Thea Fathanah, CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia – Korea Selatan (Korsel) secara teknis masih berperang dengan Korea Utara (Korut), meski Perang Korea 1950-1953 telah berakhir. Berbagai bentuk perang pun telah dirasakan kedua negara tetangga tersebut, termasuk yang terbaru adalah perang siber.
Janet Sohlhee Yu, manajer pengembangan internasional Korea Institute of Patent Information, mengatakan negaranya telah memiliki ‘jurus jitu’ dalam melawan serangan siber, terutama dari negara yang dipimpin Kim Jong Un. Hal ini disampaikannya dalam diskusi ‘Membangun Jembatan Digital: Kemitraan Strategis antara Indonesia dan Korea Selatan’ yang digelar oleh FPCI dan Korea Foundation di Jakarta Selatan, Kamis (10/10/2024).
“Korea memiliki Strategi Keamanan Siber Nasional (National Cybersecurity Strategy), yang ditetapkan pada tahun 2019, hampir lima tahun yang lalu,” katanya.
Strategi ini sebenarnya ditujukan untuk kapasitas pertahanan. Janet menjelaskan bahwa dengan menyiapkan strategi tersebut, Korsel ingin meningkatkan kapasitas nasional untuk kemampuan pertahanan. Mereka ingin melindungi negara dari ancaman yang menargetkan sektor publik dan infrastruktur.
“Pemerintah membuat Strategi Keamanan Siber Nasional semacam ini karena ingin melindungi sektor publik. Tetapi yang dilindungi pun bukan hanya sektor publik, tetapi juga lembaga pemerintah, sektor swasta, dan mitra internasional, demi memperkuat pertahanan siber mereka,” paparnya.
Dengan memiliki sistem manajemen keamanan siber, kata Janet, sistem nasional umum Korsel dapat mendeteksi setiap upaya serangan siber dan sebagainya.
“Jadi ada banyak strategi dan kebijakan tingkat pemerintah lainnya untuk mencegah serangan siber di sektor digital. Mereka juga memiliki sertifikat kasus Korea, yaitu Tim Tanggap Darurat Komputer Korea, tim KrCERT/CC,” ungkapnya.
Menurut Janet, mereka secara aktif memantau setiap serangan dan ancaman terhadap negaranya dan jika terjadi sesuatu, mereka akan melindungi pemerintah di sektor publik terlebih dahulu.
Pada 12 Mei 2024 lalu, penyelidikan bersama oleh pemerintah Korsel mengungkapkan kelompok peretas Korea Utara, Lazarus, telah membobol komputer pengadilan Korsel selama lebih dari dua tahun, yang mengakibatkan pencurian data sebesar 1.014 GB.
Laporan The Chosun Daily menyebut dari jumlah tersebut, hanya sekitar 0,5% (5.171 file) yang telah dipastikan bocor, terutama terdiri dari data terkait persidangan pengadilan. Informasi yang bocor tersebut mencakup rincian pribadi seperti pendaftaran penduduk dan surat nikah serta sertifikat medis.
Insiden ini menandai pertama kalinya peretas Korea Utara yang menargetkan catatan pengadilan.
Kantor Investigasi Nasional (NOI), bersama dengan Badan Intelijen Nasional dan Kantor Kejaksaan, mengaitkan infeksi malware yang ditemukan tahun lalu di jaringan komputer pengadilan dengan Lazarus. Lazarus, yang terkait dengan Biro Umum Pengintaian pemerintah Korea Utara, bertanggung jawab atas operasi spionase negara tersebut di Korea Selatan.
Peretasan tersebut terjadi antara Januari 2021 dan Februari 2023, yang berlangsung setidaknya selama dua tahun.