• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

2024

Journalist Network 2024
Indonesia Has Potentials to Act as Mediator Amid Rising Tensions on the Korean Peninsula
Reunification Monument in Pyongyang, North Korea (Flickr/Roman Harak)

The escalating tensions on the Korean Peninsula in 2023 have sparked concerns over potential regional repercussions, including in Southeast Asia. Against this backdrop, Indonesia is emerging as a potential peace broker, leveraging its strategic position to mediate between North and South Korea.

Puji Basuki, Coordinator of the Indonesia-Korea Bilateral Desk (2023–2024), highlighted this prospect at the Ministry of Foreign Affairs Directorate of East Asian Affairs. At the Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea workshop in Jakarta in November, Puji emphasized Indonesia’s capacity to contribute to regional stability. The event, themed “Reimagining Indonesia’s Role: Charting a New Path for Inter-Korean Engagement and Regional Stability,” was co-organized by the Korea Foundation and the Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

“As a Southeast Asian nation, Indonesia has the potential to prevent the escalation of conflicts in East Asia, a region critical to Indonesia’s economic interests, given its significant trade and investment ties,” Puji stated, adding that instability in the Korean Peninsula would directly impact Indonesia’s development.

Puji highlighted Indonesia’s diplomatic assets, including its neutral stance and historical relationships with both North and South Korea. Indonesia and South Korea share a strategic economic partnership and collaborate across multiple sectors. Meanwhile, Indonesia’s ties with North Korea date back to 1961, anchored by the friendship between President Soekarno and North Korean leader Kim Il-sung. This camaraderie led to the creation of the national flower of North Korea, the Kimilsungia orchid, gifted by Soekarno.

Indonesia’s neutrality has allowed it to maintain diplomatic relations with North Korea, despite the latter’s isolation. Initiatives like the Ryulgok Friendship School in Pyongyang and North Korea’s U-17 women’s football team’s participation in the Asia Cup in Indonesia this year underscore this enduring relationship.

Puji noted the recent visit of North Korea’s Vice Minister of Foreign Affairs, Park Sang Gil, to Jakarta in September 2024. It was North Korea’s first overseas engagement post-pandemic, reaffirming Indonesia’s status as a trusted partner. Plans to reopen Indonesia’s embassy in Pyongyang, closed during the COVID-19 pandemic, further underline Indonesia’s commitment to strengthening ties.

Puji outlined several avenues through which Indonesia could foster dialogue between the two Koreas, including the upcoming 75th anniversary of the 1955 Bandung Conference in 2025. Leveraging Indonesia’s leadership in ASEAN, he proposed using platforms like the ASEAN Regional Forum (ARF) to advocate for peace based on principles of non-interference, consensus-building, and mutual respect.

Meanwhile, Seong Ho Sheen, a professor of international security at Seoul National University, echoed these sentiments. He recognized Indonesia’s longstanding diplomatic relations with North Korea and its potential to serve as a bridge between the two Koreas.

“Indonesia could play a pivotal role in facilitating dialogue. Establishing a venue in Jakarta for both parties to meet on neutral ground would be an ideal starting point,” Sheen suggested.

While direct communication between Seoul and Pyongyang remains elusive, Sheen emphasized the importance of Indonesia securing trusted partners in both capitals to initiate peace talks. With its history of neutrality and commitment to fostering trust, Indonesia is well-positioned to mediate and contribute to lasting peace on the Korean Peninsula.

Source: https://news.seatoday.com/alvin-qobulsyah/11413/indonesia-has-potentials-to-act-as-mediator-amid-rising-tensions-on-the-korean-peninsula

Journalist Network 2024
Peran Indonesia dalam Perdamaian di Semenanjung Korea

Indonesia memiliki sejarah panjang dengan Korea Selatan dan juga Korea Utara.

Peta ilustrasi jangkauan 700 km yang dapat dicapai oleh rudal hipersonik dari wilayah Korea Utara berdasarkan laporan kantor berita KCNA. Senjata hipersonik biasanya terbang menuju target di ketinggian yang lebih rendah daripada rudal balistik dan dapat mencapai lebih dari lima kali kecepatan suara – atau sekitar 6.200 km per jam (3.850 mph). REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta – Dalam rangka mencari perdamaian di Semenanjung Korea, Indonesia telah melakukan pendekatan kolaboratif bersama negara-negara di kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN,” kata Peneliti Doktoral di Global Development Institute Universitas Manchester Inggris Puji Basuki dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation November lalu.

Ukky, sapaan Puji Basuki, mengingatkan bahwa Indonesia memiliki sejarah panjang dengan Korea Selatan dan juga Korea Utara. Dengan Korea Selatan Indonesia telah melakukan kerja sama dalam berbagai bidang. Hubungan diplomatik pun sudah dilakukan dalam 50 tahun terakhir. “Bahkan kerja sama kedua negara semakin baik karena adanya hubungan ekonomi,” kata Ukky. 

