• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

2022

2022


2022
Ini Sederet Kerja Sama Indonesia dan Korea Selatan selama 50 Tahun Hubungan Bilateral

Maria Fatimah Natalia, JPNN.com

Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kemenlu RI Muhammad Takdir. Foto: dok FPCI/Kemenlu RI

Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kemenlu RI Muhammad Takdir. Foto: dok FPCI/Kemenlu RI

jpnn.com, JAKARTA – Dr Cho Wondeuk, Research Professor Center for ASEAN-Indian Studies dari The Institute of Foreign Affairs abd National Security (IFANS) mengatakan Korea Selatan dan Indonesia telah menjalin berbagai program kerja sama selama ini.

Cho mengatakan begitu banyak program kerja sama tersebut dijalin kedua negara selama hampir 50 tahun, sejak 1973. Dia membeberkan sejumlah kerja sama penting tersebut. Indonesia dan Korea Selatan menjalin Strategic Partnership pada Desember 2006. Dua negara melanjutkan Special Strategic Partnership pada November 2017 dalam UAE di India.

Ini merupakan salah satu program kerja sama besar di Southeast Asia dalam bidang ekonomi dan keamanan di SEA. Indonesia dan Korea Selatan juga menjalankan kerja sama strategis dalam dialog-dialog membahas masalah regional dan pertahanan. “Dua negara juga memperkuat hubungan untuk kerja sama regional dan global bersama di UN, APEC, ASEAN+3, The EAS, ARF, the G20, dan MIKTA,” ujar Cho dalam workshop perdana Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea bertajuk ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relations’ baru-baru ini.

Workshop itu digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation. Cho menambahkan kerja sama Indonesia dan Korea Selatan makin erat dengan adanya kegiatan saling kunjung antara presiden kedua negara.

Presiden RI Megawati Soekarnoputri memulai kunjungan ke Korea Selatan pada Maret 2002.

Selanjutnya, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono lima kali mengunjungi Korea Selatan pada November 2005, Juli 2007, Juni 2009, November 2010, dan Maret 2012. Disusul, Presiden Joko Widodo yang mengunjungi Korea Selatan pada Desember 2014, Mei 2016, September 2018, dan November 2019. Jokowi, sapaan karib kepala negara, kembali datang ke Korea Selatan pada Juli 2022 sebagai kedatangan perdana pemimpin ASEAN dan sekaligus pimpinan negara asing kedua yang menemui Presiden terpilih Korsel Yoon Seok-yeol setelah Presiden AS Joe Biden. Beberapa Presiden Korea Selatan juga pernah mengadakan kunjungan kerja di Indonesia. Di antaranya Presiden Roh Moo-nyun pada Desember 2006. Dilanjutkan Presiden Lee Myeong-bak pada Maret 2009, Desember 2010, November 2011 dan 2012. Presiden Korsel Park Geun-hae mengunjungi Indonesia pada Oktober 2013 dan Presiden Moon Jae-in pada November 2017. “Banyak Presiden Indonesia yang telah datang ke Korea Selatan dibanding negara-negara lain. Sebaliknya Presiden Korea Selatan juga telah mengunjungi Jakarta. Kita memiliki hubungan yang kuat untuk melanjutkan kerja sama dalam berbagai bidang,” ujar Cho. Dia memaparkan Korea Selatan dan Indonesia juga menjalin kerja sama di bidang ekonomi, pertahanan, industri pertahanan serta program maritim. “Indonesia dan Korea Selatan juga bertukar pandangan terkait situasi regional di kawasan Indo Pasifik,” sambungnya.

Pada kesempatan diskusi yang sama Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika Kemenlu RI Muhammad Takdir mengatakan Indonesia dan Korea Selatan memiliki hubungan kerja sama yang sangat baik di bidang ekonomi, kesehatan, transportasi, perdagangan, industri dan investasi. “Indonesia dan Korea Selatan menargetkan kerja sama perdagangan senilai USD 30 triliun tahun ini,” tutur Takdir.

