Tantangan Ambisi Seoul di Asia Tenggara

Adhitya Ramadhan – Senior Journalist, Kompas


Empat kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia selalu menjadi prioritas hubungan luar negeri Korea Selatan. Pengaruh empat negara itu yang sangat besar membuat lebih dari 80 persen sumber daya diplomasi Korea Selatan diarahkan pada empat raksasa dunia itu.

Ketika menaruh fokus politik luar negerinya yang besar di empat negara itu, di saat yang sama Korea Selatan juga sebenarnya berada dalam posisi yang serba sulit terlebih di tengah rivalitas AS-China dan dinamika yang berkembang di Semenanjung Korea. Korea Selatan merupakan mitra lama AS di Asia, tetapi secara perdagangan sangat bergantung pada China.

Pada saat yang sama, Korea Selatan juga memiliki hubungan penting dengan negara-negara lain, seperti negara-negara anggota ASEAN dan India di Asia Tengah. Meski menjadi negara atau blok lapis kedua dalam politik luar negeri Korea Selatan, ASEAN dan India memiliki nilai strategis bagi Korea Selatan di kawasan.

Bermodalkan kepercayaan publik yang tinggi, pada 2017, Presiden Moon Jae-in yang merupakan bagian kecil The Candlelight Revolution di negaranya pun mulai ”menoleh ke Selatan” melalui inisiatif New Southern Policy (NSP). Kebijakan ini memandang ASEAN dan India sebagai mitra strategis Korea Selatan. Pada 2020, Korea Selatan pun mengeluarkan New Southern Policy Plus untuk memperluas area kerja samanya.

Untuk mendukung NSP, untuk pertama kalinya dalam sejarah, secara institusional Pemerintah Korea Selatan membentuk Biro ASEAN pada Kementerian Luar Negerinya. Misi Korea untuk ASEAN juga bertambah besar tiga kali lipat.

Dalam workshop terbatas bagi jurnalis peserta Indonesian Next Generation Journalist on Korea di Jakarta, Jumat (9/4/2021), anggota Komite Presidensial untuk Kebijakan Baru ke Arah Selatan (Presidential Committee on New Southern Policy) Prof Wongi Choe, memaparkan, NSP memiliki tiga elemen inti kebijakan, yakni people (orang), prosperity (kemakmuran), dan peace (perdamaian).

Motivasi penting di balik NSP adalah keinginan Seoul untuk mendiversifikasi kedekatan hubungan ekonomi dan diplomasinya menuju otonomi strategis yang lebih besar. Diversifikasi, penataan kembali (realignment), dan penyeimbangan kembali (rebalancing) menjadi kunci NSP.

Seoul mengandalkan kerja sama pembangunan sebagai sarana untuk mempererat ikatannya dengan ASEAN di bawah kebijakan NSP. Itu sebabnya, sifat alamiah NSP sebagai inisiatif baru di kawasan berbeda dengan inisiatif dari negara-negara besar yang berorientasi pada keamanan. Jelas bahwa aspek orang dan kemakmuran mendapat porsi yang lebih besar daripada perdamaian.

Menurut Choe, Seoul merasa bahwa kekuatan nasionalnya tidak bergantung pada kekuatan tradisionalnya yang keras (hard power), tetapi pada pengalaman keberhasilannya dalam pembangunan di berbagai bidang, seperti industri teknologi, dan kekuatan lunaknya (soft power) dalam pengaruh budaya. Itu sebabnya, kepemimpinan dan pengaruh Seoul sebagai kekuatan menengah bukan pada militer dan bidang keamanan, melainkan di bidang yang Seoul rasa nyaman dan kompetitif.

Inisiatif Korea Selatan melalui NSP telah diterima secara antusias oleh ASEAN juga India. Secara umum, arah kebijakan ini pun sudah memperlihatkan performa yang positif dalam tiga tahun terakhir. Interaksi diplomatik dan kerja sama ekonomi meningkat ke level yang belum pernah dicapai sebelum era NSP.

Contohnya, negara-negara ASEAN naik kelas menjadi mitra dagang terbesar kedua Korea Selatan pada 2019. Perdagangan dua arah Korea Selatan-ASEAN pun mencapai 153,7 miliar dollar AS atau naik 29 persen dari 119,3 miliar dollar AS pada 2016. Perdagangan dengan India pun mencapai level tertingginya pada 2019 menjadikan negara Asia Selatan ini sebagai mitra dagang terbesar Korea Selatan.

Pada bidang diplomasi, hanya dalam tiga tahun sejak 2017, Presiden Moon menyelesaikan total 27 pertemuan puncak resmi dengan pemimpin negara-negara target NSP. Ini menunjukkan menguatnya aktivisme diplomasi di bawah NSP.

Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nanto Sriyanto, dalam seminar daring ”ASEAN-Korea Cooperation Upgrade: Focusing on the New Southern Policy of ROK”, pemilihan perdamaian—bukan keamana— sebagai salah satu inti kebijakan NSP menunjukkan bahwa Korea Selatan lebih memilih untuk membangun tata kawasan dan semangat multilateralisme dibandingkan dengan kerja sama bilateral yang menjadi strategi utama kekuatan dunia di kawasan.

Langkah Korea Selatan ini merupakan terobosan untuk menemukan ”narasi bersama” dengan negara-negara yang sepaham yang mayoritas negara kecil dan negara kekuatan menengah.

Pada saat yang sama, ketika negara-negara besar memajukan narasinya di kawasan, ASEAN mengumumkan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) yang mengedepankan prinsip ”sentralitas ASEAN, terbuka, inklusif, transparan, dan penghormatan terhadap hukum internasional”. Ini artinya ada semangat multilateralisme dalam AOIP seperti juga NSP.

Choe berpendapat, terlepas dari hasil positif yang terlihat, bagaimanapun, dalam mengimplementasikan NSP keinginan dan kemampuan Seoul untuk meningkatkan otonomi strategisnya dan untuk mengejar ambisinya sebagai kekuatan menengah yang turut membentuk lingkungan keamanan kawasan telah dibatasi oleh faktor geopolitik dan desain NSP itu sendiri sejak awal yang tidak memasukkan aspek keamanan.

Hasil survei dari ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura menjadi buktinya. Mayoritas negara ASEAN menyambut Korea Selatan sebagai mitra kerja sama pembangunan, tetapi sedikit yang mempersepsikan Korea Selatan sebagai mitra strategis yang bisa diandalkan.

Lebih jauh lagi, di antara tujuh mitra ASEAN ternyata Korea Selatan merupakan mitra yang ”paling tidak disukai dan dipercaya” dalam ketidakpastian rivalitas AS-China.

Selama Seoul menutup mata dan menjaga jarak dari diskursus dan tindakan multilateralisme dalam isu strategis di kawasan seperti, misalnya sikap China di Laut China Selatan, akan sulit bagi Seoul untuk diakui sebagai mitra strategis di Asia Tenggara sejauh apa pun kiprahnya dalam kerja sama pembangunan di kawasan itu.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/04/15/tantangan-ambisi-seoul-di-asia-tenggara/?status_register=register&status_login=login