Indonesia pun memiliki catatan sejarah dengan negara Korea Utara. Bila dibandingkan dengan Korea Selatan, Ukky menjelaskan, bahwa akses formal diplomasi sangat terbatas. Apalagi saat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Pyongyang ditutup sejak Pandemi lalu. Namun bila ditarik lebih jauh lagi, hubungan antara Indonesia dan Korea Utara ini sudah terajut sejak pertemuan kedua pemimpin bangsa masing-masing negara, Soekarno dan Kim Il Sung pad 1965. 

Kala itu, Kim Il Sung datang ke Indonesia untuk memperingati 10 tahun Konferensi Asia Afrika. Pada kesempatan itu, Sukarno mengajaknya untuk melihat koleksi tanaman di Kebun Raya Bogor. Tidak disangka Kim Il Sung terpesona dengan bunga anggrek itu. Sehingga Sukarno menghadiahkan bunga tersebut ke Kim Il Sung. Bunga hibrida anggrek itu pun merupakan simbol persahabatan antara Indonesia dan Korea Utara.

Profesor Studi Global Seoul National University Seong Ho Sheen, mengakui posisi Indonesia dalam kajian politis dan historis memang begitu netral. Sikap Indonesia yang aktif dan bebas, dijelaskan Sheen, bisa menjadi sebuah keunggulan dalam proses negosiasi.”Dari segi sejarah, Indonesia memang sudah punya hubungan diplomatik dengan Korea Utara. Artinya, itu aset yang cukup penting,” kata Sheen.

Sheen menilai ASEAN, dalam skala organisasi regional, juga bisa berperan dalam mediasi. Pendapat itu dikeluarkan Sheen ketika melihat Presiden Terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, pernah menggelar pertemuan dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, di Singapura serta Vietnam. Bagi Sheen, dengan pertemuan Trump dan Kim Jong Un, sudah menjadi bukti jika ASEAN memiliki peran yang strategis serta netral.”ASEAN menjadi penting dan itu bisa menjadi potensi bagi Indonesia pula dalam memainkan perannya.” kata Sheen.

Sumber: https://www.tempo.co/internasional/peran-indonesia-dalam-perdamaian-di-semenanjung-korea-1187541

Journalist Network 2024
Aliansi AS di Asia pun Khawatir
Presiden Terpilih AS Donald Trump saat kampanye di Minnesota, 27 Juli lalu. AFP/ALEX WROBLEWSKI

KEMENANGAN Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) 2024 menimbulkan kekhawatiran dan ketidakpastian bagi negara-negara aliansi mereka seperti Korea Selatan. Trump diketahui pernah menjalin komunikasi dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un.

Kedekatan Trump dengan Kim dapat menambah ketegangan di Semenanjung Korea yang akan berdampak pada stabilitas kawasan Indo-Pasifik dan negara-negara terdekat, yakni ASEAN. Di sisi lain, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, sebagai anggota kunci ASEAN, bisa mengambil inisiatif untuk mempromosikan perdamaian di Semenanjung Korea.

“Kalau ada kebutuhan untuk menjadikan Asia Timur sebagai driver ekonomi Indonesia, (kita perlu) memastikan wilayah Korea Peninsula tidak menjadi hambatan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi melalui investasi dengan negara-negara kunci di sana,”ujar eks Koordinator Desk Korea Direktorat Asia Timur Kementer….

Sumber: https://epaper.mediaindonesia.com/detail/a-10404

Journalist Network 2024
Donald Trump Menang Pilpres AS, Bagaimana Kebijakannya Terkait Perdamaian Semenanjung Korea?

Menurut pengamat, ada dua potensi kebijakan Donald Trump terhadap isu Semenanjung Korea.

Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un dalam pertemuan bersejarah di resor Capella, Pulau Sentosa, Selasa (12/6). Kim dan Trump hadir di depan jurnalis dengan latar belakang bendera Korut dan AS. (AP/Evan Vucci)

  • Home
  • Global
  • Internasional

Donald Trump Menang Pilpres AS, Bagaimana Kebijakannya Terkait Perdamaian Semenanjung Korea?

Menurut pengamat, ada dua potensi kebijakan Donald Trump terhadap isu Semenanjung Korea.

OlehBenedikta Miranti T.VDiperbarui 10 Nov 2024, 14:57 WIB

Diterbitkan 10 Nov 2024, 21:31 WIB

Share

Copy Link

Batalkan

Jabat Tangan Perdana Trump dan Kim Jong-un
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un dalam pertemuan bersejarah di resor Capella, Pulau Sentosa, Selasa (12/6). Kim dan Trump hadir di depan jurnalis dengan latar belakang bendera Korut dan AS. (AP/Evan Vucci)

Liputan6.com, Jakarta – Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat (AS) yang digelar 5 November 2024 lalu  membuat banyak pihak menanti kebijakan luar negerinya. Termasuk isu Semenanjung Korea.

