
?Jakarta: Gagalnya kesepakatan denuklirisasi antara Amerika Serikat (AS) dan Korea Utara (Korut) pada 2019 memberikan tantangan besar bagi kebijakan luar negeri Donald Trump di masa jabatan keduanya, khususnya terkait ketegangan yang terus berlangsung di Semenanjung Korea.
Menurut Seong-ho Sheen, Dekan Sekolah Pascasarjana Studi Internasional Universitas Nasional Seoul, potensi untuk melanjutkan kerja sama Trump dengan Kim Jong Un masih terbuka. Hal ini bisa menjadi sinyal positif bagi negosiasi denuklirisasi yang dapat meredakan ketegangan di kawasan.
“Jika sukses, tentu akan berdampak langsung untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea, meski belum ada jaminan apakah ini akan bersifat permanen atau hanya sementara,” ujar Sheen.
Namun, langkah konkret kebijakan luar negeri Trump terkait Korea diperkirakan baru akan terlihat jelas setelah pelantikannya pada Januari 2025 mendatang.
Belum lama ini, rival Donald Trump di Pemilu AS 2016 – Marco Rubio jadi calon terkuat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang baru. Trump menilai, Rubio adalah sosok yang dapat memperkuat soliditas aliansi AS dari ancaman negara-negara rival. Penunjukan Rubio pun dinilai dapat memberikan gambaran kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Rubio, yang dikenal dengan sikap keras terhadap rezim otoriter seperti Korea Utara, juga mendorong peningkatan kolaborasi militer AS dengan Jepang dan Korea Selatan untuk menghadapi provokasi Korea Utara yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
Dalam sebuah cuitan di X, Senator Florida ini menyampaikan ambisinya untuk mewujudkan semangat “Make America Great Again” dan menjamin perdamaian dunia melalui kebijakan luar negeri AS.
“Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, saya akan hadirkan perdamaian dan menjunjung tinggi kepentingan dalam negeri di atas segalanya. Untuk itu, saya sangat menantikan kerja sama dan dukungan dari parlemen AS agar kementerian luar negeri dan pertahanan dapat langsung bekerja pada 20 Januari mendatang,” tulis Rubio pada 14 November 2024.
ASEAN dapat jadi jangkar stabilitas kawasan
Dalam konteks ini, ASEAN khususnya Indonesia, dipandang berpotensi memainkan peran penting sebagai mediator dalam hubungan antar-Korea.
Pertemuan diplomatik antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Joe Biden pada 12 November 2024 di Gedung Putih menghasilkan kesepakatan untuk mendukung stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea serta upaya denuklirisasi yang menyeluruh.
Meski jalan menuju unifikasi Korea dan kesepakatan denuklrisasi masih terjal, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, dinilai dapat berperan sebagai jembatan komunikasi antara dua Korea lewat soft approach diplomacy. Secara historis, Indonesia telah memiliki hubungan baik dengan Pyongyang dan berpotensi menjadi fasilitator pertemuan antara dua negara tersebut.
Puji Basuki, mantan Koordinator Desk Korea Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri Indonesia, menyatakan bahwa pembukaan kembali Kedutaan Besar RI di Pyongyang dapat menjadi langkah awal untuk memfasilitasi dialog.
“Kami mendorong KBRI di Pyongyang dapat kembali dibuka, khususnya lewat pertemuan Wamenlu Korea Utara di Jakarta bulan September lalu. Prosesnya terus berjalan, namun kecepatannya yang harus diantisipasi. Ini hanya soal prioritas administrasi pemerintahan yang baru” ujar Puji Basuki dalam workshop bertajuk Reimagining Indonesia’s Role: Charting a New Path for Inter-Korean Engangement and Regional Stability yang diselenggarakan oleh FPCI dan Korea Foundation di Jakarta, Jumat 8 November 2024.