi navigasi bisa meningkatkan keselamatan pelayaran dan pengembangan energi untuk efisiensi biaya,” tuturnya.

Di sektor budidaya perikanan, Park menyebut potensi kerja sama dengan mengembangkan praktik SMART Aquaculture. Sementara itu, aktivitas perikanan tangkap di Indonesia yang masih banyak terjadi illegal, unreporter, and unregulated (IUU) fishing juga perlu diperangi.

Kendati diakui tidak mudah mengingat wilayah perairan Indonesia yang sangat luas, Park menyebut penerapan monitoring vessel system dan penggunaan remote sensing technology dapat dipertimbangkan untuk meminimalisir penangkapan ikan ilegal.


Sumber: https://kabar24.bisnis.com/read/20211030/19/1460077/kerja-sama-maritim-indonesia-korea-selatan-makin-erat-lewat-mtcrc

2021
Melihat Manajemen Pengelolaan Limbah Korea Selatan

Idealisa Masyrafina – Republika


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Korea Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki pengelolaan sampah yang mumpuni. Pengelolaan sampah di Korea Selatan diatur langsung oleh pemerintah dengan keuntungan yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

Ahli Teknik Lingkungan dari Kyonggi University, Korea, Prof. Seung- Whee Rhee menjelaskan, secara global isu terpenting di bidang pengelolaan sampah dan sirkulasi sumber daya adalah Sustainable Development Goals (SDGs) dan Ekonomi Sirkular yang menyertai netralitas karbon.

Meski telah menetapkan Undang-undang Kontrol Limbah pada 1986, Korsel baru menetapkan Kerangka Undang-Undang tentang Sirkulasi Sumber Daya pada 2017 untuk menggenjot tingkat daur ulang.

“Jumlah timbulan sampah di Korea meningkat dari 346.669 ton/hari pada tahun 2007 menjadi 497.238 ton/hari pada tahun 2018, dengan CAGR (tingkat pertumbuhan tahunan majemuk) 3,05 persen,” ujar Prof. Seung-Whee Rhee pada workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, Jumat (15/10).

Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.

Peningkatan ini terjadi karena peningkatan bahan baku impor dari luar negeri yang mendorong sampah di negara tersebut. Pada tahun 2019, total biaya impor di Korea adalah 503,3 miliar dolar AS. Hampir 95 persen dari semua energi dan bahan baku diimpor dari luar negeri dan 65 persen penggunaan energi bergantung pada bahan bakar fosil pada 2019.

Pengelolaan sampah di Korea Selatan melibatkan pengurangan timbulan sampah dan memastikan daur ulang sampah secara maksimal. Ini termasuk pengolahan yang tepat, transportasi, dan pembuangan limbah yang dikumpulkan.

Pengelolaan limbah padat perkotaan (municipal solid waste/MSW) di Korsel dilakukan melalui klasifikasi limbah yang sebagian besar terbagi atas limbah rumah tangga dan industri. Limbah industri kemudian terbagi menjadi limbah industri umum, limbah konstruksi dan designated waste seperti limbah medis.

Limbah rumah tangga ini terbagi menjadi limbah makanan, plastik dan elektronik (e-waste) yang dikelola secara berbeda berdasarkan 3R (reduce, reuse, recycling).

Pada tahun 1995, dalam upaya untuk mengurangi jumlah sampah dan meningkatkan tingkat daur ulang, pemerintah Korsel menerapkan sistem Volume Based Waste Fee (VBWF) di seluruh negeri.

Sistem kantong standar adalah sistem di mana petugas kebersihan membeli kantong plastik standar untuk membuang sisa makanan. Biaya dikumpulkan secara proporsional dengan jumlah sisa makanan melalui biaya pembelian kantong.

Secara umum, ada tiga pembagian limbah padat perkotaan (MSW) yakni limbah makanan (food waste), mixed MSW yakni kertas, plastik, kaleng, kaca, sterofoam dan tekstil, dan limbah elektronik (e-waste).

Untuk meningkatkan daur ulang limbah, Pemerintah Korsel memperkenalkan sistem Extended Producer Responsibility (EPR) pada tahun 2000 yang memperkuat tanggung jawab produsen dari tahap produksi hingga pengumpulan dan daur ulang. Sistem EPR diterapkan pada empat bahan kemasan (kemasan kertas, botol kaca, kaleng logam, dan kemasan plastik), pelumas, ban, bola lampu neon, baterai, dan produk elektronik.