Pasalnya, Donald Trump diketahui pernah menjalin hubungan baik dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Trump dan Kim telah bertemu dua kali, yakni di Singapura (Juni 2018) dan di Vietnam (Februari 2019).

Kembalinya Trump ke tampuk kekuasaan AS dipandang oleh pengamat memiliki potensi positif bagi perdamaian dua Korea.

“Jika ia memang berusaha untuk kembali berhubungan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, saya pikir itu perkembangan yang positif. Karena saat ini, Kim Jong Un terus mengembangkan program nuklirnya sejak pertemuan puncak yang gagal di pada tahun 2019,” ungkap Dekan dan Profesor di Sekolah Pascasarjana Studi Internasional Universitas Nasional Seoul, Seong-ho Sheen, dalam sesi workshop bersama jurnalis peserta Indonesia-Korea Journalist Network yang diselenggarakan oleh FPCI dan Korea Foundation (KF) di Jakarta, Jumat (8/11/2024).

Sheen menuturkan bahwa ketika Trump dan Kim kembali berhubungan, setidaknya ada negosiasi atau kesepakatan terkait denuklirisasi yang sebelumnya gagal. Meski belum tentu dapat menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara secara menyeluruh, namun setidaknya dapat menghentikan program nuklir Korea Utara yang terus berlanjut.

Hal itu juga yang kemudian akan berdampak bagi perdamaian antara Korea Selatan dan utara.

“Jika Kim benar-benar berbincang dengan Trump, itu pasti akan membantu meredakan ketegangan di emenanjung Korea. Karena Korea Utara telah menciptakan tekanan dan ketegangan militer di semenanjung Korea, serta menyalahkan kebijakan aliansi Korea Selatan dan AS,” papar Sheen.

Potensi Perubahan Kebijakan AS Terhadap Korea Selatan

Namun jika Trump membangun komunikasi dengan Kim, ada kemungkinan perubahan kebijakan antara AS dengan Korea Selatan.

Di bawah pemerintahan Joe Biden, AS membangun aliansi trilateral dengan Korea Selatan dan Jepang. Ketiga negara telah menandatangani kesepakatan kerja sama pertahanan, keamanan, dan teknologi di Camp David pada Agustus 2023 lalu.

Sementara di bawah kesepakatan U.S.–South Korea Status of Forces Agreement (SOFA), Korea Selatan pada tahun 2023 sepakat untuk meningkatkan bantuan finansial terhadap pasukan Washington di Seoul sebesar 4 persen.

Menurut Sheen, ada kemungkinan Trump akan meminta peningkatan kesepakatan finansial sebesar lima hingga sepuluh kali lipat dari Korea Selatan.

“Saya tidak begitu yakin apakah Trump akan mempertahankan perjanjian semacam itu yang diterapkan pemerintahan Biden,” tambah Sheen.

“Jika Korea Selatan tidak mau menerima pelanggaran perjanjian semacam itu, untuk meningkatkan kontribusi militer, Trump dapat menggunakannya sebagai kesempatan menarik pasukan atau memaksa Korea Selatan menerima peningkatan semacam itu.”

Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/5780568/donald-trump-menang-pilpres-as-bagaimana-kebijakannya-terkait-perdamaian-semenanjung-korea?page=2

Journalist Network 2024
Menakar Potensi Indonesia Jadi Mediator Perdamaian Korea Utara dan Korea Selatan

Indonesia memiliki modalitas secara bilateral, regional hingga global dalam mendorong dialog perdamaian antara dua Korea.

Bendera Korea Utara dan Korea Selatan berkibar berdampingan – AFP

Liputan6.com, Jakarta – Ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Aksi saling kirim balon sampah hingga drone propaganda hanyalah segelintir kasus yang memperkeruh ketegangan antara dua Korea.

Panasnya hubungan itu mendorong pentingnya peran pihak ketiga untuk mendorong perdamaian antara kedua pihak, termasuk Indonesia yang dinilai potensial untuk menjadi mediator.

Indonesia, negara yang menjalin hubungan diplomatik dengan Pyongyang dan Seoul, memiliki kapasitas untuk mendorong dialog antara keduanya.

“Karena ini adalah kawasan yang penting, Indonesia selalu memantau dengan saksama eskalasi terkini di Semenanjung Korea dan menyerukan agar semua pihak menahan diri,” tutur Mantan Koordinator Bilateral Desk Indonesia-Korea di Kementerian Luar Negeri Ukky Puji Basuki dalam sesi workshop bersama jurnalis peserta Indonesia-Korea Journalist Network yang diselenggarakan oleh FPCI dan Korea Foundation (KF) di Jakarta, Jumat (8/11/2024).

“Dalam berbagai forum multilateral, termasuk ASEAN atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia selalu menekankan perlunya semua pihak untuk tidak meningkatkan ketegangan tetapi mengejar denuklirisasi, serta menekankan juga pentingnya prinsip non-intervensi.”