Kerja sama dua negara ini juga terjalin dalam pertukaran budaya, atlet, kegiatan generasi muda. Indonesia juga menaruh harapan dalam kerja sama pengiriman pekerja ke Korea Selatan. “Indonesia juga berharap perlindungan terhadap pekerja migran dari negara kita di Korea Selatan dan memperluas kesempatan untuk masuknya pekerja migran ke Korsel,” sambung Takdir. Dia meyakini Korea Selatan membutuhkan kehadiran pekerja migran Indonesia sebagai akibat dari efek aging population shifting di negara tersebut. Efek aging population shifting memengaruhi perekonomian dan keamanan nasional. “Dalam konteks ekonomi, Korea Selatan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Pada Juni 2022 Korsel menjadi negara tujuan utama bagi pekerja migran asal Indonesia,” kata Takdir.

Merujuk data BP2MI pada Juni 2022, ujar Takdir, Korea Selatan adalah negara ketiga tujuan utama pekerja migran Indonesia dengan jumlah 942 orang. Jumlah ini, tuturnya, bisa bertambah seiring eratnya hubungan bilateral kedua negara di masa depan. (flo/jpnn)

Source: https://www.jpnn.com/news/ini-sederet-kerja-sama-indonesia-dan-korea-selatan-selama-50-tahun-hubungan-bilateral

2022
Hubungan Bilateral Terjalin Hampir 50 Tahun, Ini Arti Penting Indonesia Bagi Korsel
Maria Fatimah Natalia, JPNN.com

Dr Cho Wondeuk, Research Professor Center for ASEAN-Indian Studies dari The Institute of Foreign Affairs abd National Security (IFANS) dalam diskusi di kantor FPCI . Foto: Natalia Laurens/JPNN

jpnn.com, JAKARTA – Hubungan kerja sama pemerintah Indonesia dan Korea Selatan bukan baru seumur jagung. Dua negara ini akan merayakan 50 tahun hubungan diplomasi pada yang berlangsung sejak 1973 pada 2023 mendatang.

Lalu seberapa penting hubungan kerja sama dengan Indonesia bagi pemerintah Korea Selatan? Menurut Dr Cho Wondeuk, Research Professor Center for ASEAN-Indian Studies dari The Institute of Foreign Affairs abd National Security (IFANS), Indonesia adalah salah satu negara yang netral dan menjaga keseimbangan diplomasi antara US dan China tanpa memihak dua belah pihak.

Hal itu disampaikan Cho dalam first workshop Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea bertajuk ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relations’ baru-baru ini. Workshop itu digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation. Dalam workshop itu, Cho mengatakan Indonesia juga aktif dalam hubungan diplomasi sejak 1955 melalui Konferensi Bandung dan memimpin dunia ketiga.

“Indonesia juga memimpin hubungan multilateral di Indian Ocean Rim Association or IORA, G20, ASEAN, MIKITA and APEC,” tutur Cho dalam diskusi daring melalui zoom tersebut. Pemerintah Korea Selatan juga menilai Indonesia menunjukkan kepemimpinan dalam ASEAN Outlook on The Indo-Pacific (AOIP).

Selain itu, Korea Selatan menganggap Indonesia sebagai partner penting menjaga pertahanan melalui kerja sama submarine KF-21.

“Indonesia dan Korea Selatan berdiri bersama dalam hubungan internasional terutama untuk Indo-Pacific. Kita harus bersama karena hidup di dunia yang tidak menentu akibat pandemi covid-19 dan kompetisi yang berkembang di antara China dan US,” sambung Cho. Pengamat politik internasional Korsel itu juga memuji Indonesia sebagai salah satu negara yang sangat enerjik serta aktif mencari penyelesaian masalah regional dan memberi saran-saran membantu penuntasan konflik. “Indonesia dan Korea Selatan memiliki hubungan yang spesial dan kuat di banyak bidang seperti ekonomi, politik, pertahanan dan industri,” tambah Cho. Dia berharap hubungan 50 tahun Indonesia dan Korea Selatan terus berlanjut dengan berbagai bentuk program kerja sama terutama untuk memperkuat ASEAN dan Indo-Pacific. (flo/jpnn)

2022
Tenaga Kerja Terampil RI di Korea Selatan Meningkat, Kemlu Ungkap Penyebabnya

Larasati Dyah Utami, Tribunnews

Muhammad Takdir dari Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada workshop ‘Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea’ yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation (KF), Jumat (27/8/2022). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Jumlah tenaga kerja terampil Indonesia (RI) di luar negeri meningkat dalam beberapa tahun terakhir, termasuk tenaga kerja penempatan di Korea Selatan (Korsel).