Produsen dan importir produk diberikan jumlah kewajiban daur ulang untuk limbah produk mereka. Produsen yang gagal untuk mengikuti kewajiban ini tunduk pada denda daur ulang.

Prof. Rhee menjelaskan, sistem EPR ini sangat menguntungkan perusahaan yang mendaur ulang limbah produk mereka. “Perusahaan-perusahaan besar di Korea seperti Kia, Hyundai, Samsung, semua ikut sistem ini karena tidak hanya diwajibkan tapi mereka mendapatkan keuntungan dari sana,” kata Prof. Rhee.

Menurutnya, manfaat dan keuntungan yang didapatkan dari sistem ini lebih menarik bagi para perusahaan dibandingkan dengan penerapan denda apabila tidak melaksanakan.

Setiap tahun, limbah industri dan konstruksi di Korsel terus meningkat. Tercatat limbah industri dan konstruksi meningkat drastis dari 2017 ke 2019, akibat peningkatan impor bahan baku.

Pada 2017, limbah industri tercatat sebesar 167.727 ton per hari dan limbah konstruksi sebesar 206.951 ton per hari, menjadi masing-masing sebesar 202.619 ton per hari dan 221.102 ton per hari. Jumlah itu naik hampir dua kali lipat sejak 20 tahun lalu.

Sedangkan limbah rumah tangga peningkatannya cenderung stabil dari 49.902 ton per hari pada 20 tahun yang lalu menjadi 57.961 ton per hari pada 2019. Dalam pengelolaannya, sebanyak 34.613 ton limbah didaur ulang setiap harinya, 13.763 ton dibakar dan sekitar 7.366 ton dikumpulkan setiap harinya.

Melalui sistem pengelolaan limbah, Korsel berhasil mengurangi limbah padat perkotaan (MSW) dari sebesar 2,3 kg per hari per kapita pada 1991 hingga 1,09 kg per hari per kapita pada 2019. Sedangkan sistem EPR berhasil meningkatkan tingkat daur ulang dari 69,2 persen pada 2003 saat sistem pertama kali diperkenalkan, menjadi 86,9 persen pada 2019.

Prof. Rhee menilai, Indonesia dapat mencontoh sistem pengelolaan limbah Korsel dengan membentuk kolaborasi program atau riset antar kedua negara. Sementara mengenai pendanaan pembangun fasilitas pengelolaan limbah yang sangat mahal, Indonesia dapat mengajukan pendanaan ke institusi keuangan seperti Bank Dunia.

“Tapi lebih dimungkinkan untuk membangun lebih banyak kolaborasi Indonesia-Korea dari kelompok masyarakat, karena penting bahwa masyarakat menginginkan (pembentukan sistem) ini terlebih dahulu,” kata Prof. Rhee.


Sumber: https://www.republika.co.id/berita/r19smt368/melihat-manajemen-pengelolaan-limbah-korea-selatan

2021
Belajar Ngurusin Sampah Berkelanjutan Ala Korsel

Muhammad Rusmadi – Rakyat Merdeka


Rakyat Merdeka – Sebagai negara maju, Korea Selatan (Korsel) saat ini menghabisan tak kurang dari 503,3 miliar dolar AS untuk total biaya impornya. Hampir 95 persen dari seluruh energi dan bahan bakunya pun merupakan barang impor. Sayangnya, hingga 2019, 65 persen penggunaan energi masih bergantung pada bahan bakar fosil.

Sementara, jumlah sampah di Korea juga meningkat, dari 346.669 ton per hari pada 2007 menjadi 497.238 ton perhari pada 2018. Terutama pada sampah konstruksi dan industri.

Hal ini diungkap Dr. Seung-Whee Rhee, Profesor di Departemen Teknik Lingkungan (Environmental Engineering), Kyonggi University, Korsel, pada Workshop “Sustainable Waste Management towards Circular Economy Society in Korea” (“Pengelolaan Sampah Berkelanjutan menuju Masyarakat Ekonomi Sirkular di Korea”), Jumat (15/10/2021) siang.

Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.