Ukky melanjutkan, peringatan 70 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun depan, dapat menjadi momen yang tepat bagi Indonesia untuk melakukan dialog dengan Korea Utara.

“Karena Indonesia dan Korea Utara sama-sama anggota gerakan non-blok, kita memiliki semangat yang sama untuk mendekolonisasi dan berusaha membangun ketahanan untuk menjadi negara yang merdeka dan makmur,” lanjut dia.

Jakarta, sebut Ukky, juga memiliki potensi sebagai lokasi dilakukannya dialog dengan Korea Utara.

“Jakarta juga merupakan tempat yang netral. Jika semuanya berjalan dengan baik dan dialog dapat diaktifkan kembali antara Korea Utara dan dunia, mungkin Jakarta juga dapat dipilih sebagai salah satu tempat untuk membantu dialog tersebut,” jelasnya.

Indonesia juga dapat memainkan perannya lewat ASEAN, organisasi kawasan Asia Tenggara yang memiliki pandangan yang sama soal pentingnya perdamaian di Asia Timur.

“Itulah sebabnya ASEAN mendorong pembangunan perdamaian, dan ini merupakan salah satu jalan bagi Indonesia untuk memainkan peran diplomatiknya,” papar Ukky.

Sebelumnya, Indonesia mulai melakukan advokasi pendekatan lewat ASEAN Regional Forum (ARF), di mana Korea adalah salah satu anggotanya. Dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023, ARF dihadiri oleh utusan Korea Utara.

“Melihat keterlibatan sebelumnya, disarankan bahwa ARF masih memiliki modalitas untuk digunakan sebagai platform untuk pembangunan perdamaian, terutama dalam membahas arsitektur keamanan regional yang dapat diterima secara umum atau dibahas secara umum oleh semua pihak terkait,” tutur Ukky.

Indonesia juga dapat bekerja sama dengan ASEAN untuk kembali mengajak Korea Utara terlibat dalam dialog perdamaian.

“Kerja sama multilateral ini penting untuk memperkuat upaya perdamaian berkelanjutan di Semenanjung Korea,” tambah dia.

Pentingnya Peran Indonesia dan ASEAN

Hal senada turut diungkapkan oleh Dekan dan Profesor di Sekolah Pascasarjana Studi Internasional Universitas Nasional Seoul, Seong-ho Sheen.

Ia menuturkan bahwa Indonesia memiliki modalitas yang baik untuk menjadi mediator, dan kawasan Asia Tenggara juga memiliki peran penting bagi perdamaian kedua Korea.

“Indonesia telah menjalin hubungan diplomatik yang erat dengan Korea Utara, ini menjadi aset yang sangat penting yang dimiliki Indonesia dalam hal Semenanjung Korea,” kata Sheen.

“Kedua, pertemuan mantan presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dalam beberapa tahun terakhir dilakukan di Asia Tenggara, satu di Singapura dan kedua di Vietnam. Ini memembuktikan bahwa Asia Tenggara dapat menjadi sangat penting, atau ASEAN dalam hal ini,” lanjutnya.

“Jadi, menurut saya, jika menyangkut isu Semenanjung Korea atau sudut pandang Korea Utara, ada potensi bagi Indonesia atau ASEAN untuk memainkan peran penting,” tegas dia.

Mengapa Stabilitas Semenanjung Korea Penting?

Stabilitas di Semenanjung Korea penting bagi dunia, termasuk Indonesia, karena kawasan Asia Timur saat ini merupakan salah satu pusat kekuatan ekonomi global dan stabilitasnya sangat penting bagi perdagangan dan pembangunan.

Hal tersebut berkaitan dengan pembangunan ekonomi Indonesia.

“Semua pelaku utama di kawasan Asia Timur merupakan mitra dagang dan investasi penting atau menampung sejumlah besar migran Indonesia. Misalnya, di Hong Kong atau bahkan Taiwan dan Korea Selatan, kami memiliki sejumlah besar pekerja migran,” jelas Ukky.

“Itulah sebabnya ketidakstabilan jelas akan mengurangi kemampuan Indonesia untuk mencapai tujuan pembangunan.”

Menurut Ukky, Indonesia dapat mengerahkan upaya bilateral, regional, multilateral hingga global dalam mendorong terciptanya stabilitas di kawasan Asia Timur dan Semenanjung Korea, yang tidak hanya menguntungkan dua Korea namun dunia secara keseluruhan.

Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/5780532/menakar-potensi-indonesia-jadi-mediator-perdamaian-korea-utara-dan-korea-selatan?page=4

Journalist Network 2024
Trump Menang Pilpres AS, Apakah Konflik Semenanjung Korea Kian Panas?
Presiden terpilih AS Donald Trump pernah bertemu pemimpin Korut Kim Jong Un. (SAUL LOEB / AFP)

Jakarta, CNN Indonesia — Donald Trump menang dalam pemilihan presiden (Pilpres) Amerika Serikat versi laporan sejumlah media.
Dalam pilpres lalu, New York Times melaporkan Trump mengantongi 51 persen suara popular vote dan 299 suara elektoral.

