• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

June 8, 2021

2021
Moon Jae-In – Prabowo Mesra Banget Di Seoul

Muhammad Rusmadi – Chief Executive Editor, Rakyat Merdeka


Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Presiden Republik Korea Selatan Moo Jae-In menghadiri Roll-Out Ceremony dari prototipe jet tempur generasi selanjutnya KF-X/IF-X di Seoul, Korea Selatan,kemarin. (Foto : Dok. Kemhan).

Rakyat Merdeka – Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) berkomitmen untuk terus mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan antar dua negara, juga di kawasan dan di internasional.

Komitmen itu kembali diu­capkan saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, melaksanakan kunjungan kehormatan (courtesy call) kepada Presiden Republic of Korea Moon Jae-In dan Perdana Menteri Republik Korea Chung Sye-Kyun, di Kantor Perdana Menteri RoK, Seoul, Korea Selatan, Jumat (9/4/2021).

Tujuan kunjungan kerja Prabowo ke Korea Selatan kali ini dalam rangkaian acara The Roll-Out Ceremony dari prototipe jet tempur generasi selanjutnya KF-X/IF-X.

Dalam Roll-Out Ceremony KF-X/IF-X ini, Presiden Jokowi turut memberikan sambutannya secara virtual. Jokowi menyam­paikan ucapan selamat atas peluncuran pertama prototipe pesawat tempur KFX.

Jokowi menuturkan, sejak 2010, Indonesia dan Republik Korea telah menandatangani MoU tentang kerjasama pengem­bangan pesawat tempur KFX dan IFX untuk memenuhi kebutuhan alutsista berupa pesawat tempur kedua negara dalam waktu 30 hingga 40 tahun ke depan.

Karena itu, Jokowi mengu­capkan selamat kepada seluruh entitas di Republik Korea atas peluncuran pertama prototipe pesawat tempur KFX. Jokowi berharap prototipe pertama ini dapat menjadi “landmark mo­ment” bagi negara Korea secara umum, dan secara khusus bagi industri penerbangan Korea.

Jokowi juga mengharapkan kesuksesan peluncuran pertama prototipe KFX ini agar da­pat terus memberikan manfaat positif untuk kerjasama per­tahanan antara Indonesia dan Korea.

Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Chung, Prabowo menyampaikan apresiasi atas hubungan persahabatan antara Indonesia dan Korsel di bawah Kemitraan Strategis Khusus. Dia juga menyatakan, menyadari pentingnya Korsel sebagai mitra Indonesia dalam kontribusinya untuk perdamaian dan kesejahteraan pada level nasional, regional dan Internasional.

Kementerian Pertahanan RI dan instansi terkait di bidang pertahanan selanjutnya berupaya membangun kemitraan dengan industri pertahanan luar negeri yang dapat memberikan pengaruh positif bagi perkembangan industri pertahanan Indonesia, termasuk di antaranya Korsel.

Dalam kesempatan tersebut, Prabowo juga memberi selamat kepada pemerintah Korsel yang telah mencapai kemampuan memproduksi prototipe jet tem­pur generasi selanjutnya. Dia juga mengharapkan dukungan PM Chung dalam upaya penguatan hubungan dan kerjasama indus­tri pertahanan kedua negara.

Saat ini, hubungan pertahanan bilateral antara Indonesia dan Korsel telah berjalan dengan baik di bawah payung kerja sama pertahanan dalam bentuk “Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Korea on Cooperation in the Field of Defense”. Kesepakatan ini telah ditandatangani di Jakarta pada 12 Oktober 2013 oleh kedua Menteri Pertahanan.

Beberapa kerja sama per­tahanan/militer yang sedang berlangsung antara kedua negara termasuk edukasi, kunjungan pejabat, forum dialog dan indus­tri pertahanan.

Hubungan bilateral kedua negara bahkan juga terus kian dipererat, tak hanya dalam bentuk G to G, tapi juga antar lembaga. Salah satunya, antara Korea Foundation (KF) Jakarta dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

Dikutip dari laman resminya https://www.kf.or.kr, Korea Foundation (KF) adalah yayasan yang didirikan untuk mempromosikan kesadaran dan pemahaman yang tepat tentang Korea. Juga, untuk meningkatkan niat baik dan persahabatan di seluruh komunitas internasional melalui beragam kegiatan pertukaran internasional.

Pada 2 Oktober 2019, dikutip dari laman http://world.kbs.co.kr, KF secara resmi membuka kantor cabangnya di Jakarta. Kantor cabang ini berperan sebagai pusat urusan diplomatik umum terhadap sejumlah negara, yang merupakan bagian ‘Kebijakan Baru ke Arah Selatan’ yang didorong oleh Pemerintah Korea Selatan.

Kantor cabang Jakarta ini merupakan kantor cabang KF yang ke-9, setelah Jerman, Rusia, Amerika Serikat, Vietnam, Jepang, China, dan lainnya.

Pihak KF dalam acara pembukaan kantor cabang Jakarta menyatakan, Indonesia merupakan mitra Korea Selatan yang berpotensi dan kantor cabang Jakarta akan mengambil peran sebagai penggerak pertumbuhan di bidang urusan diplomatik umum.

Sementara FPCI, juga sebagaimana dijelaskan pada laman resminya, adalah lembaga yang didirikan untuk membahas dan memperkenalkan isu-isu hubungan internasional kepada banyak pihak terkait di Indonesia, seperti diplomat, duta besar, pejabat pemerintah, akademisi, peneliti, bisnis, media, dosen, think tank, mahasiswa hingga media.

Didirikan pada 2014 oleh Dr. Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat –periode Agustus 2010 hingga 17 September 2013– dan Wakil Menteri Luar Negeri sejak Juli hingga Oktober 2014), FPCI dibentuk untuk mengembangkan internasionalisme Indonesia, agar lebih mengakar di seluruh nusantara dan memproyeksikan dirinya ke seluruh dunia.

Salah satu bentuk kerjasama antara Korea Foundation (KF) Jakarta dan FPCI adalah diluncurkannya program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea pada 2021.

Program ini, sebagaimana dijelaskan di https://www.indonesia-koreajournalist.net, merupakan wadah bagi para jurnalis profesional Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea.

Setiap tahun, program ini akan mempertemukan 10 jurnalis terpilih untuk menjalani program peningkatan kapasitas. Wartawan yang berpartisipasi ini mengikuti serangkaian lokakarya di Jakarta, dan berkesempatan berdialog intensif dengan para akademisi, pembuat kebijakan, dan praktisi Indonesia dan Korea Selatan.

Program ini juga memungkinkan para jurnalis berkunjungan selama sepekan ke Korea Selatan. Selama program, jurnalis didorong memasuki wacana publik melalui publikasi analisis artikel. Tujuannya, untuk meningkatkan pemahaman tentang Korea secara terukur di kalangan masyarakat Indonesia, dengan memperkaya diskusi tentang tema-tema Korea dan hubungan Indonesia-Korea ke dalam wacana publik.

Pendiri dan Ketua FPCI Dr Dino Patti Djalal, dikutip dari lama https://www.indonesia-koreajournalist.net/ mengaku senang, karena dapat membangun kemitraan antara FPCI dan Korea Foundation. Terutama dalam mengembangkan jaringan jurnalis Indonesia yang akan berfokus pada isu-isu Korea dan hubungan Indonesia-Korea.

Terlebih, ujarnya, pandemi Covid-19 telah mempercepat multipolaritas tatanan dunia, yang telah memberikan dorongan yang lebih besar bagi kekuatan menengah seperti Indonesia dan Korea Selatan untuk lebih berperan aktif dalam urusan internasional.

“Indonesia dan Korea Selatan kini terikat oleh kemitraan strategis khusus. Dapat dipastikan bahwa kedua negara akan semakin dekat ke depan melalui interaksi diplomatik, ekonomi, sosial dan budaya yang lebih kuat,” tegas salah satu peserta Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat pada September 2013 ini.

Lagi pula, lanjutnya, tidak ada beban politik atau sejarah antara Indonesia dan Korea Selatan.

Di saat kemitraan KF Jakarta-FPCI tumbuh, dan sebagai sesama negara demokrasi, jelas doktor bidang Hubungan Internasional jebolan London School of Economics and Political Science itu lagi, media memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan kebijakan di kedua sisi.