FPCI adalah organisasi politik luar negeri non partisan, non politik dan independen, yang didirikan untuk membahas dan memperkenalkan isu-isu hubungan internasional kepada banyak pihak terkait di Indonesia, seperti diplomat, duta besar, pejabat pemerintah, akademisi, peneliti, bisnis, media, dosen, think tank, mahasiswa dan media.

Didirikan pada 2014 oleh Dr. Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat periode Agustus 2010 hingga 17 September 2013 dan Wakil Menteri Luar Negeri hingga Juli hingga Oktober 2014), juga dikutip dari laman resminya, FPCI dibentuk untuk mengembangkan internasionalisme Indonesia, agar lebih mengakar di seluruh nusantara dan memproyeksikan dirinya ke seluruh dunia.

Secara global, lanjut Rhee, isu terpenting di bidang pengelolaan sampah dan sirkulasi sumber daya di Korsel, adalah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, dan Ekonomi Sirkular (Circular Economy) yang menyertai netralitas karbon.

Ekonomi sirkular atau kadang disebut sirkularitas, adalah model produksi dan konsumsi, yang berupaya berbagi, menyewakan, menggunakan kembali, memperbaiki, memperbarui, dan mendaur ulang bahan dan produk yang ada selama mungkin.

Tujuannya, demi mengatasi tantangan global, seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, limbah dan polusi. Ini dianggap kebalikan dari ekonomi linier tradisional.

Di Korsel, terang Rhee, kerangka kerja tentang sirkulasi sumber daya, diberlakukan untuk mempromosikan daur ulang mulai 2018. “Menuju masyarakat Ekonomi Sirkular, praktik berkelanjutan berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle), menjadi isu utama di bidang pengelolaan sampah,” jelas doktor alumni Departemen Teknik Kimia, Louisiana State University Amerika Serikat pada 1991 ini.

Secara sederhana, Rhee menerangkan, konsep Ekonomi Sirkular ini melingkupi produksi (production), penggunaan (use) dan daur ulang (recycle). Sejak tahapan produksi, jelasnya, harus memprioritaskan sumber daya regeneratif. Selain itu, juga memikirkan kembali model bisnisnya. Seperti didesain untuk masa depan dan menggabungkan teknologi digital.

Kemudian dari sisi penggunaannya, juga diarahkan agar produk tersebut nantinya bisa digunakan kembali (reuse dan recycle). Pada tahap reuse-pun, juga diupayakan mempertahankan dan memperluas apa yang sudah dibuat.

Paska penggunaan (use), tahap berikutnya adalah memasuki daur ulang (recycle). Namun tak berhenti di sini, selain komponen yang memang tak bisa lagi digunakan sehingga mesti dibuang, komponen lainnya juga setelah dipilah, ada yang kembali bisa dimanfaatkan untuk diproduksi kembali.

Termasuk saat menjadi sampah pun, tetap mesti digunakan sampah sebagai sumber daya.

Lebih jauh, Anggota Dewan Nasional Kementerian Lingkungan Korsel ini menjelaskan tujuh elemen kunci dari Ekonomi Sirkular. Pertama, desain untuk masa depan, yaitu menggunakan bahan yang tepat, dirancang untuk masa pakai yang sesuai dan untuk penggunaan yang lebih lama di masa depan.

Kedua, menggabungkan teknologi digital. Yakni dengan melacak dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya, juga memperkuat koneksi antara pelaku rantai pasokan melalui platform online digital.

Ketiga, mempertahankan dan memperluas produk yang sudah dibuat. Maksudnya, sementara sumber daya sedang digunakan, juga dipertahankan, diperbaiki, dan ditingkatkan. Hal ini demi memaksimalkan masa pakainya. Juga karena produk tersebut masih bisa digunakan lagi melalui strategi penarikan kembali jika berlaku.

Keempat, memprioritaskan sumber daya regeneratif. Yakni memastikan sumber daya yang terbarukan, dapat digunakan kembali, tidak beracun digunakan sebagai bahan dan energi dengan cara yang efisien.

Kelima, menggunakan sampah sebagai sumber daya. Yakni memanfaatkan aliran limbah sebagai sumber daya sekunder, dan memulihkan limbah untuk digunakan kembali dan didaur ulang.