Hal ini diungkap Muhammad Takdir dari Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN) Kementerian Luar Negeri (Kemlu) pada workshop ‘Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea’ yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation (KF), Jumat (27/8/2022).

Takdir membeberkan dalam dua dekade terakhir, jumlah tenaga kerja terampil (skilled labor) RI meningkat hampir 2 kali lipat.

Pada tahun 2019 sebanyak 42 persen angkatan kerja Indonesia adalah skilled labor berdasarkan data BP2MI, Juni 2022.

Takdir mengatakan, meningkatnya perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Korea Selatan merupakan salah satu faktor meningkatnya angka tenaga kerja terampil RI di Korsel.

“Ini merupakan pertama yang akan terjadi jika kita memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang baik.”

“Ini juga akan mempengaruhi sektor lain seperti sektor ketenagakerjaan antara dua negara,” ujar Takdir di webinar bertema ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation’.

Efek aging population atau populasi yang menua di Korsel telah mempengaruhi perekonomian dan keamanan nasional.

Oleh sebab itu, pemerintah terus berupaya mendorong pengiriman tenaga kerja terampil Indonesia untuk menembus pasar tenaga kerja Korsel.

Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong merupakan destinasi utama bagi pekerja migran Indonesia pada tahun 2019.

Namun berdasarkan data BP2MI tahun 2022, saat ini Korsel merupakan negara tujuan utama bagi pekerja migran Indonesia, dengan asal migran berpusat di Pulau Jawa.

Sektor jasa adalah penopang perekonomian Korsel terbesar (39%), diikuti sektor wholesale dan retail (19%), serta industri manufaktur dan pertambangan (16%).

Sektor pertambangan dan manufaktur menyerap banyak tenaga kerja asing di Korea dan mayoritas diserap untuk mengoperasikan mesin dan assembling.

“Jika kita bisa mengembangkan jumlah sekolah politeknik ini akan mengembangkan kebutuhan Korsel yang mengalami efek aging population,” ujarnya.

Source: https://www.tribunnews.com/nasional/2022/08/27/tenaga-kerja-terampil-ri-di-korea-selatan-meningkat-kemlu-ungkap-penyebabnya

2022
Waspada! AS Vs China Bisa Jadikan Indo-Pasifik ‘Arena Perang’

Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia

Foto: Pasukan AS tersebut menjalankan operasi bersama di Laut China Selatan (LCS) dengan TNI AL. Kegiatan itu berlangsung sejar 12 April lalu dan berakhir kemarin, Kamis (14/4/2022). (Dok: U.S. Navy Office of Information)

Jakarta, CNBC Indonesia – Dalam satu dekade terakhir, Indo-Pasifik telah menjadi panggung sentral dari konflik persaingan kekuatan besar yang berisiko bagi stabilitas negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.

Buktinya, Indo-Pasifik diwarnai oleh konflik Laut China Selatan yang selalu panas, konflik Selat Taiwan antara China dan Taiwan serta Semenanjung Korea antara Korea Selatan dan Korea Utara, dan konflik di Asia Selatan atau Samudera Hindia. Sebagai catatan, hampir semua konflik tersebut melibatkan China dan Amerika Serikat (AS) sebagai dua kekuatan besar (great power).

Professor Riset Center for ASEAN – Indian Studies, Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk mengungkapkan konflik di Indo-Pasifik luar biasa besar, terutama dengan meningkatnya kompetisi antara AS dan China.

“Saya menilai sebagian negara di dunia tidak boleh hanya menjadi pengamat di era great power saat ini,” ujarnya dalam Workshop bertema ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation’, Jumat (26/8/2022).

Dia menambahkan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dan Korea, harus membangun hukum konstruktif dan bekerja sama mencari solusinya dengan cara-cara yang inklusif, terbuka serta saling terhubung.

Namun, dia mengungkapkan kondisi kompetisi saat ini dibarengi dengan adanya penurunan multilateralism di dunia, sementara minilateralisme cenderung meningkat.

Contohnya, pembentukan kerja sama terbatas antara India, Jepang, AS dalam QUAD dan pakta keamanan trilateral antara AS, Inggris dan Australia.