“Karena itu, penting untuk memiliki kumpulan jurnalis Indonesia yang berdedikasi yang memahami isu-isu Korea, dan yang memahami visi, strategi, dan tantangan Korea Selatan. Kekuatan pena mereka tentu akan memperkaya konteks serta isi hubungan Korea-Indonesia dalam segala dimensinya,” pungkas putra diplomat Indonesia ternama dan ahli hukum laut internasional, Hasyim Djalal ini.

Gelombang pertama program ini digelar sejak Maret hingga Desember 2021, yang secara umum membahas tema “Kerjasama Indonesia-Korea Selatan di Panggung Global” dan telah menyelesaikan enam lokakarya.

Lokakarya yang digelar secara daring dan luring dari Bengkel Diplomasi, (Sekretariat FPCI) Jakarta ini diikuti oleh 10 peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, yakni Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka/RM.id).

Kemudian Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com).


Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/71482/pamerin-senjata-tempur-baru-moon-jaeinprabowo-mesra-banget-di-seoul

2021
Tantangan Ambisi Seoul di Asia Tenggara

Adhitya Ramadhan – Senior Journalist, Kompas


Empat kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia selalu menjadi prioritas hubungan luar negeri Korea Selatan. Pengaruh empat negara itu yang sangat besar membuat lebih dari 80 persen sumber daya diplomasi Korea Selatan diarahkan pada empat raksasa dunia itu.

Ketika menaruh fokus politik luar negerinya yang besar di empat negara itu, di saat yang sama Korea Selatan juga sebenarnya berada dalam posisi yang serba sulit terlebih di tengah rivalitas AS-China dan dinamika yang berkembang di Semenanjung Korea. Korea Selatan merupakan mitra lama AS di Asia, tetapi secara perdagangan sangat bergantung pada China.

Pada saat yang sama, Korea Selatan juga memiliki hubungan penting dengan negara-negara lain, seperti negara-negara anggota ASEAN dan India di Asia Tengah. Meski menjadi negara atau blok lapis kedua dalam politik luar negeri Korea Selatan, ASEAN dan India memiliki nilai strategis bagi Korea Selatan di kawasan.

Bermodalkan kepercayaan publik yang tinggi, pada 2017, Presiden Moon Jae-in yang merupakan bagian kecil The Candlelight Revolution di negaranya pun mulai ”menoleh ke Selatan” melalui inisiatif New Southern Policy (NSP). Kebijakan ini memandang ASEAN dan India sebagai mitra strategis Korea Selatan. Pada 2020, Korea Selatan pun mengeluarkan New Southern Policy Plus untuk memperluas area kerja samanya.

Untuk mendukung NSP, untuk pertama kalinya dalam sejarah, secara institusional Pemerintah Korea Selatan membentuk Biro ASEAN pada Kementerian Luar Negerinya. Misi Korea untuk ASEAN juga bertambah besar tiga kali lipat.

Dalam workshop terbatas bagi jurnalis peserta Indonesian Next Generation Journalist on Korea di Jakarta, Jumat (9/4/2021), anggota Komite Presidensial untuk Kebijakan Baru ke Arah Selatan (Presidential Committee on New Southern Policy) Prof Wongi Choe, memaparkan, NSP memiliki tiga elemen inti kebijakan, yakni people (orang), prosperity (kemakmuran), dan peace (perdamaian).

Motivasi penting di balik NSP adalah keinginan Seoul untuk mendiversifikasi kedekatan hubungan ekonomi dan diplomasinya menuju otonomi strategis yang lebih besar. Diversifikasi, penataan kembali (realignment), dan penyeimbangan kembali (rebalancing) menjadi kunci NSP.

Seoul mengandalkan kerja sama pembangunan sebagai sarana untuk mempererat ikatannya dengan ASEAN di bawah kebijakan NSP. Itu sebabnya, sifat alamiah NSP sebagai inisiatif baru di kawasan berbeda dengan inisiatif dari negara-negara besar yang berorientasi pada keamanan. Jelas bahwa aspek orang dan kemakmuran mendapat porsi yang lebih besar daripada perdamaian.

Menurut Choe, Seoul merasa bahwa kekuatan nasionalnya tidak bergantung pada kekuatan tradisionalnya yang keras (hard power), tetapi pada pengalaman keberhasilannya dalam pembangunan di berbagai bidang, seperti industri teknologi, dan kekuatan lunaknya (soft power) dalam pengaruh budaya. Itu sebabnya, kepemimpinan dan pengaruh Seoul sebagai kekuatan menengah bukan pada militer dan bidang keamanan, melainkan di bidang yang Seoul rasa nyaman dan kompetitif.

Inisiatif Korea Selatan melalui NSP telah diterima secara antusias oleh ASEAN juga India. Secara umum, arah kebijakan ini pun sudah memperlihatkan performa yang positif dalam tiga tahun terakhir. Interaksi diplomatik dan kerja sama ekonomi meningkat ke level yang belum pernah dicapai sebelum era NSP.

Contohnya, negara-negara ASEAN naik kelas menjadi mitra dagang terbesar kedua Korea Selatan pada 2019. Perdagangan dua arah Korea Selatan-ASEAN pun mencapai 153,7 miliar dollar AS atau naik 29 persen dari 119,3 miliar dollar AS pada 2016. Perdagangan dengan India pun mencapai level tertingginya pada 2019 menjadikan negara Asia Selatan ini sebagai mitra dagang terbesar Korea Selatan.

Pada bidang diplomasi, hanya dalam tiga tahun sejak 2017, Presiden Moon menyelesaikan total 27 pertemuan puncak resmi dengan pemimpin negara-negara target NSP. Ini menunjukkan menguatnya aktivisme diplomasi di bawah NSP.

Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nanto Sriyanto, dalam seminar daring ”ASEAN-Korea Cooperation Upgrade: Focusing on the New Southern Policy of ROK”, pemilihan perdamaian—bukan keamana— sebagai salah satu inti kebijakan NSP menunjukkan bahwa Korea Selatan lebih memilih untuk membangun tata kawasan dan semangat multilateralisme dibandingkan dengan kerja sama bilateral yang menjadi strategi utama kekuatan dunia di kawasan.

Langkah Korea Selatan ini merupakan terobosan untuk menemukan ”narasi bersama” dengan negara-negara yang sepaham yang mayoritas negara kecil dan negara kekuatan menengah.

Pada saat yang sama, ketika negara-negara besar memajukan narasinya di kawasan, ASEAN mengumumkan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) yang mengedepankan prinsip ”sentralitas ASEAN, terbuka, inklusif, transparan, dan penghormatan terhadap hukum internasional”. Ini artinya ada semangat multilateralisme dalam AOIP seperti juga NSP.

Choe berpendapat, terlepas dari hasil positif yang terlihat, bagaimanapun, dalam mengimplementasikan NSP keinginan dan kemampuan Seoul untuk meningkatkan otonomi strategisnya dan untuk mengejar ambisinya sebagai kekuatan menengah yang turut membentuk lingkungan keamanan kawasan telah dibatasi oleh faktor geopolitik dan desain NSP itu sendiri sejak awal yang tidak memasukkan aspek keamanan.

Hasil survei dari ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura menjadi buktinya. Mayoritas negara ASEAN menyambut Korea Selatan sebagai mitra kerja sama pembangunan, tetapi sedikit yang mempersepsikan Korea Selatan sebagai mitra strategis yang bisa diandalkan.

Lebih jauh lagi, di antara tujuh mitra ASEAN ternyata Korea Selatan merupakan mitra yang ”paling tidak disukai dan dipercaya” dalam ketidakpastian rivalitas AS-China.

Selama Seoul menutup mata dan menjaga jarak dari diskursus dan tindakan multilateralisme dalam isu strategis di kawasan seperti, misalnya sikap China di Laut China Selatan, akan sulit bagi Seoul untuk diakui sebagai mitra strategis di Asia Tenggara sejauh apa pun kiprahnya dalam kerja sama pembangunan di kawasan itu.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/04/15/tantangan-ambisi-seoul-di-asia-tenggara/?status_register=register&status_login=login

2021
Korea Selatan Ingin Dikenal Bukan Hanya dari K-Pop dan K-Drama

Suci Sekarwati – Senior Reporter, Tempo


Para peserta The Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea 2021 bersama staf FPCI dan Endy Bayuni pemimpin redaksi The Jakarta Post. Sumber: dokumen FPCI

TEMPO.CO, Jakarta – Korea Selatan ingin dikenal bukan sekadar lewat K-Pop atau K-drama, namun juga dari aspek politik dan ekonomi. Sedangkan Indonesia, juga ingin lebih dikenal oleh masyarakat Korea Selatan mengingat Indonesia belum sepopuler Korea Selatan di mata masyarakat Indonesia.

