Posisi Kekuatan Menengah dalam Isu Palestina Berbeda

Sebagai negara kekuatan menengah, sikap Indonesia dan Korea Selatan terlihat berbeda dalam isu krisis di Gaza.

Dian Dewi Purnamasari/Kompas Daily Newspaper

Duta Besar Amerika Serikat untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa Linda Thomas-Greenfield mengangkat tangan, menyatakan abstain, saat pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB, Jumat (22/12/2023). DK PBB akhirnya meloloskan sebuah resolusi yang berisikan desakan untuk pengiriman bantuan kemanusiaan untuk warga sipil di Jalur Gaza, Palestina. 

Negara-negara kekuatan menengah seharusnya bisa bersatu untuk mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) terkait perang di Palestina. Baru-baru ini, Indonesia menyerukan embargo senjata terhadap Israel di rapat DK PBB di New York, Amerika Serikat. Meskipun sama-sama negara kekuatan menengah, mengapa sikap Korea Selatan berbeda dalam menyikapi isu tersebut? 

Saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (26/1/2024), Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra menyebut, Indonesia memang lebih vokal dalam menyuarakan isu Palestina dan mengecam agresi Israel karena Jakarta tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Tel Aviv. Sementara itu, Korea Selatan, sebagai negara sekutu Amerika Serikat, mereka tetap harus menjaga keseimbangan posisi mereka di situasi yang kompleks tersebut.

Sepanjang sejarah, lanjutnya, Indonesia pun lebih tegas menunjukkan dukungannya kepada Palestina. Indonesia juga memberikan fleksibilitas lebih dalam saat menentang aneksasi dan agresi Israel terhadap Palestina. Sebagai negara berkekuatan menengah (middle power), Indonesia menerapkan strategi multilateralisme dengan terus mengangkat isu tersebut di forum PBB.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra menjadi narasumber dalam acara lokakarya yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation di Jakarta, Jumat (8/12/2023) lalu.

“Korea Selatan menghadapi kesulitan karena kedekatannya dengan Amerika Serikat. Indonesia dapat menekan Israel karena adanya kedekatan kultural (religius) dengan Palestina. Selain itu, juga ada tekanan dari masyarakat Indonesia,” ungkap Radityo.

Seperti diberitakan sebelumnya, Indonesia mendesak embargo senjata terhadap Israel dengan alasan bahwa pasokan senjata dari berbagai negara memungkinkan Israel untuk terus menyerang Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyampaikan desakan itu dalam rapat Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat, pada Selasa (23/1/2024) siang waktu New York atau Rabu dini hari WIB, (Kompas, 25/1/2024).

Di forum tersebut, Retno juga menyatakan bahwa Israel telah mengonfirmasi tujuannya untuk menghilangkan Palestina dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan tidak akan mengizinkan pembentukan negara Palestina.

Retno mengingatkan bahwa hampir 26.000 warga Palestina tewas sejak Israel menyerbu Gaza pada 8 Oktober 2023 lalu. Oleh karena itu, ia mendesak embargo senjata ke Israel dengan alasan bahwa setiap senjata yang dikirim ke Israel dapat digunakan untuk membunuh warga sipil yang tidak bersalah.

Indonesia juga menekankan perlunya gencatan senjata segera dan permanen, pasokan bantuan kemanusiaan yang tidak terhambat, dan dukungan agar Palestina segera diterima sebagai anggota penuh PBB. Saat ini, Palestina hanya memiliki status pemantau.

Kekuatan menengah

Menurut Radityo, perbedaan posisi Indonesia sebenarnya juga dapat dilihat dalam kasus lain seperti invasi Rusia ke Ukraina. Dalam isu tersebut, Indonesia tidak dapat mengambil sikap serupa seperti dalam kasus Palestina. Ini terjadi karena negara kekuatan menengah hanya dapat aktif sejauh aspek moralitas dan normatif. Sebab, kekuatan menengah masih dibatasi pergerakannya oleh kekuatan besar dunia seperti China, Rusia, dan Amerika Serikat. Selain itu, faktor dukungan atau tekanan dari masyarakat juga menjadi penentu sikap pemerintah.

Foto yang diambil pada Senin (22/1/2024), di pinggiran selatan Khan Younis, di selatan Jalur Gaza, memperlihatkan keluarga-keluarga Palestina melarikan diri dari kota melalui jalan pesisir menuju Rafah. 