Sementara itu, kekuatan besar seperti China memilih membentuk Global Security Initiative, Belt Road Initiative dan ekspansi potensial Shanghai Cooperation Organisation (SCO).

Kondisi ini, menurut Wondeuk, dapat berisiko melemahkan posisi Indo-Pasifik, termasuk Asean.

Oleh karena itu, dia sangat berharap negara-negara middle power seperti Korea, Australia dan Indonesia dapat merangkul negara-negara kecil untuk melakukan kerja sama kolektif di Indo-Pasifik.

Direktur Pusat Strategi Kebijakan Asia Pasifikk dan Afrika Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri (BSKLN), Kementerian Luar Negeri RI, Muhammad Takdir membenarkan bahwa survei terbaru dari ISEAS Yusof Ishak Institute pada tahun ini mencatat 61,5% responden khawatir Asean menjadi arena kompetisi dari kekuatan besar dan negara-negara anggotanya dapat menjadi arena perang proksi kekuatan tersebut.

Takdir mengakui upaya untuk menangani proteksionisme, perselisihan batas wilayah dan maritim, serta persaingan tidak sehat lainnya di Asean semakin sulit dengan hadirnya konflik AS dan China.

“Jika Asean harus menunjukkan pilihannya sendiri, maka Asean harus mencari pihak ketiga yang mampu memperluas ruang strategis dan opsinya.” ujar Takdir.

Pihak ketiga yang dimaksud adalah negara yang dapat mengimbangi persaingan sengit antara AS dan China.

Pilihan tersebut a.l. Korea Selatan, Jepang, India, dan Uni Eropa. “Sangat menarik jika kita bisa melihat Korea Selatan dan Jepang bekerja sama untuk mengimbangi persaingan antara AS dan China,” ungkapnya.

Source: https://www.cnbcindonesia.com/news/20220829051551-4-367213/waspada-as-vs-china-bisa-jadikan-indo-pasifik-arena-perang

2022
RI Gagal Bayar KF-21 Boramae, Ini Solusinya!

Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia

Foto: Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol di Kantor Kepresidenan Yongsan, Seoul, Kamis sore, 28 Juli 2022. Presiden Jokowi tiba dan disambut langsung oleh Presiden Yoon. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia – Isu gagal bayar terkait dengan proyek KF-21 Boromae antara Korea Selatan dan Indonesia menjadi topik hangat setelah kunjungan Presiden Joko Widodo ke Korea pada akhir Juli lalu.

Media lokal, Korea Times, mengungkapkan bahwa kekhawatiran atas kemungkinan gagal bayar dari pihak Indonesia atas program pengembangan jet tempur gabungan KF-X masih tetap ada, bahkan setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol di Seoul, Kamis (28/7/2022).

Korea Times mengklaim pertemuan itu gagal menghasilkan solusi yang jelas untuk masalah pembayaran yang terlambat di negara Asia Tenggara itu.

KF-21 Boramae yang dulu dikenal sebagai KF-X merupakan program kerja sama yang bertujuan untuk memproduksi jet tempur multiperan canggih. Kerja sama ini dimulai pada tahun 2001 dan kedua negara telah menandatangani kesepakatan pada tahun 2010 untuk bekerja sama dalam proyek tersebut.

Dalam perjanjian tersebut, Indonesia setuju untuk membiayai 1,6 triliun won, sebesar 20% dari total biaya pengembangan yang mencapai 8,8 triliun won atau US$6,71 miliar, sebagai imbalan atas sejumlah pesawat yang akan diproduksi di sana untuk Angkatan Udara Indonesia.

Program ini memuat klausa transfer teknologi. Namun, Indonesia gagal membayar 800 miliar won yang dijanjikan sejauh ini sejak 2017.

Professor Riset Center for ASEAN – Indian Studies, Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), Cho Wondeuk meyakini bahwa kedua presiden telah menyepakati permasalahan pembiayaan dari proyek ini untuk memperkuat hubungan strategis kedua negara.

“Manfaat dari hubungan pertahanan antara kedua negara lebih besar dibandingkan dengan masalah keuangan dalam proyek ini. Kita bisa menemukan jalan keluar untuk masalah ini,” ungkapnya, Workshop yang diadakan FPCI dan Korea Foundation, bertema ‘Assessing Indonesia-Korea Special Strategic Partnership Towards Its 50 Years Diplomatic Relation’, Jumat (26/8/2022).