Beranjak dari kegelisahan itu, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korean Foundation menyelenggarakan program The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2021. Lewat program ini, total 10 wartawan Indonesia yang terpilih bisa melakukan peliputan ke Korea Selatan untuk melihat sisi lain Negeri Gingseng selain kepopuleran K-Pop dan K-drama.    

“Belum ada yang menulis di kolom opini soal perkembangan di Semenanjung Korea, baik itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada yang tahu soal ekonomi Korea Selatan, tetapi tak banyak yang tahu soal politik negara itu,” kata Endy Bayuni, mantan Pemimpin Redaksi surat kabar Jakarta Post, dalam acara pembukaan program The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea gelombang pertama, Jumat, 9 April 2021 di Jakarta.

Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat dan Pendiri serta Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Sumber: dokumen FPCI

Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Park Taesung berharap program The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2021 bisa menawarkan unique pattern pada wartawan Indonesia mengingat hubungan kedua negara yang sangat penting, khususnya di bidang ekonomi.

Bicara soal ekonomi, Korea Selatan adalah investor terbesar keempat di Indonesia. Kedua negara sampai sekarang pun masih terus memperkuat hubungan.

“Banyak media di Indonesia fokus (pada isu) K-pop dan drama, diharapkan pemberitaan media soal Korea Selatan bisa lebih bervariatif,” kata Duta Besar Park.

Sedangkan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi sangat ingin wartawan Indonesia memiliki pemahaman yang luas mengenai apa saja yang bisa diraih di antara kedua negara yang berbeda ini.

“Banyak jurnalis Indonesia bertanya mengapa Indonesia penting bagi Korea Selatan. Saya tanya balik, kenapa Korea Selatan penting bagi Indonesia, semoga jurnalis yang terpilih (dalam program ini) bisa menjawab ini,” kata Duta Besar Umar.

Hubungan bilateral Indonesia – Korea Selatan dimulai pada 1973. Pada 18 Desember 2020, hubungan bilateral Indonesia – Korea Selatan diikat dalam perjanjian Indonesia – Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA). Lewat kesepakatan ini, diharapkan Indonesia akan semakin menarik bagi investor dari Korea Selatan.

Sudah ada puluhan anak perusahaan Korea Selatan di Indonesia. Rencananya, Hyundai akan masuk ke Indonesia di saat Mazda asal Jepang angkat kaki dari Indonesia. Sedangkan di Korea Selatan, ada sekitar 3 ribu – 4 ribu TKI yang bekerja di sana.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1452287/korea-selatan-ingin-dikenal-bukan-hanya-dari-k-pop-dan-k-drama/full&view=ok

2021
Hyundai, Naver, dan New Southern Policy Korea Selatan

Ana Noviani – News editor/ Content Manager, Bisnis Indonesia


Korea Selatan – Istimewa

Bisnis, JAKARTA – Berkat PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, Korea Selatan menduduki posisi ketiga terbesar dalam aliran penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia pada kuartal I/2021. Realisasi itu tercapai di tengah implementasi New Southern Policy yang diinisiasi Presiden Korsel Moon Jae-in.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat PMA yang direalisasikan pada 3 bulan pertama 2021 mencapai Rp111,7 triliun. Secara tahunan, PMA tumbuh 13,97% dari capaian Rp98 triliun pada kuartal I/2020.

PMA terbesar berasal dari Singapura senilai US$2,6 miliar. Posisi kedua ditempati oleh China dengan realisasi PMA sebesar US$1 miliar.

Sementara itu, Korea Selatan menjadi negara dengan aliran PMA terbesar ketiga sebesar US$851,1 juta. Disusul, Hong Kong dan Swiss dengan realisasi PMA masing-masing US$800 juta dan US$500 juta sepanjang Januari-Maret 2021.

Bahkan, Korea Selatan dan Swiss mengungguli Amerika Serikat yang ada di urutan keenam dengan nilai PMA US$447,1 juta dan Jepang di posisi selanjutnya dengan PMA sebesar US$322,7 juta.

Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi merangkap Kepala BKPM, menuturkan Korea Selatan biasanya menempati posisi 5 atau 6 dalam daftar negara asal PMA terbesar ke Indonesia.

“Korea Selatan ini sekarang menggeser Hong Kong. Ini salah satu di antaranya adalah pembangunan pabrik Hyundai,” ujarnya dalam konferensi pers realisasi investasi kuartal I/2021, Senin (26/4/2021).

Apabila ditilik lebih dalam, investasi asal Korea Selatan pada kuartal I/2021 didominasi oleh lima sektor utama. Sektor tersebut, yakni industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain senilai US$526,2 juta, serta sektor listrik, gas, dan air US$84,4 juta.

Selain itu, sektor industri tekstil US$71,4 juta, industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya US$65,9 juta, serta industri barang dari kulit dan alas kaki US$51,5 juta.

Bahlil menambahkan PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia berencana untuk mengucurkan investasi senilai total US$1,55 miliar untuk membangun hub manufaktur pertama di Asia Tenggara. Dengan asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS, nilai investasi Hyundai itu mencapai sekitar Rp22,47 triliun.

Merujuk data BKPM, lanjut Bahlil, Hyundai sudah merealisasikan investasi sekitar Rp13 triliun-Rp14 triliun sejak memulai proyek tersebut pada 2019. Nantinya, Hyundai juga mengeksplorasi produksi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kelas dunia di fasilitas produksi di Indonesia.

“Ini menunjukkan investasi perusahaan Korea Selatan berjalan dengan baik. Pada Maret atau April 2022 sudah mulai produksi,” imbuh mantan Ketua Umum Kadin Indonesia itu.

Dalam melayani investasi, Bahlil menegaskan Indonesia tidak membeda-bedakan asal negara PMA. Alasannya, Indonesia menganut asas politik ekonomi bebas aktif sehingga semua negara punya kesempatan yang sama.

Menurutnya, geliat PMA yang positif pada awal tahun ini mencerminkan kepercayaan investor global terhadap Indonesia.

“Secara kebetulan, mungkin Korea Selatan dan Swiss daya dorongnya paten punya. Bukan berarti yang selama ini di lima besar itu-itu saja, ini dinamis,” pungkasnya.

Selain Hyundai, tentu sederet nama investor lain asal Korea Selatan yang sudah mengucurkan modal ke Indonesia. Dalam 2 tahun terakhir, total proyek PMA asal Negeri Ginseng tercatat sebanyak 2.952 proyek pada 2019 dan 5.468 proyek pada 2020.

Di tengah pandemi Covid-19 pada tahun lalu, investor Korea Selatan justru lebih gencar mengalirkan PMA. Nilainya pun naik signifikan 71,96% dari US$1,07 miliar pada 2019 menjadi US$1,84 miliar pada tahun lalu.

Investasi Portofolio

Aliran modal investor asal Korea Selatan tidak hanya dalam bentuk PMA. Portofolio investment juga mengalir cukup deras ke perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Teranyar, perusahaan platform daring raksasa dari Korea Selatan, Naver Corp. menanamkan modal US$150 juta atau sekitar Rp2,17 triliun ke dalam PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK).

Masuknya Naver sebagai investor anyar EMTK dilakukan lewat pembelian saham baru yang diterbitkan lewat skema private placement pada 30 Maret 2021.

“Melalui kemitraan strategis dengan Emtek, kami akan menciptakan sinergi di berbagai bidang. Bersama dedngan mitra kami di Asia Tenggara, Naver akan membawa model bisnis Asia ke panggung global,” kata Kepala Pengembangan Perusahaan dan Investasi Naver Lee Jung-an dalam keterangan resminya.

Sebelum menggenggam saham EMTK, salah satu sumber Bloomberg pada Januari lalu menyebutkan bahwa Naver Corp. dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund selangkah lagi menandatangani kesepakatan untuk pendanaan tambahan ke PT Bukalapak.com. Unikorn e-commerce Indonesia itu juga terafiliasi dengan EMTK.

Menurut Kepala Divisi Keuangan Naver Corp. Park Sang-jin, Naver juga sedang mencari lebih banyak peluang untuk berinvestasi dan berekspansi di luar Korea Selatan. Negara yang dituju, antara lain Jepang, Eropa, Asia Tenggara, dan Taiwan.

