• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

Journalist Network 2023

Journalist Network 2023
Punya Potensi Jadi Negara Maju Pengusaha Korsel Maunya Investasi Di Indonesia 

Bambang Trismawan/Rakyat Merdeka Newspaper

Ketua Kamar Dagang dan Industri Kadin Korea Selatan di Indonesia Mr Lee Kang Hyun saat menjadi narasumber lokakarya bertajuk “Towards Indonesia-Korea Greener Economy Partnership” di Auditorium Prof Hasjim Djalal, Mayapada Tower 1, Jakarta, Jumat (27/10/2023). Lokakarya ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia dan Korea Foundation. (Foto: FPCI) 

RM.id  Rakyat Merdeka – Indonesia punya potensi menjadi negara maju. Jumlah penduduk yang banyak, sumber daya alam yang melimpah, didukung dengan ekonomi yang kuat dan terus tumbuh, menjadikan Indonesia sebagai tujuan investasi.

Tak terkecuali, investor dari Korea Selatan. Saat ini, pengusaha asal negeri kimchi itu maunya berinvestasi di Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Korea Selatan di Indonesia Mr Lee Kang Hyun saat menjadi narasumber lokakarya bertajuk “Towards Indonesia-Korea Greener Economy Partnership” di Auditorium Prof Hasjim Djalal, Mayapada Tower 1, Jakarta, Jumat (27/10/2023).

Lokakarya ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation.

Mantan Bos Samsung Indonesia itu menceritakan, sebagai Ketua Kadin Korea Indonesia, hampir tiap hari ia menemui para investor dan pengusaha dari Korsel.

Saking banyaknya, sehari bisa 3 atau 4 kali menggelar pertemuan. Para pengusaha ini ingin menanyakan soal peluang investasi di Indonesia.

“Orang Korea sekarang maunya kalau investasi di luar negeri urutan pertamanya adalah Indonesia,” kata Lee dengan bahasa Indonesia yang sudah fasih.

Lee yang saat ini menjabat sebagai Vice President Hyundai Motor Asia Pacific Headquarters menyatakan, peluang investasi di Indonesia memang sangat baik, besar, dan menjanjikan.

Ia yang sudah bekerja di Indonesia selama 33 tahun, paham betul potensi tersebut. Indonesia punya pasar yang besar, juga kemampuan yang bisa diandalkan.

Menurut Lee, salah satu investasi yang diminati pengusaha Korsel adalah di sektor energi hijau (green energy), seperti kendaraan listrik.

Apalagi dalam lima tahun terakhir, nikel menjadi sumber mineral yang sangat penting di dunia di tengah persaingan China dan Amerika Serikat.

Hal ini menjadikan posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya nikel yang melimpah, menjadi penting di dunia.

Selain itu, kata dia, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencapai Net Zero pada 2060.

Usaha menurunkan gas emisi rumah kaca ini membuat Indonesia akan menerima banyak bantuan dari negara maju.

Kata Lee, tak hanya kendaraan listrik, pengusaha Korsel seperti perusahaan konstruksi memberikan perhatian pada proyek di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur.

Beberapa perusahaan yang berniat investasi di IKN adalah Smart City untuk membangun kota pintar, dan Hyundai dengan teknologi taxi terbang atau dikenal dengan istilah Advanced Air Mobility (AAM), dan pembangunan instalasi pemurnian air.

Sebagai pengusaha, Lee berharap Pemilu yang akan digelar tahun depan berjalan dengan baik. Kata dia, situasi jelang pemilu ini membuat para pengusaha memilih wait and see.

Ia berharap, pemilu tak mengganggu iklim investasi di Indonesia yang sudah baik.

Karena dengan iklim investasi yang baik tersebut Indonesia akan mampu mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

“Ini yang akan menjadikan Indonesia menjadi negara yang lebih kaya dan maju. Mungkin beberapa beberapa tahun yang akan datang Korea sudah kalah,” ujarnya.

Terakhir, Lee menyampaikan kekhawatiran sejumlah pengusaha terkait rencana terbitnya Perpres soal aturan impor mobil listrik atau Completely Built Up (CBU) yang bebas pajak.

Aturan ini dirancang karena Pemerintah ingin membesarkan pasar kendaraan listrik seperti di Thailand.

Menurut Lee, pemerintah harus konsisten dalam membuat kebijakan. Ia khawatir, dengan aturan tersebut justru menghancurkan pasar mobil listrik.

Tak hanya itu, juga akan bikin kecewa pengusaha yang sudah susah payah membangun pabrik mobil listrik di Indonesia.

Kata dia, membesarkan pasar mobil listrik memang bagus. Tapi membangun industri kendaraan listrik juga penting.

Ini seperti telur atau ayam, mana yang lebih dulu. Membangun industri atau membesarkan pasar dulu dengan cara membanjiri pasar dengan kendaraan listrik.

“Menurut saya ini harus jalan sama-sama. Aturan ini sangat sensitif. Ada mudah-mudahan ini bisa mencari solusi yang baik dengan memperhatikan kemajuan Indonesia dan Korea bersama-sama,” cetusnya.

Menanggapi soal Perpres, Deputi Bidang Promosi dan Penanaman Modal di Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nurul Ichwan mengatakan aturan tersebut masih dalam pembahasan. Belum sampai ke meja Presiden.

Ia memahami kekhawatiran para pengusaha Korsel yang sudah berinvestasi di ekosistem kendaraan mobil listrik dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) 40 persen.

“Tidak mungkin orang yang cuma mau impor dikasih bebas pajak sementara yang sudah bangun pabrik tetap dikenakan pajak. Tidak ada common sense di sana,” ucapnya.

Ia memastikan, Pemerintah akan mendengarkan berbagai pihak sebelum menerbitkan revisi perpres tersebut.