Dia memastikan Indonesia tetap menjadi negara penting dalam hal kerja sama pertahanan di Indo-Pasifik dan Asean. “Saya pikir kita bisa mencari solusi dari masalah ini dengan mengedepankan negosiasi,” ujarnya.

Pasalnya, kedua negara memiliki visi yang sama dalam hal pertahanan, serta visi yang terkait dengan kondisi di Indo-Pasifik. Dia yakin dengan adanya negosiasi antara kedua negara, masalah ini dapat diatasi dan tidak akan memengaruhi hubungan baik keduanya.

Source: https://www.cnbcindonesia.com/news/20220829052154-4-367214/ri-gagal-bayar-kf-21-boramae-ini-solusinya

2022
SCS: Korea Respects Indonesia’s Stance but Can’t Take Action Against China

Diana Mariska – TheIndonesia (Suara.com)

TheIndonesia.id – A scholar has claimed that while the South Korean government fully respects Indonesia’s sovereignty, and despite the two countries enjoying a closer-than-ever relations, it would be rather complicated for South Korea to take definitive action against several repeated maritime claims made by China in South China Sea, or SCS.

Cho Wondeuk, a research professor for the Center for ASEAN-Indian Studies at the Institute of Foreign Affairs and National Security (IFANS), said South Korea, just like many countries, focuses on certain aspects and policies that are based on its “strategic circumstances and geopolitics”.

Therefore, there are limits to how far the East Asian country will go to provide support (in any form) for Indonesia in the long-standing territorial disputes with China in the South China Sea – or also locally known as the North Natuna Sea.

“Different countries have different interests [that are] based on their strategic environment, so we are different from Australia, the United States, Japan, India, and Indonesia,” Cho said. “[And] in that regard, we might consider supporting the general principles, rules-based order, respect the sovereignty – so we can [raise] voice against the violations of rules-based order, in principle. However, we cannot actively join some kind of tangible and physical military exercise targeting countries.”

Speaking at the Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea workshop initiated by the Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) and Korea Foundation, Cho also noted that the South China Sea has become a “central theater” for a heating competition between world’s leading powers the US and China.

And this includes the Chinese authorities continuously exercising the nine-dash line narrative to justify its claims over some territories within the South China Sea.

It is a widely known fact that despite acknowledging Indonesia’s sovereignty over Natuna, Chinese fishing vessels continue to carry out fishing activities in the North Natuna Sea because it overlaps with their nine-dash line.

A provocation made by the Chinese government in 2020 was probably one of the biggest occurrences that showed the scale of the territorial dispute in recent years.

In January 2020, Indonesia was involved in a standoff with China after Chinese coast guards accompanied Chinese fishing vessels into Indonesia’s exclusive economic zone (EEZ) in Natuna. According to the 1982 United Nations Convention for the Law of the Sea (UNLCOS), Indonesia has sovereign rights over the EEZ.

Several actions have been taken by the Indonesian government since the standoff, including sending large fishing boats from Java to occupy the North Natuna Sea and starting the discussion on omnibus law on maritime security affairs that aims to resolve the overlapping tasks and authorities of several different agencies to guard Indonesian waters.

The Indonesian Navy also established the Fleet Command that is tasked to deal with challenges and threats in Indonesian waters, including the continuously prone-to-tension South China Sea.

“It’s no secret that the situation at SCS will be a challenge for us all. I think this is all well-known and is no longer a secret,” chief of Navy Admiral Yudo Margono said on February 3.

The Coordinating Minister for Political, Legal, and Security Affairs Mahfud MD also said the Indonesian government is committed to create a strong economy in small and outermost islands, including for local people surrounding the North Natuna Sea, as it’s seen as an ‘effective’ mean to safeguard the area.

Meanwhile, defense-wise, Mahfud said the government will continue to enhance defense from and to increase presence in the air, land, and sea.