Selain induk usaha Line itu, modal jumbo dialirkan oleh bank asal Korea Selatan KB Kookmin Bank ke PT Bank Bukopin Tbk. (BBKP) pada akhir 2020. Tak tanggung-tanggung, dana senilai US$1,07 miliar atau sekitar Rp15,52 triliun disuntik KB Kookmin demi mengambil posisi sebagai pemegang saham pengendali BBKP dengan porsi kepemilikan saham sebesar 67%.

KB Kookmin Bank merupakan salah satu bank komersial dengan aset terbesar di Korea Selatan. Hingga akhir 2020, total asetnya mencapai 438,4 triliun won atau setara dengan Rp5.699,2 triliun.

Berdasarkan catatan Bisnis, Presiden Direktur KB Kookmin Bank Heo In mengatakan Bank KB Bukopin ditargetkan masuk 10 besar bank ritel di Indonesia. Untuk itu, BBKP bakal mulai melebarkan sayapnya dengan menambahkan layanan perbankan, seperti manajemen risiko dan keuangan digital yang bertujuan untuk merancang masa depan keuangan digital dan memperkuat kepercayaan nasabah setianya di Indonesia.

Layanan tersebut di antaranya kerja sama antar afiliasi, seperti KB Securities, KB Insurance, KB Kookmin Card dan KB Capital yang sebelumnya telah masuk ke pasar Asia Tenggara lebih dulu.

New Southern Policy

Aliran investasi yang makin agresif dari perusahaan asal Korea Selatan ke Indonesia terjadi di tengah implementasi kebijakan New Southern Policy (NSP) Korea Selatan.

Sejak November 2017, Pemerintah Korea Selatan yang dipimpin Presiden Moon Jae-in meluncurkan inisiatif The New Southern Policy (NSP). Kebijakan luar negeri itu membuka babak baru relasi Korea Selatan dengan negara-negara Asean dan India.

Head of The Center for Asean-India in Korea National Diplomatic Academy (KNDA) Choe Wongi menilai NSP merepresentasikan ambisi middle power Korea Selatan untuk mencari otonomi strategis yang lebih besar di kancah global.

“Seoul terus mendorong diversifikasi relasi ekonomi ke luar Korea Selatan, melakukan reorientasi diplomatik ke Asia Tenggara dan sekitaranya dan mempromosikan kerja sama regional yang aktif,” tuturnya, baru-baru ini.

Choe menyebut NSP sebagai jurus Korea Selatan untuk melakukan diversifikasi dan mengurangi ketergantungan terhadap empat negara superpower, yaitu Amerika Selatan, Jepang, China, dan Rusia. Apalagi, China berkontribusi sekitar 27% terhadap total perdagangan internasional Negeri Kimchi itu.

NSP memiliki tiga kebijakan kunci yang terdiri atas diversifikasi ekonomi, keseimbangan diplomatik, dan kooperasi regional. Kebijakan kunci itu mencakup pilar pembangunan manusia, kesejahteraan, dan perdamaian.

“Asean merupakan regional yang sangat dinamis dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan potensi yang besar untuk berkembang. NSP membuka jalan bagi Korea Selatan untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS dan China yang sedang berselisih,” imbuhnya.

Choe mengakui realisasi investasi perusahaan Korea Selatan di luar negeri merupakan keputusan bisnis. Namun, negara-negara di Asean mulai dilirik dalam konteks relokasi usaha.

Dia mencontohkan ketegangan AS-China pada 2019 dan pandemi Covid-19 yang bermula di Negeri Panda membuat sejumlah perusahaan Korea Selatan melakukan diversifikasi rantai pasok ke Asean. Menurutnya, negara Asean yang banyak dituju oleh usaha kecil dan menengah (UKM) Korea Selatan untuk relokasi bisnis ialah Vietnam.

Park Tae Sung, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, menyebut Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asean dan mitra kunci dalam NSP.

“Kemitraan Korea Selatan dengan Indonesia terjalin dengan solid lewat perdagangan, investasi, industri, hingga pertukaran budaya dan nilai. Ke depan, ruang kolaborasi masih sangat terbuka untuk meningkatkan relasi kedua negara,” ujarnya.

Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Santo Darmosumarto menyebut NSP membuka pintu kesempatan bagi Indonesia. Salah satunya melalui Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).

Pada 18 Desember 2020, IK-CEPA sudah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto dan Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan Sung Yun-mo. Penandatanganan itu disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.

“IK-CEPA punya level yang lebih tinggi dalam liberalisasi perdagangan dibandingkan dengan AKFTA,” kata Santo.

Menurutnya, IK-CEPA meningkatkan kerja sama dan transparansi di berbagai area untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi. Selain itu, IK-CEPA juga menyediakan kerangka untuk kerja sama bilateral yang lebih komprehensif.

Santo menyebut beberapa sektor yang memiliki potensi investasi besar ialah otomotif, nikel, kimia, farmasi, dan energi terbarukan. Selain itu, area research and development (R&D), program pekerja migran, serta industri keamanan dan pertahanan juga disebut potensial.

Dengan IK-CEPA, imbuhnya, iklim investasi Indonesia akan meningkat, khususnya dalam bidang perlindungan investor dan perlakuan yang tidak diskriminatif.

Realisasi investasi Hyundai, misalnya, dinilai Santo menarik untuk dicermati di tengah keputusan Mazda untuk angkat kaki dari Indonesia. Selain Hyundai, LG Chem juga dikabarkan bakal menggelontorkan investasi jumbo untuk membangun basis produksi ekosistem EV di Indonesia.

Santo menilai minat pelaku usaha Korea Selatan untuk investasi di Indonesia terus meningkat. Hal itu juga sejalan dengan respons positif pemerintah dan pelaku bisnis Korea Selatan terhadap reformasi regulasi di Indonesia yang tertuang dalam omnibus law UU Cipta Kerja.

“Kita harus melihat Korea lebih dari sekadar K-pop dan K-drama dan Korea dapat melihat Indonesia lebih dari sekadar pasar untuk produk-produk mereka.”

Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Central for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan tanpa keputusan bisnis swasta, NSP hanya terbatas pada program kerja sama antarpemerintah Korea Selatan dan Indonesia, seperti integrasi ekonomi dan transformasi digital.

“Yang punya impact itu swasta, ketika dunia usaha Korea Selatan meningkatkan aktivitas di Asean, terutama Indonesia,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis.

Dalam mengambil keputusan investasi dan kolaborasi bisnis, lanjutnya, swasta memiliki horizon waktu jangka panjang. Tak hanya orientasi profit, tetapi juga kepastian rantai pasok, pasar, hingga perizinan dan regulasi.

Sejalan dengan NSP dan IK-CEPA, lanjutnya, Indonesia didorong untuk terus memperbaiki kondisi internal agar makin menarik di mata investor dan pelaku bisnis asal Korea Selatan.


Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20210430/9/1388775/hyundai-naver-dan-new-southern-policy-korea-selatan

2021
South Korea rolls out first KFX jet prototype. Will Indonesia still reap benefits from it?

Dian Septiari – Journalist, Jakarta Post


South Korea unveils the first prototype of the KFX fighter jet it is developing with Indonesia in a rollout ceremony in Sacheon, South Korea on April 9, 2021. When deployed by the South Korean military the aircraft will be known as the KF-21 Boramae.(Yonhap/via Reuters)

Lingering questions remain on the future involvement of Indonesia in its joint development project for the Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX) jet, despite a seemingly successful public rollout of the first prototype that drew the attention of leaders from both sides.

South Korean President Moon Jae-in, Defense Minister Suh Wook and Defense Acquisition Program Administration (DAPA) Minister Kang Eun-ho inaugurated the rollout of the first Korean-made prototype last week after a decade in the making.

The ceremony was attended by Indonesian representatives, most notably Defense Minister Prabowo Subianto, indicating that Indonesia is still fully committed despite uncertainty over the renegotiation process. Joining the ceremony virtually was President Joko “Jokowi” Widodo, who wished its success would further benefit the partnership between the two countries amid the persisting uncertainty.

The joint jet fighter development was initiated in 2010, with the South Korean aircraft manufacturer Korea Aerospace Industries (KAI) having been chosen to helm the project and Indonesia having agreed to contribute 20 percent of the project’s total investment fund. Under this agreement, Indonesia is expected to invest US$1.3 billion in exchange for access to its technology that will allow state-owned aircraft maker PT Dirgantara Indonesia to produce one of six total KFX/IFX prototypes.