Keenam, memikirkan kembali model bisnis. Yaitu mempertimbangkan peluang untuk menciptakan nilai yang lebih besar dan semua insentif melalui model bisnis yang dibangun sebagai interaksi, antara produk dan layanan.

Lalu ketujuh, berkolaborasi untuk menciptakan nilai yang sama-sama disepakati. Yakni bekerjasama di seluruh rantai pasokan, secara internal dalam organisasi dan dengan sektor publik. Hal ini demi meningkatkan transparansi dan menciptakan nilai bersama.

Workshop ini dipandu oleh Agatha Lydia Natania, staf di ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR), Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.

Dia juga Asisten Pribadi Dr Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri periode 9 Agustus 2001–20 October 2009) dan Asisten Peneliti Departemen Hubungan Internasional di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

Workshop yang digelar secara online di Jakarta ini, diikuti oleh 10 peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea ini, yakni Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka/RM.id).

Kemudian Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com).

Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea merupakan wadah bagi para jurnalis profesional Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea, yang masih kurang terjamah karena keterbatasan akses informasi. [RSM]


Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/99415/serial-diskusi-fpci-menuju-masyarakat-ekonomi-sirkular-belajar-ngurusin-sampah-berkelanjutan-ala-korsel

2021
Indonesia Pungut Pajak Karbon, Korea Selatan Terapkan Carbon Trading

Ana Noviani – Bisnis.com


Asap membubung dari cerobong-cerobong asap sebuah pabrik pemanas di Jilin, China – Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Beragam jurus diterapkan oleh pemerintah di berbagai negara untuk bergerak menuju green economy. Indonesia baru saja meresmikan payung hukum yang mengatur tentang pajak karbon. Di sisi lain, Korea Selatan sudah menerapkan carbon trading sejak 2015.

Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menandai babak baru kebijakan pemerintah Indonesia di bidang pengendalian perubahan iklim. Beleid itu mengatur tentang pengenaan pajak karbon atas emisi karbon yang berdampak negatif bagi lingkungan hidup.

Pemerintah akan menerapkan pajak karbon secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi. Selain itu, pengenaan pajak ini sebagai bagian dari komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

“Pajak karbon ini fungsinya adalah untuk memastikan bahwa Indonesia itu bergerak menuju green economy. Kita menuju net zero emission,” ujar Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara dikutip dari publikasi Kementerian Keuangan, Sabtu (9/10/2021).

Penerapan pajak karbon akan mengedepankan prinsip keadilan dan keterjangkauan dengan memperhatikan iklim berusaha dan masyarakat kecil. Pajak karbon akan dilakukan dengan mekanisme cap and tax di sektor karbon yang boleh dikeluarkan.

“Kalau ada yang mengeluarkan karbon di bawah itu atau di atas itu bisa dilakukan trading. Kalau dengan trading masih belum bisa juga, kita lakukan carbon tax. Karena itu, carbon tax ini tidak serta merta kemudian diberlakukan. Dia diberlakukannya tentu menunggu seluruh infrastruktur dari carbon market, dari carbon registry,” kata Suahasil.

Pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara mulai 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi. Tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).

Penerapan pajak karbon untuk sektor PLTU diharapkan menjadi langkah awal untuk melebarkan cakupan ke sektor yang lebih luas sehingga dapat memberikan kontribusi kepada green economy Indonesia.

Polusi udara Jakarta terpantau di kawasan jalan layang simpang susun Semanggi dan kawasan Gatot Subroto, baru-baru ini./Bisnis

Secara terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Pemerintah tidak melupakan aspirasi jangka panjang, termasuk dalam menangani masalah pemanasan global akibat perubahan iklim.

Menurutnya, semua negara harus melakukan transisi energi. Ke depan, konsumsi energi perlu memperhatikan emisi karbon sehingga kebijakan Pemerintah mengarah pada pemberian insentif bagi penggunaan energi bersih seperti energi terbarukan dan disinsentif bagi penggunaan energi fosil beremisi karbon tinggi.

“Pengenaan pajak karbon tidak serta merta akan dilakukan, tetapi akan dilakukan secara bertahap melalui kajian dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, maupun politis. Pembahasan serta kajian ini akan melibatkan berbagai kalangan, termasuk sektor swasta,” ujarnya dalam acara Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) International Energy Conference secara virtual di Jakarta, Rabu (6/10/2021).