Di tengah kemenangan itu, Semenanjung Korea tengah membara karena Korea Utara terus melakukan uji coba rudal.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dilaporkan memiliki hubungan yang dekat dengan Trump.

Lalu apakah kedekatan mereka bisa membuat Semenanjung Korea lebih stabil atau justru sebaliknya?

Pakar hubungan internasional dari Universitas Nasional Seoul Sheen Seong Ho mengatakan kebijakan luar negeri Trump akan mempengaruhi Indo-Pasifik terutama Semenanjung Korea.

“Saya pikir kehadiran Trump [ke Gedung Putih], cukup ironis,” kata Sheen dalam diskusi via zoom saat ditanya soal apakah kemenangan dia merupakan tanda yang baik bagi Semenanjung Korea, Jumat (8/11).

Respons Sheen muncul dalam workshop yang digelar Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia di Le Meridien Hotel, Jakarta.

Sheen mengatakan ada kekhawatiran yang meluas di bawah pemerintahan Trump, AS akan menuntut lebih ke Korsel terkait dukungan pertahanan.

Tuntutan itu bisa menggunakan alasan bantuan pertahanan AS untuk mencegah tindakan Korut.

Di masa jabatan sebelumnya, Trump menuntut kontribusi lebih dalam hal keuangan untuk pasukan AS di Korsel.

“Beberapa orang menyebut [Trump mungkin akan] menaikkan hingga 10 kali lipat dalam biaya kontribusi Korsel untuk AS yang ditempatkan di Korsel,” kata Sheen.

Dia lalu berujar, “Ada banyak kekhawatiran [soal peningkatan kontribusi itu].”

Trump-Kim Akrab, Semenanjung Korea Aman?

Sheen di kesempatan itu juga menggarisbawahi kedekatan Trump dan Kim yang mungkin membawa “perkembangan positif.”

Trump dan Kim pernah menggelar pertemuan puncak di Singapura pada 2018 untuk membahas denuklirisasi dan sanksi Korut.

Saat itu, Trump berjanji akan mengurangi latihan militer AS dan Korsel. Kim sering menganggap latihan ini sebagai persiapan kedua negara menginvasi Korut.

AS meminta Korut melucuti senjata termasuk program nuklir secara menyeluruh. Namun, Pyongyang ketika itu hanya membongkar situs utama roket Korut dan tak menyampaikan komitmen apapun.

Setahun kemudian, mereka kembali mengggelar dialog untuk membujuk Korut menyerahkan program nuklir mereka.

Pertemuan itu tak memberi hasil signifikan. Trump dan Kim disebut-sebut akan kembali menggelar dialog tetapi hingga sekarang tak ada informasi pasti.

“Trump terlibat dengan Kim Jong Un, dan Kim Jong Un mencoba kembali terlibat dengan Trump, setidaknya harus ada semacam negosiasi atau kesepakatan untuk menghentikan atau menangani program nuklir Korea Utara,” ujar Sheen.

Korea Utara selama ini dilaporkan menutup diri dan sulit mengajak Kim bernegosiasi serta membahas denuklirisasi.

Meski Kim dan Trump disebut akrab, Sheen menekankan kedekatan mereka belum tentu bisa menyelesaikan masalah nuklir Korut secara permanen.

Namun, Trump setidaknya bisa memberi masukan ke program nuklir Korut dan akan dipertimbangkan Kim.

“Maka itu akan jadi perkembangan yang sangat positif,” ujar Sheen.

Sheen lalu menekankan jika Trump nantinya benar-benar melakukan pertemuan dengan Kim, kemungkinan akan ada perubahan di Kawasan tersebut.

“Itu pasti akan membantu meredakan ketegangan di semenanjung Korea. Korea Utara, Anda tahu, telah menciptakan tekanan dan ketegangan di Semenanjung Korea, dan menyalahkan kami,” ungkap dia.

Sheen juga mewanti-wanti jika relasi Kim dan Trump memburuk di masa mendatang.

Di periode pertama Trump memimpin AS, dia dan pemimpin Korut itu sempat terlibat cekcok bahkan saling mengancam.

Perselisihan itu berdampak ke Semenanjung Korea.

“Ini bisa menjadi kemungkinan lain yang berbeda. Dalam hal tersebut, mungkin akan menjadi perkembangan negatif,” ujar Sheen.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20241110142015-113-1164999/trump-menang-pilpres-as-apakah-konflik-semenanjung-korea-kian-panas

Journalist Network 2024
Korut Kirim Ribuan Tentara ke Rusia, Apa Efek bagi Semenanjung Korea?
Ilustrasi. Korea Utara kirim ribuan tentara ke Rusia. (AFP PHOTO/KCNA via Korean News Service)

Jakarta, CNN Indonesia — Korea Utara belakangan ini menjadi sorotan usai muncul laporan mereka mengirim ribuan tentara ke Rusia untuk berperang di Ukraina.
Amerika Serikat menuding Korut mengirim sekitar 10.000 personel ke Rusia. Dari jumlah ini, sebagian tentara telah mendekati perbatasan Rusia-Ukraina.