But Indonesia has been seeking renegotiations to reduce its share of the development cost to 15 percent since 2018 in order to ease the burden on the state budget. To date, the renegotiation remains unclear.

“We are currently looking for the option that best serves Indonesia’s national interest,” Defense Ministry spokesperson Dahnil Anzar Simanjuntak told The Jakarta Post.

The KFX/IFX 4.5-generation aircraft project is currently the biggest project of the South Korean military with a total development budget of about 8.6 trillion won ($7.6 billion), Korean media outlets report.

Foreign Ministry director for East Asia and Pacific affairs Santo Darmosumarto said that while Prabowo attendance in South Korea was an indication that Indonesia “would like to continue maintaining this particular area of cooperation”, there were problems in the financing on Indonesia’s part and the transfer of technology. He did not reveal the details.

Citing Indonesia as South Korea’s indispensable partner, a professor at the Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Choe Wongi, is optimistic that the payment issue would be settled down the road, considering the two countries’ previous successful experience in defense cooperation.

For instance, the procurement of three South Korean Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) submarines in 2018, which also included a technology transfer agreement allowing state-owned shipbuilder PT PAL Indonesia to domestically assemble one of the three submarines. The submarine, named KRI Alugoro 405, was completed in June 2019, marking a milestone for Indonesia in its dream of empowering the country’s domestic defense industry amid demand for modernization of its primary weaponry system (alutsista).

Defense analyst Curie Maharani of Binus University encouraged Jakarta to continue the KFX/IFX project that would help create similar milestones for Indonesia’s indigenous jet fighters and encourage a positive spillover effect to other manufacturing industries.

“The project must continue under the condition that South Korea accepts the renegotiation terms, which include providing more transparent cooperation and allowing Indonesia to share a lower burden of cost and procurement,” she told the Post, fearing the project might become a forgotten sunk cost.

Indonesia’s renegotiation terms were reasonable enough, she said, partly because there had been “doubt over the output of” the joint development program, which is aimed at building the so-called 4.5-generation jets almost equal to the United States-built Lockheed Martin F-35 Lightning II fifth-generation fighter. South Korea is seen as inexperienced in developing core technologies for the 4.5-generation jets, an example of which is F-16-class fighter’s active electronically scanned array (AESA) technology.

Purchasing proven 4.5-generation fighters like American F-15EX Eagle and French Rafale heavy fighters rather than gambling on the KFX/IFX project would therefore be more favorable to Indonesia, Curie said.

As the sole foreign partner in the program, Indonesia has “the leverage to renegotiate because it is Indonesia’s participation in the joint program that enables South Korea to secure their export markets”, she said.

Reuters reported that Moon said South Korea would have at least 40 of the new jets combat-ready by 2028, and 140 by 2032. “A new era of independent defense has begun,” he said, according to a transcript released by his office.

When deployed by the South Korean military the aircraft will be known as the KF-21 Boramae.


Sumber: https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/22/prabowo-plays-down-report-suggesting-jakarta-wants-to-buy-rafale-jets-from-france.html

2021
Indonesia, South Korea aim for inclusive regional order, refuse to take sides

Dian Septiari – Journalist, Jakarta Post


President Joko ‘Jokowi’ Widodo (third left) meets with South Korean President Moon Jae-In (second right) during a bilateral meeting in Busan, South Korea, on Nov. 25, 2019. During the meeting, Moon appreciates Indonesia’s role on cooperation in the Indo-Pacific region.(Handout/Presidential Press Bureau/Laily Rachev)

Indonesia and South Korea share a similar stance as middle powers in the Indo-Pacific region amid the increasing rivalry between the United States and China by preferring cooperation between all parties, experts and officials have said.

In the past three years, South Korea has sought to diversify its diplomatic engagement beyond its traditional partners through its New Southern Policy, an initiative to increase engagement with countries in Southeast Asia and India.

Indonesia, the largest economy in Southeast Asia, has become one of the East Asian country’s priorities. South Korean President Moon Jae-in was on a state visit to Jakarta in November 2017 when he introduced the initiative.

Three years later, at the 21st ASEAN-Korea Summit, Moon announced that the policy would be upgraded to the New Southern Policy Plus (NSP+). The new initiative aims to strengthen and expand the existing policy and adjust its priorities to the situation caused by the COVID-19 pandemic.

While Seoul is not the first country to increase its engagement with the region, its strategy was predominantly oriented toward development cooperation rather than security, said Choe Wongi, the head of the Center for ASEAN–India Studies of the Korea National Diplomatic Academy (KNDA).

That approach, he added, set South Korea’s regional strategy apart from strategies of other countries. The US’s “free and open Indo-Pacific” (FOIP) approach, for example, was focused on containing China’s influence in the region. Meanwhile, Japan’s FOIP emphasized the need to maintain a rules-based order in the region.

“South Korea and Indonesia share not only common values, democracy and human rights, but also strategic interests in the fact that both do not want to take sides in the great power rivalry,” Choe said at a discussion organized by the Foreign Policy Community of Indonesia on Friday.

South Korea was also among countries supporting the ASEAN Outlook on Indo-Pacific, which was adopted by the bloc in 2019 amid the deepening rivalry between the US and China. The ten-country bloc highlighted the key principles of inclusivity, transparency, openness and cooperation in the outlook, while expressing reluctance to exclude China.

Choe, who was a member of the advisory group of the Presidential Committee on the New Southern Policy, said the initiative was an “economic hedging strategy” as South Korea continued to maintain good and constructive relations with China and a strategic alliance with the US.

The Indonesian Foreign Ministry’s director for East Asia and Pacific affairs, Santo Darmosumarto, said Indonesia and South Korea shared the view that cooperation in the Indo-Pacific should be aimed at ensuring that the region would not become a battleground between more influential countries.

“There’s always a notion that Indonesia and [South] Korea are very different: Korea is an ally of the US […] in terms of security strategy. That is very different from Indonesia with our bebas aktif [independent and active] foreign policy,” Santo said.

“[Despite the differences], I think, together Indonesia and [South] Korea can play a particular role in promoting not only democracy but also regional order based on sharing prosperity and cooperation,” he said.

Indonesia and South Korea are both active in various regional and international groupings, including the East Asia Summit (EAS), ASEAN Regional Forum (ARF), ASEAN and South Korea, G20 and MIKTA.

Both also share a similar stance on not being very vocal on several emerging security issues in the region, such as Hong Kong and Xinjiang.

While Indonesia is known for being more vocal in expressing its concerns on the situation in the South China Sea, another flash point in the US-China rivalry, South Korea is known for pursuing a “silent diplomacy” approach over the South China Sea issue, which would not necessarily work in the country’s favor, Choe said.

“[South] Korea has a huge stake in the freedom of navigation and sea lines of communication, as most of the country’s exports and imports come in through the South China Sea. So, we have a huge stake in the security and stability of the South China Sea,” he said.


Sumber: https://www.thejakartapost.com/paper/2021/04/13/indonesia-south-korea-aim-for-inclusive-regional-order-refuse-to-take-sides.html?utm_campaign=os&utm_source=mobile&utm_medium=android

2021
Korea Selatan Perkuat Hubungan Diplomatik dengan Negara-Negara ASEAN

Laela Zahra – Journalist / Field Coordinator, Metro TV


Kegiatan workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea. (FPCI/Korea Foundation)

Jakarta: Korea Selatan memperkuat hubungan diplomatik dengan negara-negara ASEAN melalui Kebijakan Selatan Baru (The New Southern Policy) yang dirancangnya. Sebagai sesama negara kekuatan menengah dan terletak di benua Asia, Korsel menganggap hubungan baik dengan negara-negara ASEAN perlu diperkuat dalam menjaga perdamaian antarnegara dan juga berbagai sektor penting lainnya.

“Korsel sebagai 10 negara ekonomi terbesar di dunia telah menjalin hubungan dengan ASEAN. Jadi dengan pengenalan NSP (New Southern Policy), kami ingin mengubah bias ini (hubungan Korea dengan negara-negara ASEAN), kami ingin mengubah kebijakan diplomatik Korea yang tidak seimbang,” ujar Kepala ASEAN-India Studi Center di Akademi Diplomatik Nasional Korea Choe Wongi, dalam workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, pekan ini.

“Dengan NSP kami ingin memvariasikan hubungan diplomatik dan ekonomi kami,” sambungnya.