Gunawan Pribadi, Asisten Deputi Fiskal Kemenko Perekonomian, menambahkan penerapan pajak karbon perlu pengenalan secara bertahap. Langkah itu, imbuhnya, dapat meningkatkan penerimaan dari industri dan memberikan waktu bagi dunia usaha untuk beradaptasi.

“Beberapa negara butuh waktu beberapa tahun sehingga akhirnya pajak karbon diterapkan,” ujarnya dalam webinar Carbon Tax Policy: A Key Role in Indonesia’s Sustainability, Rabu (6/10/2021).

Pada 2020, Bank Dunia mencatat setidaknya 25 negara telah menerapkan pajak karbon sebagai wujud dari Paris Agreement. Adapun, Indonesia meratifikasi Paris Agreement ke dalam UU No.16/2016.

Sri Wahyuni Sujono, Managing Partner SF Consulting, mengatakan beberapa negara yang telah menerapkan pajak karbon, yaitu Jepang, Singapura, Kolombia, Chile, Prancis, serta Spanyol.

“Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan tarif pajak karbon untuk negara berkembang sekitar US$35-US$100 per ton atau sekitar Rp507.000-Rp1,4 juta per ton. Kalau Indonesia terapkan Rp30 per kg, termasuk tarif yang terendah di dunia,” imbuhnya.

STRATEGI KOREA SELATAN

Di sisi lain, Pemerintah Korea Selatan tidak menerapkan pajak karbon di negaranya. Kendati demikian, Negeri Ginseng sudah memulai sistem perdagangan karbon (carbon trading) sejak 2015 melalui The Korea Emissions Trading Scheme (KETS).

Implementasi sistem tersebut sejalan dengan NDC yang disusun Korea Selatan dalam kerangka Paris Agreement. Pada 2020, Korsel memperbarui target NDC menjadi penurunan 24,4% (173,1 Mt CO2e) pada 2030 dari total GHG emission secara nasional pada 2017 yang mencapai 709,1 Mt CO2e.

Teranyar, UU Netral Karbon yang disusun Pemerintah Korsel mendapat lampu hijau dari Majelis Nasional pada 31 Agustus 2021. Beleid tersebut menjadi payung hukum untuk menanggulangi krisis iklim dan mencapai target netral karbon pada 2050.

Terbitnya regulasi itu sejalan dengan visi Korea Selatan untuk mencapai netral karbon pada 2050 dalam Strategi Jangka Panjang Pengembangan Rendah Emisi (Long-term low Emission Development Strategy/LEDS) yang disampaikan kepada PBB pada Desember 2020.

Menteri Lingkungn Hidup Korea Selatan Han Jeoung-ae mengatakan dengan berlakunya UU Netral Karbon, Korsel memiliki dasar untuk mengejar kebijakan netral karbon selama 30 tahun ke depan.

“Setelah melakukan diskusi sosial, target pengurangan emisi gas rumah kaca jangka menengah panjang akan ditetapkan dalam kisaran yang ditentukan oleh UU. Sementara itu, kami akan melakukan yang terbaik untuk merancang dan mengimplementasikan kajian dampak iklim dan langkah-langkah kebijakan baru lainnya,” ujar Han dalam keterangan pers yang dikutip dari situs resmi Kementerian Lingkungan Hidup Korea Selatan.

Sejalan dengan ambisi Korsel untuk mengejar netral karbon pada 2050, The Korea Emissions Trading Scheme (KETS) telah memasuki fase kedua yang berlangsung pada 2018-2021.

Mengutip laporan Environmental Defence Fund (EDF) pada 2018, KETS menetapkan batas atas jumlah emisi tahunan perusahaan sebanyak 125.000 ton CO2e atau lebih sebagai subjek. Perusahaan dengan tempat bisnis yang total emisi tahunannya mencapai 25.000 ton CO2e atau lebih juga menjadi subjek KETS. Sementara itu, perusahaan dengan emisi di bawah threshold dapat berpartisipasi secara volunter.

Dengan skema tersebut, KETS diperkirakan mengikat sekitar 530 perusahaan dari berbagai sektor sebagai entitas yang memiliki kewajiban untuk melakukan carbon trading. Kementerian Lingkungan Korsel mencatat lebih dari 70% GHG Emissions merupakan subjek terhadap KETS.