Korea Selatan (Korsel) murka sekaligus sangat khawatir dengan tindakan Korut.

Pengerahan tentara Korut ke Rusia turut memperburuk situasi yang memanas di Semenanjung Korea. Lalu, apa dampaknya jika tak ada penarikan pasukan dan terus berlanjut?

Pakar hubungan internasional dari Universitas Nasional Seoul Sheen Seong Ho mengatakan pengerahan tersebut menjadi kekhawatiran besar bagi dunia.

“Dan dari sudut pandang Korea Selatan, itu bukan pertanda baik. Hubungan [Korut] dengan Rusia akan menciptakan dinamika baru di Semenanjung Korea,” ujar Sheen saat ditanya soal dampak pengiriman tentara Korut ke Rusia, Jumat (8/11).

Respons Sheen muncul dalam workshop yang digelar Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia di Le Meridien Hotel, Jakarta.

Sheen mengatakan hubungan Korsel dengan Rusia setelah invasi Ukraina tam harmonis. Di saat yang sama, hubungan Negeri Ginseng dengan Korut juga terus memburuk.

Situasi semacam itu, lanjut dia, justru memperkuat hubungan Rusia dan Korut.

Pada September lalu, Rusia dan Korut sepakat meneken pakta pertahanan bertajuk “kemitraan strategis komprehensif.” Perjanjian ini mencakup klausul pertahanan bersama jika terjadi agresi terhadap salah satu negara.

Banyak pengamat menyebut perjanjian itu kian memperkokoh hubungan Rusia dan Korea Utara. Ini mengkhawatirkan Korsel.

Korsel dan Jepang bahkan terus memantau pergerakan Korut dan menyebut kesepakatan itu berdampak ke kawasan.

Presiden Korsel Yoon Suk Yeol juga mengatakan tindakan Korut mengancam keamanan global. Dia sampai-sampai akan mempertimbangkan untuk mengirim senjata ke Ukraina.

Di kesempatan tersebut, Sheen mengomentari pernyataan Yoon soal potensi pengiriman senjata dari Korsel ke Ukraina.

Korsel merupakan sekutu dekat Amerika Serikat di Indo-Pasifik. Negeri Paman Sam selama ini mengucurkan bantuan militer ke Ukraina dan meminta dunia memberi sanksi ke Rusia.

Sheen menilai jika Korsel betul-betul mengirim senjata ke Ukraina maka akan memperkeruh situasi di Semenanjung Korea sekaligus hubungan dengan Rusia.

“Dapat menciptakan ketegangan baru antara Rusia dan Korea Selatan khususnya,” ujar dia.

Warga Korsel dan oposisi, kata Sheen, juga menentang pernyataan Yoon soal pengiriman senjata.

Setelah itu, tak ada langkah konkret dari pemerintah Korsel menyusul pernyataan Yoon.

“Saya pikir kita perlu menunggu dan melihat apa yang akan benar-benar terjadi,” kata Sheeen.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20241110153945-113-1165010/korut-kirim-ribuan-tentara-ke-rusia-apa-efek-bagi-semenanjung-korea

Journalist Network 2024
Mampukah Prabowo Bawa RI Jadi Mediator Konflik Semenanjung Korea?
Ilustrasi. Momen Korut luncurkan kapal selam nuklir baru, di tengah ketegangan dengan Korsel di Semenanjung Korea. Foto: via REUTERS/KCNA

Jakarta, CNN Indonesia — Semenanjung Korea belakangan ini memanas karena ketegangan yang meningkat antara Korea Selatan dan Korea Utara.
Korut berulang kali meluncurkan uji coba rudal hingga membuat Korsel ketar-ketir. Pyongyang juga memperbarui sebutan Korsel dalam konstitusi mereka sebagai “musuh.”

Korsel sementara itu terus menggelar latihan militer bersama Amerika Serikat, ini mengancam Korut. Negeri Ginseng beberapa waktu lalu juga mengirim drone ke Pyongyang.

Sederet insiden itu memperkeruh suasana di Semenanjung dan mengurangi harapan reunifikasi terwujud.

Sebagai negara yang sama-sama berada di kawasan Indo-Pasifik, RI bisa berperan menjadi fasilitator atau mediator untuk pembicaraan damai Korut dan Korsel.

Peneliti di Global Development Institute Puji Basuki atau disapa Ukky mengatakan Indonesia bisa menjadi tuan rumah pembicaraan damai antara Korsel dan Korut.