Source: https://www.theindonesia.id/news/2022/08/31/110200/scs-korea-respects-indonesias-stance-but-cant-take-action-against-china

2022
Membaca Nasib Relasi Korsel-ASEAN di Tangan Presiden Yoon Suk Yeol

Riva Dessthania – CNN Indonesia




Negara Asia Tenggara pun menunggu apakah di tangan Presiden Korsel yang baru, Yoon Suk Yeol, Seoul tetap akan memandang ASEAN mitra pentingnya. (Foto: Kim Hong-ji/Pool Photo via AP)

Jakarta, CNN Indonesia — Relasi Korea Selatan dengan ASEAN terus menguat terutama di era pemerintahan Presiden Moon Jae-in.
Moon bahkan membentuk New Southern Policy (NSP) sebagai salah satu strateginya memaksimalkan kerja sama dan pendekatan yang lebih kuat lagi dengan kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Salah satu alasan terbentuknya NSP adalah keinginan Korsel melepas ketergantungan terhadap dua negara adidaya yakni China dan Amerika Serikat.

Selama ini, Korsel bergantung pada kerja sama perdagangan dengan China. Namun, pada saat yang bersamaan, Seoul juga mengandalkan aliansi keamanan dengan AS demi menghadapi ancaman nuklir Korea Utara.

Sementara itu, dalam perkembangan geopolitik global saat ini, persaingan China dan AS terus meluas dan semakin pelik.

Karena itu, Korsel ingin memperluas kemitraannya terutama dengan negara Asia Tenggara.

Dengan masa jabatan Moon yang sudah habis, negara Asia Tenggara pun menunggu apakah penerusnya kini, Presiden Yoon Suk Yeol, akan tetap menjadikan kawasan tersebut fokus politik luar negeri Korsel.

Pertanyaan itu pun dijawab pemerintahan transisi Korsel saat ini.

Direktur Perencanaan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Korsel, Park Chi Young, menegaskan pemerintahan Yoon tetap akan melanjutkan kebijakan NSP Moon.

Meski begitu, ia belum bisa menjelaskan dengan detail seperti apa bentuk dan implementasinya di era Yoon.

“Kebijakan (NSP) tetap akan dilanjutkan oleh pemerintahan baru, tapi terkait bentuk dan kebijakannya itu masih digodok dan akan dijelaskan pada waktunya,” kata Park saat berdialog dengan sejumlah wartawan Indonesia di Kemlu Korsel, Seoul, pada Selasa (31/5), dalam rangka Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea.

Program tersebut digagas Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) yang berkolaborasi dengan Korea Foundation.

Dalam pertemuan itu, Park menuturkan ASEAN menjadi salah satu mitra utama Korsel selama ini. Ia menuturkan Presiden Yoon tetap melihat negara Asia Tenggara sebagai mitra penting di kawasan Indo-Pasifik.

“Untuk kebijakan ‘New Southern Policy’ kemungkinan namanya akan berubah tapi elemen-elemen kuncinya tetap sama dengan pemerintahan Presiden Moon, karena Korsel masih melihat ASEAN sebagai mitra yang penting dengan fokus kerja sama di bidang kesehatan, kebebasan berpendapat dan demokrasi,” papar Park menambahkan.

Senada dengan Kementerian Luar Negeri Korsel, Kepala Pusat ASEAN-India Studies at the Korea National Diplomatic Academy (KNDA) Choe Wongi dalam wawancara dengan The Korea Herald menyebut bahwa pendirian utama Presiden Yoon adalah mempertahankan aliansi Indonesia-Korsel sebagai poros politik luar negeri Korsel.

“Presiden Yoon telah berjanji untuk menghadirkan kawasan Indo-Pasifik yang ‘bebas, terbuka dan inklusif’ melalui kerja sama dengan AS dan menekankan tanggung jawab Korsel selaku negara dengan ekonomi terbesar ke-10 di dunia,” kata Choe.

Namun apa yang masih belum jelas menurut Choe adalah sejauh apa dan pada level apa Presiden Yoon akan mengimplementasikan komitmennya dalam kebijakan nyata terutama di kawasan Indo-Pasifik terkait hubungan dengan AS, kerja sama trilateral Korsel-AS-Jepang dan relasi di negara anggota Quad yaitu AS, Jepang, Australia dan India.




Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220618034817-113-810490/membaca-nasib-relasi-korsel-asean-di-tangan-presiden-yoon-suk-yeol

12
Page 2 of 2

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net