Perdagangan karbon di Korea dilakukan lewat bursa sejalan dengan pembentukan Platform Informasi Pasar Emisi yang operasikan oleh Korea Exchange (KRX).

Sebagai gambaran, pada Minggu (10/10/2021), perdagangan karbon dengan kode Korean Allowance Units (KAU21) tercatat sebanyak 10.272 ton dengan harga 30.100 won Korea per ton sehingga nilai perdagangannya mencapai 307,6 juta won Korea atau setara dengan Rp3,68 miliar dengan asumsi kurs Rp12 per won.

Chung Suh Yong, Director of Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy Korea University, menuturkan ambisi kebijakan karbon netral Korsel berfokus pada 10 area.

Area tersebut mencakup akselerasi transisi energi yang terkait dengan pengembangan energi baru terbarukan (EBT), transformasi industri menjadi masyarakat netral karbon, mobilitas masa depan dengan kendaraan listrik atau bahkan hidrogen.

“Di Korea sekarang banyak orang membeli mobil listrik karena banyak disubsidi pemerintah, biaya isi ulang baterai EV juga lebih murah dibanding beli BBM, dan lebih terlihat keren kalau pakai EV,” ujarnya dalam workshop “Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea” yang dilaksanakan Foreign.

Fokus lainnya ialah penggunaan lahan, laut, dan kota yang rendah karbon, mempromosikan industri rendah karbon, mengembangkan ekosistem ekonomi hijau untuk perusahaan rintisan, mengembangkan ekonomi sirkuler, transisi, pendekatan berbasis komunitas dan lokal, serta membangun kesadaran masyarakat.

Chung menambahkan dalam NDC, Korsel terbuka untuk menjalin kesepakatan dengan negara lain untuk kerja sama alih teknologi maupun hibah untuk memperoleh kredit karbon. Menurutnya, Indonesia punya peluang besar untuk memanfaatkan celah tersebut terutama di bidang kehutanan karena Indonesia memiliki hutan alam yang terbentang luas.

“Apalagi dalam kerangka NSP [New Southern Policy], Indonesia bisa menjadi pusat inisiatif kerja sama terkait iklim,” imbuhnya.

Menyoal perdagangan karbon, Chung menyebut sistem harga (carbon pricing) harus diperkenalkan. Dalam konteks tersebut, ada dua cara yang bisa dilakukan, melalui penerapan pajak karbon dan menggunakan sistem perdagangan emisi (emission trading system/ETS).

Menurutnya, Korsel tidak memiliki sistem pajak karbon, tetapi menerapkan ETS. Apapun kebijakan yang diterapken pemerintah terkait sistem harga karbon, lanjutnya, akan menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat dan pelaku usaha.

“Penting untuk memperkenalkan sistem patokan harga karbon. Apalagi sejalan dengan Paris Agreement, ada kenaikan tren perdagangan karbon,” tuturnya.

Dalam konteks perubahan iklim, Chung memaparkan sejumlah potensi kerja sama yang dapat dilakukan Indonesia dengan Korsel. Utamanya di bidang kehutanan, lingkungan laut, mekanisme pasar internasional, dan peringatan dini atau pengurangan risiko bencana.

“Di bidang kehutanan, Indonesia punya banyak potensi karena punya hutan hujan yang luas sekali. Bisa menggandeng Korea untuk berbagi pengalaman dalam aktivitas REDD+, pelestarian hutan dan mangrove, hingga mendorong climate financing,” imbuhnya.


Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20211013/9/1453826/indonesia-pungut-pajak-karbon-korea-selatan-terapkan-carbon-trading

2021
Tips Lulus Program Bahasa Korea Foundation

Suci Sekarwati – Tempo.co


TEMPO.CO, Jakarta – Salah satu program Korea Foundation yang sangat diminati masyarakat adalah KF Fellowship for Korean Language Training (KLT). Program ini untuk memperluas kemampuan bahasa Korea para pendaftar terpilih dan memberikan kesempatan pada mereka yang menggeluti bidang studi Korea untuk mempelajari Korea lebih mendalam dengan terbang langsung ke Korea Selatan.