Choe menjelaskan, 80 persen prioritas dan orientasi diplomatik Korsel terfokus pada empat kekuatan negara besar yakni Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Rusia. Padahal sebagai kekuatan menengah, Korea memiliki banyak kepentingan lain dan hubungan penting dengan negara-negara di Asia utamanya negara anggota ASEAN.

Namun Choe melihat hubungan Korsel dengan negara-negara ASEAN sejauh ini masih menjadi sekunder, berjarak dan seperti bias. Melalui kebijakan The New Southern Policy, Korsel ingin memvariasikan hubungan dengan negara-negara ASEAN diantaranya melalui dimensi diplomatik, ekonomi, sosial budaya, kerja sama strategis lainnya.

Indonesia dan Korsel memiliki hubungan bilateral yang baik, salah satunya kerja sama strategis pengadaan kapal selam dan pengembangan pesawat tempur KF-X/IF-X, meskipun Indonesia masih harus renegosiasi dan memperkuat posisinya. Proyek kerja sama ini memiliki modal 8,8 triliun Won atau setara Rp114 triliun dari tahun 2015 sampai 2028.

(WIL)


Sumber: klik disini

2021
Tak Sekedar K-Pop dan Drakor, Ini Strategi Korsel di Indonesia hingga India

Tanti Yulianingsih – Senior Editor / Reporter, Liputan6.com


Ajang Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop pertama, Jumat 9 April 2021 di Jakarta. (Liputan6.com/Tanti Yulianingsih)

Liputan6.com, Jakarta – Korea Selatan memiliki sejarah panjang yang membentang selama 5.000 tahun, namun baru pada Abad ke-20 dunia mengenalnya dalam skala yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Berkat K-pop dan drama Korea atau populer disebut ‘drakor’ di Indonesia. 

Drama-drama seperti Winter Sonata, Dae Jang Geum yang tayang pada tahun 1990-an diyakini menjadi pemula. 

Dan kini, demam Korea atau Korean Wave (Hallyu) melanda Bumi. Dari bahasa, K-pop, K-drama, film, kuliner, wisata, fesyen, dance digemari banyak orang, lintas negara dan budaya. Produk-produk Negeri Ginseng pun laris manis di pasar internasional.

Belakangan, empat piala Oscar 2020 untuk film Parasite, penghargaan Academy Award 2021 di kategori peran pendukung terbaik untuk Yuh-Jung Youn, dan prestasi grup BTS di dunia musik internasional makin memantapkan posisi Korea Selatan di pentas global.

BTS. (Twitter/ bts_bighit)

K-pop juga jadi ‘senjata rahasia’ Korea Selatan untuk menguatkan hubungan dengan negara lain, sembari mempromosikan budayanya. Penampilan grup musik Red Velvet di Korea Utara pada 2018 adalah salah satu contoh dari K-Pop Diplomacy tersebut. 

Namun, Korea Selatan bukan hanya soal K-pop. Strategi diplomasi Seoul sebagai kekuatan menengah (middle power) penting di dunia juga patut disimak. 

Salah satunya terkait New Southern Policy (NSP) atau arah baru kebijakan yang lebih fokus ke selatan, termasuk ke Indonesia.

Diluncurkan Presiden Moon Jae-in pada November 2017, NSP membuka babak baru hubungan Seoul dengan negara-negara ASEAN dan India. 

Kepala Center for ASEAN–India Studies di Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Choe Wongi mengatakan, kebijakan NSP bertujuan menyeimbangkan strategi diplomasi di ASEAN dan India.

“Melampaui batasan-batasan sempit hubungan ekonomi dan diplomatik Seoul, yang sangat bergantung hanya pada negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China,” tutur Choe dalam Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop di Jakarta, Jumat 9 April 2021.

Untuk membuktikan komitmennya terhadap NSP, Presiden Moon Jae-in mengunjungi sepuluh negara ASEAN dalam masa jabatan pertamanya sebagai presiden. Indonesia adalah negara pertama yang ia kunjungi pada tahun 2017. Hal itu menandai pentingnya Indonesia sebagai mitra strategis.

Pada kunjungan tersebut, Presiden Moon Jae-in memberikan kado pernikahan istimewa untuk pasangan putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution. Yakni, video ucapan selamat dari Minho SHINee dan album EXO. 

Kebijakan New Southern Policy (NSP) juga disesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di dunia. Pada KTT Republik Korea-ASEAN ke-21 pada tahun 2020, Presiden Moon Jae-in meluncurkan NSP Plus, dengan memasukkan kerja sama bidang kesehatan dan medis dalam menanggapi pandemi COVID-19.

Tak Mau Terseret Isu AS Vs China

Ilustrasi Korea Selatan (iStock)

Kebijakan NSP memiliki tiga pilar dalam aspek pengembangannya yakni hubungan antar-bangsa (people), kesejahteraan (prosperity), dan perdamaian (peace).

Tiga pilar dalam kebijakan itu, menurut Choe, memberikan penekanan khusus pada upaya peningkatan people-to-people exchange lewat pertukaran budaya,kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan, dan membangun komunitas yang mendukung perdamaian dan keamanan regional.

Di satu sisi, NSP mewakili ambisi Seoul, sebagai kekuatan menengah penting di tengah dunia yang terus berubah, untuk mengambil tanggung jawab dan peran internasional yang lebih besar, yang dianggap sesuai dengan statusnya itu.

Selain itu, NSP juga merefleksikan rasa percaya diri yang tinggi dan keinginan Korea untuk memproyeksikan kepemimpinan dan pengaruhnya sebagai kekuatan menengah di level regional.

Korsel memang berhak percaya diri. Negara tersebut naik kelas secara ekonomi, dengan keberhasilan mengatasi kemiskinan dan kerentanan absolut dalam beberapa dekade. Pada 2008, Seoul bahkan diundang untuk bergabung dalam G20. 

G20 terdiri atas 19 negara dengan perekonomian besar di dunia. Satu anggota lainnya adalah Uni Eropa. 

“Itu membuat banyak orang Korea merasa negerinya akhirnya bergabung di jajaran negara paling kuat dan terkaya di dunia,” kata Choe. Di sisi lain, negara-negara berkembang juga melihat pencapaian Korsel sebagai panutan (role model).

Elemen inti pertama dan terpenting dari NSP adalah diversifikasi ekonomi. Tujuannya, untuk menyelaraskan kembali dan memperluas portofolio ekonomi Korsel serta memperkuat hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara dan India yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat.

Motivasi yang mendasari itu adalah untuk mengamankan pasar baru dan sumber baru bagi pertumbuhan ekonomi Korea.

Tingkat pertumbuhan PDB Korsel sejak 2010 ada di kisaran 2-3 persen per tahun. Perekonomian domestik kurang dinamis dan potensi pertumbuhan dibebani dengan populasi yang menua dan tingkat pengangguran yang tinggi terutama di kalangan generasi muda.

Di sisi lain, ASEAN dan India masih memiliki potensi yang sangat besar. Dengan pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun selama dekade terakhir (di luar pandemi) dan mayoritas penduduknya berusia di bawah 30 tahun.

Motivasi lain untuk melakukan diversifikasi ekonomi adalah kebutuhan strategis Seoul untuk mengurangi ketergantungan ekonomi yang besar pada China. Beijing saat ini menyumbang lebih dari 27 persen dari keseluruhan volume perdagangan Korea. 

Ketergantungan menghadirkan tekanan pada Seoul. Misalnya, pasca-Korsel  menyetujui pemasangan anti-rudal balistik Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) yang dioperasikan Amerika Serikat pada 2016, China membalasnya dengan menargetkan sejumlah perusahaan Korea. 

“Pelajaran mahal pun dipetik: ketergantungan besar pada China ternyata menjadi sumber kerentanan,” kata Choe.

Dalam tiga tahun terakhir pelaksanaan NSP, hubungan Seoul kian meningkat dengan India dan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. 

Posisi Dilematis

Penerapan New Southern Policy (NSP) bukannya tanpa hambatan. Salah satunya kendala geopolitik eksternal dan limitasi internal dari kebijakan NSP.

Itu mengapa Seoul tidak menyinggung isu politik dan keamanan yang sensitif, di luar ruang lingkup NSP. Tujuannya, untuk meminimalkan risiko geopolitik, khususnya soal rivalitas AS dan China. 

“Untuk meminimalkan risiko terseret ke dalam pusaran persaingan AS-China, Seoul merancang inisiatif ini sebagai murni agenda kerja sama dengan mengesampingkan isu strategis yang sensitif dari pilar perdamaian NSP,” kata Choe.