“Negara kekuatan menengah tidak harus memiliki posisi yang sama di banyak isu. Yang paling penting adalah kepentingan nasional. Kami dapat melihat perbedaan antara Indonesia dan Korea Selatan dalam isu Gaza. Posisi Indonesia selalu mendukung Palestina,” jelas Radityo.

Padahal, sebagai kekuataan menengah, imbuh Radityo, Indonesia dan Korea Selatan sebenarnya dapat menjadi pemimpin regional. Kedua negara dapat bekerja sama dalam mengadvokasi isu demokrasi, menyuarakan kepentingan negara berkembang, dan berperan lebih sebagai mediator perdamaian. Negara kekuatan menengah bisa menjadi aktor yang aktif dalam menyuarakan kepentingan global Selatan (south global).

Adapun, watak atau ciri khas lain dari negara kekuatan menengah adalah keterbatasan kapasitas mereka untuk membawa perubahan secara langsung. Oleh karena itu, negara kekuatan menengah biasanya menggunakan multilateralisme atau mengondisikan kekuatan dengan negara kekuatan menengah lainnya.

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menggelar pertemuan bilateral dengan Menteri Luar Negeri Korea Selatan Park Jin At di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis (7/7/2022). 

Ketika negara-negara kekuatan menengah itu berkumpul, mereka tidak akan dianggap sebagai ancaman, berbeda dengan Amerika Serikat atau Rusia, yang akan terlihat seperti sebuah ancaman.

Middle power tidak seperti great power yang memiliki kapasitas untuk mengutuk atau menggunakan hak veto seperti yang dimiliki AS di Dewan Keamanan PBB. Oleh karena itu, strategi yang mereka gunakan adalah dengan menggunakan aliansi di forum-forum multilateralisme,” jelas Radityo.

Berhati-hati

Sementara itu, Asisten Profesor Studi Lintas Budaya dan Kawasan Universitas Copenhagen, Denmark, Jin Sangpil menyebutkan bahwa Korea Selatan memang berada dalam posisi sulit mengenai isu Gaza. Korsel adalah sekutu Amerika Serikat dan harus menjaga hubungan dekat dengan Israel. Korsel juga tergantung pada negara-negara Timur Tengah untuk pasokan minyak dan gas.

“Jika Korea Selatan tegas membela AS atau Israel akan mendapatkan citra negatif dari negara-negara lain termasuk Timur Tengah,” ungkap Jin Sangpil dalam lokakarya yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation di Jakarta, Jumat (8/12/2023) lalu.

Anak-anak pengungsi Palestina berdiri di samping lukisan mural karya seniman Amal Abo di Rafah di selatan Jalur Gaza, Minggu (31/12/2023). 

Sangpil secara blak-blakan mengungkapkan bahwa strategi yang diterapkan oleh pemerintah Korea Selatan adalah merespons isu yang sensitif dengan berhati-hati. Sebab, jika terlalu tegas membela posisi Amerika Serikat atau Israel, negara-negara kekuatan menengah lain, termasuk Timur Tengah, akan memiliki persepsi negatif terhadap Seoul.

Selain itu, Sangpil juga berpandangan meskipun Korsel mendukung penyelesaian damai krisis Gaza, para pemimpin pemerintah mungkin ragu untuk menyuarakan dukungan langsung kepada Israel, dengan alasan potensi dampaknya terhadap perdagangan dan ekonomi Korsel.

Meskipun demikian, pada 11 Oktober lalu, atau empat hari setelah serangan Hamas ke Israel, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol telah mengadakan pertemuan darurat untuk mengecam serangan tersebut. Sebelum rapat kabinet darurat, Yoon bertemu dengan pemimpin mayoritas Senat AS Chuck Schumer di Seoul. Keduanya mengutuk serangan Hamas dan sepakat bahwa Korsel dan AS harus memainkan peran konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan cepat dan damai.

Pada awal Januari lalu, Kementerian Luar Negeri Korsel juga menyatakan sangat prihatin atas transaksi senjata Korea Utara terhadap kelompok Palestina Hamas dalam perang dengan Israel. Badan Intelijen Nasional (NIS) Korsel merilis foto bagian roket Korea Utara yang menunjukkan bahwa pejuang Hamas menggunakan peluncur granat bertenaga roket F-7 yang diproduksi di Pyongyang.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/internasional/2024/01/27/posisi-kekuatan-menengah-dalam-isu-palestina-berbeda