KF Fellowship for Korean Language Training (KLT) rutin digelar setiap tahun. Para pelamar yang lulus tes seleksi, bisa mengikuti pelatihan bahasa Korea level advance selama enam bulan atau lebih, di kampus yang sudah bekerja sama dengan Korea Foundation. 

Direktur Korea Foundation Indonesia, Bae Sung-won, menjelaskan lantaran program ini terbuka bagi hampir semua warga negara, maka kompetisinya pun sangat kompetitif.

“Jumlah pelamar selalu naik setiap tahunnya. Kami tidak mematok kuota, ini tergantung anggaran tahunan yang ditetapkan. Dengan begitu, jumlah mereka yang lolos setiap tahunnya kadang selalu berbeda, tergantung anggaran,” kata Bae kepada Tempo, disela-sela workshop ketiga Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea hasil kerja sama Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan Korea Foundation, Jumat, 24 September 2021.

Bae menjelaskan proses seleksi para pelamar (sreening) akan di lakukan oleh sebuah komite (panitia). Komite akan mencek latar belakang para pelamar dan memilih siapa yang paling cocok untuk program ini.

Lalu, kriteria pelamar seperti apa yang bakal lolos seleksi? Bae mengatakan untuk mereka (pelamar) yang belum bisa berbahasa Korea atau bahkan cuma bisa bahasa Korea di level 1, maka mereka bakal tidak bisa mengikuti kelas (program bahasa Korea Foundation). Sebab program yang disusun adalah untuk mereka yang sudah bisa bahasa Korea di level 10.

“Sebab program ini akan sangat menuntut kemampuan berbahasa Korea. Dengan begitu, kalau kemampuan bahasa Korea mereka sangat minim atau hanya di level 1, maka mereka tak bisa mengikutinya karena program ini dirancang untuk yang kemampuan bahasa Koreanya di level 10. Komite penyeleksi akan melihat pada kriteria tersebut,” kata Bae.

Bae juga menerangkan, program KF Fellowship for Korean Language Training  bekerja sama dengan sejumlah universitas di Korea Selatan. Kampus tidak akan menjalankan program bahasa pada level dasar (belajar alphabet).

“Banyak orang di luar Korea yang pandai berbahasa Korea, namun belum berkesempatan ke Korea Selatan untuk belajar bahasa Korea di tingkat advance. Maka prioritas program ini akan diberikan pada mereka,” kata Bae.

Kriteria kelulusan lainnya adalah seorang pelamar yang kuliah S1-nya jurusan bahasa Korea, lalu mengejar karir pada isu yang terkait dengan Korea sehingga membutuhkan kemampuan bahasa Korea lebih lanjut. Maka pelamar seperti ini masuk dalam daftar yang dicari untuk mengikuti program ini.

Bae menegaskan, tidak ada perlakuan khusus bagi pelamar berdasarkan asal negaranya. Hanya saja, Korea Foundation salah satunya menekankan pada negara-negara anggota ASEAN. 

“Kami ingin memperluas program ini dengan menjaring lebih banyak pelamar dari negara-negara ASEAN. Profesor atau profesional yang punya latar belakang bahasa Korea dan penelitian terkait Korea, akan mendapat prioritas. Namun harus diingat, mereka harus punya kemampuan bahasa Korea yang mumpuni karena program ini tidak akan dimulai dari belajar alphabet,” kata Bae.

Hal lain yang ditekankan Bae bagi pelamar yang ingin lolos KF Fellowship for Korean Language Training adalah pelamar yang latar belakang pendidikan dan tujuannya yang sejalan. Contohnya, pelamar yang kuliah S1 jurusan bahasa Korea, lalu punya rencana untuk S2 di Korea Selatan jurusan kedokteran atau apapun itu, maka dia masuk daftar orang yang dicari dalam program ini.

Banyak WNA di luar negeri yang mengejar karir di bidang yang ada kaitannya dengan Korea. Akan tetapi, belum berkesempatan memperdalam ilmu secara langsung di Korea Selatan, maka Korea Foundation akan mendukung para pelamar dengan kondisi tersebut.

“Tidak bisa iseng-iseng mencoba mendaftar. Misal, orang yang kuliah S1 sastra Inggris dan tidak bisa bahasa Korea sama sekali, lalu pekerjaannya tidak ada sangkut-paut dengan Korea dan mendaftar program ini. Maka itu akan sulit karena sangat bertolak belakang (tidak paralel),” ucap Bae.