Apalagi, Seoul meyakini, kekuatan nasionalnya bukanlah terletak pada hard power, tapi kesuksesan mengembangkan industri berteknologi tinggi, dan soft power dengan pengaruh budaya yang makin kuat.

Untuk menguatkan posisinya sebagi kekuatan menengah melalui NSP, pemerintahan Presiden Moon harus bekerja keras mengatasi tantangan-tantangan yang ada, termasuk menjagasikap netral di tengah persaingan China dan AS.

Lebih dari Sekedar K-pop

Ilustrasi konser Kpop/dok. Unplash Rachel

K-pop atau drakor mungkin jadi hal pertama yang terbesit di pikiran orang Indonesia soal Korea. 

“Ibu rumah tangga dan remaja lebih tahu banyak tentang Korea sepertinya,” ujar Endy M. Bayuni, Senior Editor of The Jakarta Post selaku moderator dalam Indonesian Next Generation Journalist on Korea Workshop. 

Padahal, ada sejumlah hal lain yang digagas oleh pemerintah Korea Selatan. Misalnya, pertukaran pelajar Korea dengan negara Asia Tenggara, salah satunya Indonesia.

“Dalam rangka pertukaran generasi muda antara Korea dan Indonesia, masih banyak yang perlu kita lakukan. Salah satu program yang diprioritaskan adalah meningkatkan program pertukaran bagi generasi muda. Misalnya melalui program beasiswa,” ujar Choe Wongi, yang juga anggota dewan penasihat Presidential Committee on New Southern Policy in Korea. 

Santo Darmosumarto, Direktur Asia Timur dan Pacific Affairs, Kementerian Luar Negeri Indonesia di Korea Selatan sepakat bahwa Korea Selatan itu bukan hanya soal K-Pop dan drakor. 

“Saya pikir baik Indonesia dan Korea Selatan menyadari pentingnya mengembangkan lebih banyak hubungan antar-generasi muda. Bukan hanya hubungan yang terkait dengan K-pop dan K-drama saja,” kata dia.

Penting juga untuk memahami nilai-nilai yang dimiliki kedua negara.  “Tentang ekonomi, lingkungan, pemerintahan dan juga media. Saya lihat akhir-akhir ini jurnalis adalah anak-anak muda. Saya pikir itu bisa jadi kelompok yang mengubah cara pandang orang tentang Korea, untuk melihat Korea di luar K-Pop dan K-drama” imbuh Santo.

Selain itu, Santo pun berharap Indonesia lebih juga dikenal di Korea Selatan. “Semoga orang Korea dapat melihat Indonesia lebih dari sekedar fakta bahwa Indonesia adalah negara tropis,” kata dia.


Sumber: https://www.liputan6.com/global/read/4549880/tak-sekedar-k-pop-dan-drakor-ini-strategi-korsel-di-indonesia-hingga-india

2021
Menengok “New Southern Policy” Korea Selatan

Desca Lidya Natalia – Senior Journalist, Antara


Tangkap layar Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto (kanan), pada upacara peluncuran purwarupa jet tempur Korean Fighter Xperiment, di Korea Selatan, Jumat (9/4). Bendera Indonesia terpampang di bagian bawah kokpit sebagai simbol kerja sama pengembangan dan pembangunan pesawat tempur yang dalam kerja sama itu dinamakan KFX/IFX.

Jakarta (ANTARA) – Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, ikut berdiri dan bertepuk tangan saat menghadiri upacara peluncuran dari purwarupa jet tempur Korean Fighter Xperiment (KFX) di Korea Selatan pada Jumat (9/4).

Prabowo berdiri bersisian dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In, yang didampingi Menteri Pertahanan Korea Selatan, Suh Wook, dan Menteri Defense Acquisition Program Administration (DAPA), Kang Eun-Ho.

Jet tempur pesawat KFX yang dilihat Prabowo itu memiliki panjang 51,3 kaki, panjang sayap 35,2 kaki, tinggi 14.9 kaki, berat maksimum lepas landas (MTOW) 53.200 lb, dengan kecepatan maksimum hingga 1,9 Mach. Pada tayangan video pelunduran itu, terpampang bendera Korea Selatan dan bendera Indonesia di bagian bawah kokpitnya. 

Ini menandakan ikatan kerja sama antara Korea Selatan dan Indonesia, walau purwarupa itu tidak dikatakan secara resmi sebagai KFX/IFX, melainkan KFX saja. IFX merupakan penamaan dari sisi Indonesia jika pesawat tempur yang sangat mirip perawakannya dengan F-22 Lightning II –namun dalam ukuran lebih kecil– itu jadi dibangun dan diserahkan untuk Indonesia. 

Pembuatan pesawat tempur semi siluman itu dikembangkan sejak 2011 dan menghabiskan anggaran sekitar 7,8 miliar dolar AS. Pesawat tempur itu digadang-gadang memiliki kemampuan melebihi pesawat tempur Eurofighter buatan Airbus Defence dan F-18 buatan Amerika Serikat karena memiliki teknologi canggih, termasuk dalam generasi 4,5.

Kedua negara –Indonesia dan Korea Selatan– menargetkan produksi 168 unit pesawat KFX/IFX dengan pembagian yang disesuaikan dengan kontribusi masing-masing 120 unit untuk Korea Selatan (KFX) dan 48 unit untuk Indonesia (IFX).

Untuk pengembangan jet tempur itu, pemerintah Korea Selatan menanggung 60 persen pembiayaan, 20 persen menjadi beban perusahaan Korea Selatan, Korea Aerospace Industries (KAI), sedangkan pemerintah Indonesia membiayai sisanya, yaitu 20 persen.

Sesuai dengan perjanjian pada November 2015 antara pemerintah Indonesia dan KAI, dari 8,8 triliun won (7,9 miliar dolar AS) total nilai program KFX/IFX, Indonesia sepakat menanggung 1,7 triliun won (1,5 miliar dolar AS). Perjanjian itu kemudian berlaku efektif pada 2016. 

Tangkap layar Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto (kanan), pada upacara peluncuran purwarupa jet tempur Korean Fighter Xperiment, di Korea Selatan, Jumat (9/4). Bendera Indonesia terpampang di bagian bawah kokpit sebagai simbol kerja sama pengembangan dan pembangunan pesawat tempur yang dalam kerja sama itu dinamakan KFX/IFX.

Namun program KFX/IFX mulai tersendat manakala pemerintah Indonesia macet membayar kewajiban kerja samanya sejak 2017 karena hingga Juli 2019, Indonesia telah membayar 227,2 miliar won dari total kewajiban 1,7 triliun won dan pada Oktober 2020 masih menunggak 600 miliar won.

Muncul juga keluhan para insinyur PT Dirgantara Indonesia yang dikirimkan ke pabrik KAI di Sacheon karena mereka tidak mendapatkan akses yang luas, termasuk pada teknologi sensitif yang diadopsi KFX/IFX.

Namun hal itu tidak berarti Indonesia mengundurkan diri dari kerja sama itu. Presiden Joko Widodo yang memberikan sambutan secara virtual pada peluncuran KFX itu.

Ia dalam sambutannya mengatakan sejak 2010 Indonesia dan Korea Selatan telah menandatangani nota kesepahaman tentang kerja sama pengembangan pesawat tempur KFX/IFX untuk memenuhi keperluan sistem kesenjataan berupa pesawat tempur kedua negara dalam waktu 30 hingga 40 tahun ke depan.

Ia pun mengucapkan selamat atas peluncuran pertama purwarupa pesawat tempur KFX dan berharap purwarupa tersebut dapat menjadi momentum penanda bagi Korea Selatan.

Selanjutnya dia berharap kesuksesan peluncuran purwarupa KFX itu dapat terus memberikan manfaat positif untuk kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Korsel.

Kepala Pusat ASEAN-India Studies at the Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Choe Wongi ,dalam acara “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” pada Jumat (9/4) mengatakan, Korea Selatan tidak punya kolaborasi pertahanan dengan negara lain, selain dengan Indonesia.

“Jet tempur ini dibangun dengan uang dan teknologi kita sendiri dan Indonesia adalah satu-satunya mitra Korsel di bidang pertahanan. Terkait masalah pembiayaan, saya yakin Indonesia dapat menyelesaikannya,” kata Choe.

Choe menilai Indonesia adalah negara yang penting khususnya di Asia Tenggara sebagai negara dengan populasi terbesar serta menjadi “pemimpin” di ASEAN.