“Ya, untuk beberapa waktu dalam pemerintahan kita, kenapa tidak menggunakan Jakarta, yang merupakan tempat netral, sebagai tempat untuk membantu dialog tersebut,” kata Ukky pada pertengahan November.

Pandangan Ukky disampaikan saat menjadi pembicara dalam workshop yang digelar Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia secara hybrid di Le Meridien Hotel, Jakarta pada 8 November.

Indonesia, dalam kebijakan luar negeri, menganut politik bebas aktif sehingga tak memihak kekuatan mana pun atau negara yang sedang berkonflik.

Ukky yang juga mantan Koordinator Desk Bilateral RI-Korsel Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menerangkan Indonesia memiliki hubungan yang baik dengan Korsel maupun Korut.

Keakraban Indonesia-Korsel tercermin dari kunjungan kepala negara ke masing-masing negara pada 2023.

Pada Juli tahun lalu, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke Seoul untuk menemui Presiden Korsel Yoon Suk Yeol.

Kemudian pada September, gantian Yoon yang melawat ke Indonesia. Dalam kunjungan ini, Presiden Korsel itu menyebut RI merupakan negara penting di ASEAN yang turut menjaga perdamaian di kawasan.

Lalu terkait Korut dan RI, kedua negara memiliki hubungan sejarah yang baik terutama di era presiden pertama Soekarno.

Ukky juga menilai Indonesia dan Korut merupakan anggota Gerakan Non-Blok sehingga memiliki semangat yang sama untuk dekolonisasi.

Profesor hubungan internasional dari Universitas Nasional Seoul Seong Ho Sheen juga punya pandangan serupa.

“Indonesia memiliki sejarah diplomatik yang panjang dengan Korea Utara. Indonesia dan Korea Utara bisa memainkan peran yang sangat penting sebagai jembatan antara Korea Utara dan Korea Selatan,” kata Sheen.

Sheen mengatakan saat ini Korsel tak punya jalur komunikasi langsung dengan Korea Utara.

Namun, untuk bisa menjadi tuan rumah dan menjadi mediator atau fasilitator Indonesia perlu mengajak bicara terlebih dahulu kepemimpinan Korsel dan Korut.

Sheen menilai jika Indonesia, bisa menemukan mitra di Pyongyang dan menghubungkan dengan pihak-pihak terkait di Korsel, bukan tak mungkin dialog perdamaian itu muncul.

“Mungkin Anda bisa memainkan peran tertentu dalam menjangkau Korea Utara dan Korea Selatan, atau bahkan Anda bisa menyediakan semacam tempat di Jakarta dan tempat bagi kedua belah pihak untuk bertemu tepat di lokasi pihak ketiga,” ungkap dia.

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20241121072607-106-1168955/mampukah-prabowo-bawa-ri-jadi-mediator-konflik-semenanjung-korea

Journalist Network 2024
Menanti Manuver Kebijakan Luar Negeri Trump di Semenanjung Korea
Workshop Reimagining Indonesia’s Role: Charting a New Path for Inter-Korean Engangement and Regional Stability. Foto: Metro TV

?Jakarta: Gagalnya kesepakatan denuklirisasi antara Amerika Serikat (AS) dan Korea Utara (Korut) pada 2019 memberikan tantangan besar bagi kebijakan luar negeri Donald Trump di masa jabatan keduanya, khususnya terkait ketegangan yang terus berlangsung di Semenanjung Korea.

Menurut Seong-ho Sheen, Dekan Sekolah Pascasarjana Studi Internasional Universitas Nasional Seoul, potensi untuk melanjutkan kerja sama Trump dengan Kim Jong Un masih terbuka. Hal ini bisa menjadi sinyal positif bagi negosiasi denuklirisasi yang dapat meredakan ketegangan di kawasan.

“Jika sukses, tentu akan berdampak langsung untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea, meski belum ada jaminan apakah ini akan bersifat permanen atau hanya sementara,” ujar Sheen.

Namun, langkah konkret kebijakan luar negeri Trump terkait Korea diperkirakan baru akan terlihat jelas setelah pelantikannya pada Januari 2025 mendatang.

Belum lama ini, rival Donald Trump di Pemilu AS 2016 – Marco Rubio jadi calon terkuat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat yang baru. Trump menilai, Rubio adalah sosok yang dapat memperkuat soliditas aliansi AS dari ancaman negara-negara rival. Penunjukan Rubio pun dinilai dapat memberikan gambaran kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

Rubio, yang dikenal dengan sikap keras terhadap rezim otoriter seperti Korea Utara, juga mendorong peningkatan kolaborasi militer AS dengan Jepang dan Korea Selatan untuk menghadapi provokasi Korea Utara yang berpotensi mengganggu stabilitas kawasan Indo-Pasifik.

Dalam sebuah cuitan di X, Senator Florida ini menyampaikan ambisinya untuk mewujudkan semangat “Make America Great Again” dan menjamin perdamaian dunia melalui kebijakan luar negeri AS.

“Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, saya akan hadirkan perdamaian dan menjunjung tinggi kepentingan dalam negeri di atas segalanya. Untuk itu, saya sangat menantikan kerja sama dan dukungan dari parlemen AS agar kementerian luar negeri dan pertahanan dapat langsung bekerja pada 20 Januari mendatang,” tulis Rubio pada 14 November 2024.

ASEAN dapat jadi jangkar stabilitas kawasan

Dalam konteks ini, ASEAN khususnya Indonesia, dipandang berpotensi memainkan peran penting sebagai mediator dalam hubungan antar-Korea.

Pertemuan diplomatik antara Presiden RI Prabowo Subianto dan Presiden AS Joe Biden pada 12 November 2024 di Gedung Putih menghasilkan kesepakatan untuk mendukung stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea serta upaya denuklirisasi yang menyeluruh.

Meski jalan menuju unifikasi Korea dan kesepakatan denuklrisasi masih terjal, negara-negara ASEAN termasuk Indonesia, dinilai dapat berperan sebagai jembatan komunikasi antara dua Korea lewat soft approach diplomacy. Secara historis, Indonesia telah memiliki hubungan baik dengan Pyongyang dan berpotensi menjadi fasilitator pertemuan antara dua negara tersebut.

Puji Basuki, mantan Koordinator Desk Korea Direktorat Asia Timur Kementerian Luar Negeri Indonesia, menyatakan bahwa pembukaan kembali Kedutaan Besar RI di Pyongyang dapat menjadi langkah awal untuk memfasilitasi dialog.

“Kami mendorong KBRI di Pyongyang dapat kembali dibuka, khususnya lewat pertemuan Wamenlu Korea Utara di Jakarta bulan September lalu. Prosesnya terus berjalan, namun kecepatannya yang harus diantisipasi. Ini hanya soal prioritas administrasi pemerintahan yang baru” ujar Puji Basuki dalam workshop bertajuk Reimagining Indonesia’s Role: Charting a New Path for Inter-Korean Engangement and Regional Stability yang diselenggarakan oleh FPCI dan Korea Foundation di Jakarta, Jumat 8 November 2024.

Sumber: https://www.metrotvnews.com/read/k8oC6P0p-menanti-manuver-kebijakan-luar-negeri-trump-di-semenanjung-korea

Journalist Network 2024
Ini Tantangan Adopsi Kendaraan Listrik di Indonesia
Stasiun pengecasan khusus pemilik mobil listrik Hyundai(Dok. Hyundai)

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Global Data dan US Geological Survey Data, produksi nikel di Indonesia diestimasikan bisa mencapai sekitar 17 miliar ton pada tahun 2023. Sumber daya ini kemudian ingin dimanfaatkan oleh pemerintah, salah satunya dengan mendorong elektrifikasi kendaraan listrik atau electric vehicle (EV). Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mendorong realisasi investasi pembangunan ekosistem kendaraan listrik, dengan menggandeng beberapa produsen. Salah satunya adalah Hyundai, produsen otomotif asal Korea Selatan.

Akan tetapi, akselerasi adopsi kendaraan listrik di Indonesia menghadapi beberapa tantangan. Direktur Sumber Daya Energi Mineral dan Pertambangan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Nizhar Marizi mengatakan, salah satu tantangannya adalah masyarakat yang masih khawatir soal daya tahan baterai. Hal ini dikarenakan, di Indonesia, banyak orang memiliki kendaraan pribadi yang tidak hanya digunakan untuk bepergian jarak dekat, seperti bekerja. Kendaraan pribadi juga kerap digunakan untuk bepergian jarak jauh, seperti misalnya ketika mudik lebaran.

Kekhawatiran soal daya tahan baterai ini lantas berkaitan dengan ketersediaan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU), yang jumlahnya masih sangat terbatas. Hal itu juga diamini oleh Hendry Pratama Head of New Business Department Hyundai Motor Asia Pasific. Oleh karena itu, Hyundai membangun ratusan SPKLU sebagai infrastruktur pendukung.

“Saat ini, kami adalah perusahaan swasta dan salah satu network (jaringan) EV charging station (stasiun pengisian daya) terbesar (di indonesia) setelah PLN,” kata Hendry. Hingga Maret 2024, Hyundai telah memiliki 200 SPKLU yang tersebar di seluruh Indonesia. SPKLU ini tidak hanya bisa digunakan oleh mobil keluaran Hyundai, melainkan juga merek lain, berkat penggunaan standar CCS2 (Combined Charging System 2) yang umum digunakan. “Tantangan berikutnya adalah harga,” kata Nizhar.

Sumber: https://otomotif.kompas.com/read/2024/11/16/171100615/ini-tantangan-adopsi-kendaraan-listrik-di-indonesia

‹ Previous123456789Next ›Last »
Page 5 of 11

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net