Peserta yang terpilih mengikuti KF Fellowship for Korean Language Training, akan dihadapkan pada serangkaian program (jadwal) dan ujian selama beberapa bulan di Korea Selatan. Jika mereka dinyatakan gagal mengikuti program ini, maka kampus akan memberi tahu Korea Foundation. Korea Foundation menawarkan banyak program dan kesempatan pada semua orang, namun lembaga ini mencari para pelamar yang tujuannya spesifik.

Bae menghimbau, bagi mereka yang punya kemampuan bahasa Korea yang sudah cukup bagus, maka jangan takut untuk mencoba mendaftar program KF Fellowship for Korean Language Training tahun depan.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1512957/tips-lulus-program-bahasa-korea-foundation/full&view=ok

2021
Indonesia Target Bebas Sampah Plastik pada 2040

Idealisa Masyrafina – Republika


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Pandemi Covid-19 juga menjadi ancaman bagi laut. Kini, banyak ditemukan limbah masker sekali pakai yang ditemukan di lautan. 

Pemerintah Indonesia menargetkan untuk mengurangi limbah laut minimal 70 persen pada 2025 atau empat tahun lagi dari sekarang. Adapun target jangka panjang pada 2040 yakni terbebas penuh dari sampah plastik.

Direktur Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf  menyoroti kebiasaan masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan. 

Berdasarkan laporan International Coastal Cleanup 2018, dari total jenis sampah yang terkumpul sebesar 20.824.689, sampah puntung rokok menempati posisi pertama dengan jumlah 2.412.151.

Sementara sisanya adalah sampah pembungkus makanan dan sampah plastik berupa botol minuman, kantong keresek, sedotan plastik, wadah plastik, tutup minuman plastik dan styrofoam.

“Yang harus kita lakukan dalam menangani sampah antara lain mengurangi penggunaan produk sekali pakai (reduce), menggunakan ulang (reuse), dan mendaur ulang (recycle),” ujar Yusuf dalam webinar Creativetalk Pojok Literasi, Ahad (26/9).

Menurutnya, perlu ada perubahan dalam mindset masyarakat bahwa laut bukanlah tempat membuang sampah.

“Kita juga perlu mendukung dan turut serta dalam gerakan penghentian dan pencegahan produk-produk sekali pakai (refuse), dan perubahan mindset masyarakat bahwa laut bukan keranjang sampah (rethink),” kata Yusuf. 

Menurut Co-Director of the Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC), Dr. Hansan Park, penyelesaian masalah limbah laut harus berfokus pada manajemen limbah yang saat ini masih belum optimal di Indonesia.

“Ini bukan hanya masalah limbah laut, ini dimulai dari kebiasaan masyarakat lalu juga dalam manajemen limbah, dan daur ulang (recycling) limbah,” ujar Dr. Hansan Park dalam workhop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia, Selasa (28/9).

MTCRC adalah pusat penelitian maritim bersama antara Republik Korea dan Indonesia. Didirikan pada 2018, lembaga ini telah melaksanakan berbagai kegiatan riset dan penelitian di bidang maritim di Indonesia.

MTCRC sebagai pelaksana kegiatan penelitian dan survei, diperkuat oleh tim peneliti dari Korea dan Indonesia. Pemerintah Korea diwakilkan oleh KIOST (Korea Institute of Ocean Science and Technology), sementara Indonesia diwakilkan oleh peneliti dari ITB (Institut Teknologi Bandung).

Dr. Hansan Park menjelaskan, terkait dengan limbah laut, lembaga ini telah melakukan berbagai riset, yakni studi literatur tentang karakteristik emisi limbah laut, perancangan model numerik untuk analisis sebaran dan hanyut sampah laut, dan survei dasar dari area laut yang sebenarnya dari area limbah laut utama.

Dalam pelaksanaan program untuk mengatasi limbah laut, MTCRC melalui local community support juga telah melaksanakan gerakan bersih pantai di Cirebon yang mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat. Sekitar 1 ton sampah berhasil dikumpulkan dari kegiatan ini.


Sumber: https://www.republika.co.id/berita/r050l1368/indonesia-target-bebas-sampah-plastik-pada-2040

123456789
Page 6 of 9

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net