“Terlebih Indonesia dan Korsel tidak punya beban sejarah apapun sehingga dapat meningkatkan hubungan lebih proaktif lagi,” kata Choe.

Seperti Choe, Direktur Direktorat Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri, Santo Darmosumarto, dalam acara yang sama, mengatakan, dalam suatu kesepakatan pasti ada penyesuaian tapi tidak berarti kesepakatan itu akan otomatis bubar bila ada penyesuaian yang dibuat.

“Seperti dalam program KFX/IFX yang diiniasi sejak 2010, fokus utamanya adalah kerja sama dan ketika ada penyesuaian di satu sisi dan lainnya berdasarkan dinamika saat itu tapi tetap kedua negara melanjutkan kerja sama yang telah terjalin,” kata dia.

New Southern Policy
Sesungguhnya di bawah kepemimpinan Presiden Moon Jae-in (2017-sekarang), Korea Selatan menggeser kebijakan luar negerinya untuk “menoleh ke Selatan” dari yang tadinya bertahun-tahun terfokus kepada Amerika Serikat, China, Jepang, Rusia (dan Korea Utara) menjadi ke Asia Tenggara dan India.

Kebijakan Baru ke Arah Selatan (New Southern Policy) secara singkat adalah kebijakan Korea Selatan yang menyasar peningkatan relasi kerja sama dengan negara-negara di Asia Tenggara dan India ke level yang tinggi sebagaimana dinyatakan Presiden Moon Jae-in pada November 2017.

Korea Selatan ingin menyimbangkan kembali hubungan diplomatik dengan negara-negara Asia Tenggara dan India untuk membangun kemitraan dengan “middle power” di semua bidang kebijakan dan terlebih dulu untuk menjadikan negara-negara tersebut sebagai mitra diplomatik prioritas.

Choe mengakui Korea Selatan berada dalam kondisi di tengah-tengah dan merasa tertekan dengan perang dagang serta perselisihan politik antara AS-China.

“Korea Selatan sendiri punya hubungan baik lebih dari 20 tahun dengan China karena masing-masing negara menikmati keuntungan dari hubungan ekonomi tersebut. China menyediakan pekerja murah dalam jumlah besar sehingga banyak perusahaan kecil dan menegah Korsel yang membuka usaha di sana,” kata dia.

Namun tetap menurut Choe, ruang untuk meningkatkan kerja sama ekonomi Korea Selatan dengan negara-negara ASEAN serta India masih luas karena kawasan Asia Tenggara terdiri dari negara-negara yang ekonominya berkembang dan penduduknya berada di usia produktif.

“Sedangkan di Korea Selatan sudah mulai ada penambahan penduduk usia lanjut dan pertumbuhkan lapangan kerja pun rendah jadi Asia tenggara menjadi pilihan. Samsung misalnya memindahkan pabriknya ke Vietnam walau menurut saya adalah kebijakan perusahaan tersebut itu adalah keputusan ‘business to business’ bukan terkait kebijakan negara,” kata dia.

NSP sendiri berfokus pada tiga aspek pengembangan, yakni masyarakat, kesejahteraan, perdamaian (people, prosperity and peace) sehingga tidak menyentuh masalah keamanan.

Untuk menunjukkan bentuk nyata dari NSP, perwakilan Korea Selatan untuk ASEAN diperkuat 18 diplomat. Moon bahkan sudah mengunjungi 10 negara anggota ASEAN.

Peningkatan hubungan ASEAN-Korea Selatan juga bukan hanya dari sisi politik. Statistik perdagangan juga menunjukkan peningkatan yaitu dari di bawah 1 miliar dolar AS pada dekade 1980-an menjadi 159,7 miliar dollar AS pada 2018.

Pada kunjungan kenegaraan Moon ke Indonesia pada November 2017, kedua pemimpin negara sepakat meningkatkan kemitraannya menjadi Kemitraan Strategis Khusus yang merupakan bentuk kerja sama yang pertama kali disepakati di kawasan Asia Tenggara. Moon juga mengumumkan “Visi Republik Korea dan Republik Indonesia untuk Kesejahteraan Bersama”.

Di Indonesia misalnya, Korea Selatan adalah investor terbesar ke-6 dengan total investasi mencapai 7 miliar dolar AS yang direalisasikan melalui 11.261 proyek di Indonesia.

Terlebih kedua negara telah menandantangai Perjanjian Ekonomi Komprehensif atau IK-CEPA (Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement) pada 18 Desember 2020.

Saat itu, Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, berkunjung ke Seoul untuk menandatangani IK-CEPA dengan Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan, Sung Yun-mo, dengan disaksikan Jokowi dan Moon.

Perjanjian dagang itu sempat berlangsung pada 2012 namun terhenti pada 2014 karena kedua negara berganti pemerintahan. Pada Februari 2019, negosiasi kembali diaktifkan dan selanjutnya negosiasi diselesaikan selama 10 bulan.

Berdasarkan kesepakatan IK-CEPA, terdapat sejumlah pengurangan tarif perdagangan barang di IK-CEPA. Korea Selatan akan memangkas hingga 95,54 persen pos tarif dan Indonesia 92,06 persen pos tarif. Dari nilai impor, Korsel akan mengeliminasi tarif untuk 97,3 persen impornya dari Indonesia, sementara Indonesia 94 persen impornya dari Korea Selatan.

Korea Selatan akan membuka pasar bagi Indonesia agar mendatangkan gula mentah, produk petroleum, dan produk petrokimia dalam jangka pendek. Korsel secara bertahap juga akan membuka pasar untuk mengimpor bir, minuman jus buah, buah tropis seperti durian dan pepaya dan sebagian produk perikanan dari Indonesia.

Sedangkan Indonesia akan mengekspor produk besi dan baja serta suku cadang untuk sektor otomotif dan produk petrokimia ke Korea Selatan, tujuannya agar investasi Korea Selatan di Indonesia dapat dipercepat.

Korea Selatan merupakan mitra strategis ekonomi Indonesia di bidang perekonomian dan masuk ke dalam 10 besar mitra dagang utama Indonesia. Pemerintah berharap IK-CEPA dapat meningkatkan nilai perdagangan Indonesia-Korea Selatan sampai 10 persen.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada 2019, total perdagangan Indonesia-Korea Selatan sebesar 15,65 miliar dolar AS. Ekspor Indonesia ke Korea Selatan adalah senilai 7,23 miliar dolar AS dan impor Indonesia dari Korea Selatan senilai 8,42 miliar dollar AS.

Untuk sektor jasa, melalui IK-CEPA, Indonesia-Korea Selatan berkomitmen membuka lebih dari 100 subsektor seperti gim daring (online game), distribusi, layanan teknik; meningkatkan integrasi sejumlah sektor jasa, seperti konstruksi, layanan pos dan kurir, waralaba dan layanan terkait komputer serta memfasilitasi pergerakan tenaga kerja asing dan kunjungan bisnis.

Indonesia dan Korea Selatan akan menyusun program kerja sama di berbagai bidang, di antaranya pemberdayaan SDM di bidang manufaktur termasuk industri otomotif, energi, konten budaya, pembangunan infrastruktur, dan layanan kesehatan. Bentuk nyatanya adalah rencana investasi Hyundai Motor Company.

Agar dapat meningkatkan intensitas hubungan Indonesia dan Korea Selatan, menurut Choe, dibutuhkan kesamaan pijakan antara kedua negara sehingga kerja sama dapat terbangun.

“Memang berbagi kesamaan di antara dua entitas dengan membangun kerja sama yang berkelanjutkan di antara keduanya adalah hal yang berbeda, tapi berbagi kesamaan dan tujuan yang satu dapat menjadi langkah awal untuk meningkatkan hubungan,” kata dia.

Dalam strategi NSP, Korsel memang sengaja untuk memprioritaskan kerja sama pembangunan dengan negara-negara “bukan super power” sebagai tempat “netral” dari perseteruan AS-China agar Korea Selatan menikmati keunggulan komparatif dengan negara mitra sehingga meningkatkan kesejahteraannya.

Namun bila nanti China dan AS tidak lagi berseteru apakah kebijakan NSP ini juga masih akan berlaku atau Korea Selatan akan langsung memalingkan wajah ke sekutu lamanya?

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Ade P Marboen
COPYRIGHT © ANTARA 2021


Sumber: https://www.antaranews.com/berita/2095826/menengok-new-southern-policy-korea-selatan


Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net