“Insya Allah tidak usah khawatir. Apapun regulasi yang disiapkan Pemerintah, kalau tidak bisa menjawab kebutuhan industri biasanya tidak akan jalan,” pungkasnya.

Sumber: https://rm.id/amp/baca-berita/nasional/195917/punya-potensi-jadi-negara-maju-pengusaha-korsel-maunya-investasi-di-indonesia

Journalist Network 2023
Kemitraan Indonesia-Korsel Diramal Makin Cerah, Ini Alasannya

Bambang Trismawan/Rakyat Merdeka Newspaper

Lokakarya bertajuk Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Koreas Public Diplomacy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Relations, yang digelar di Bengkel Diplomasi, Mayapada Tower, Jakarta, Selasa (12/9). (Foto: Dok FPCI)

RM.id  Rakyat Merdeka – Kesadaran masyarakat Indonesia terhadap Korea Selatan (Korsel) semakin tinggi karena dipengaruhi musik K-Pop dan tayangan K-Drama yang disebarkan lewat media sosial maupun mainstream. Hubungan masyarakat (people to people) yang erat ini menjadi landasan yang kuat untuk meningkatkan kerja sama kedua negara.

Kondisi ini menjadi membuka peluang kerja sama kedua negara yang semakin menjanjikan. Terlebih, Korsel memulai kebijakan luar negeri baru khusus untuk kawasan Asia Tenggara yaitu Korea-ASEAN Solidarity Initiative (KASI). Kebijakan ini membuka peluang terjalinnya berbagai kemitraan Korsel dengan negara-negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.

Kira-kira begitu beberapa catatan penting yang terangkum dalam lokakarya bertajuk Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Korea’s Public Diplomacy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Relations, yang digelar di Bengkel Diplomasi, Mayapada Tower, Jakarta, Selasa (12/9).

Lokakarya yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation ini menghadirkan dua narasumber dari Korsel. Mereka adalah Kepala Center for ASEAN-Indian di Institute of Foreign Affaris and National Security Prof Choe Wongi dan jurnalis dari The Hankook Ilbo, Jaeyeon Moon. Keduanya menyampaikan pemaparan melalui online.

Lokakarya ini diikuti 15 jurnalis profesional yang tergabung dalam program Indonesian Next Generation on Korea Batch 3. Ini adalah lokakarya sesi kedua dari 6 lokakarya yang akan rencananya digelar sebelum para jurnalis diajak berkunjung ke Korsel.

Prof Choe mengawali pemaparan dengan menceritakan kebijakan KASI. Kata dia, ini adalah kebijakan baru dari Presiden Korsel Yoon Suk Yeol yang dilantik pada Mei 2022. Kebijakan ini dresmikan Presiden Yoon pada Desember 2022, dan dibuat khusus untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Choe, kebijakan KASI lebih progresif dan komprehensif dari kebijakan luar negeri sebelumnya, yaitu New Southern Policy (NSP), yang diprakarsai Presiden Korsel sebelumnya, Moon Jae In, pada 2017.

Choe menjelaskan perbedaan kedua kebijakan ini. Kata dia, NSP hanya berfokus pada kerja sama ekonomi seperti perdagangan dan investasi.  Adapun untuk urusan keamanan, seperti bagaimana situasi Laut China Selatan yang memanas di tengah persaingan China dan Amerika Serikat, Korsel tidak begitu proaktif atau cenderung diam.

Nah, menurut Choe, kebijakan NSP juga menghasilkan banyak manfaat. Beberapa di antaranya berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat di ASEAN terhadap Korsel, dan begitu juga sebaliknya. Korsel misalnya membangun Rumah Kebudayaan ASEAN di Busan.

Sementara KASI, lanjut Choe, fokusnya tidak hanya pada perdagangan dan investasi. Namun juga mencakup diplomasi, keamanan, politik dan hubungan kerakyatan (people to people). Melalui kebijakan ini Korsel melihat ASEAN sebagai partner strategis untuk mewujudkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan Indo-Pasifik.

Dan Korsel sebagai pemangku kepentingan merasa harus ikut bertanggung jawab mempromosikan kedamaian di kawasan. Jadi berdasarkan refleksi seperti ini, keterlibatan Korsel lebih komprehensif. Tidak hanya berfokus pada investasi dan perdagangan.

Nah, kata dia, dengan kebijakan ini Korsel menjadi lebih proaktif. Karena itu saat ada insiden antara Coast Guard China dengan Filipina, di Laut Filipina Barat bulan Agustus lalu, Korsel ikut menyampaikan keprihatinan. Inilah adalah pernyataan sikap pertama Korsel terhadap persoalan di Laut China Selatan.

“Saya pikir prioritas utama di balik kebijakan ini (KASI) adalah Korea tidak lagi mengesampingkan masalah strategis dan keamanan yang nyata,” ungkapnya.

Perbedaan lain, lanjut Choe, dengan kebijakan KASI ini Korsel memposisikan Asia Tenggara sejajar dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China. Dengan hal tersebut, akan membuka peluang terjalinnya kerja sama Korsel dengan negara di ASEAN, termasuk Indonesia.

https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?gdpr=0&client=ca-pub-4856760029410872&output=html&h=139&slotname=7379219380&adk=2745296645&adf=3652440351&pi=t.ma~as.7379219380&w=555&fwrn=4&lmt=1712073952&rafmt=11&format=555×139&url=https%3A%2F%2Frm.id%2Fbaca-berita%2Finternasional%2F188760%2Fkemitraan-indonesiakorsel-diramal-makin-cerah-ini-alasannya&wgl=1&dt=1712073868647&bpp=2&bdt=93&idt=105&shv=r20240327&mjsv=m202403270101&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3D0477ed2f7aba6f17%3AT%3D1712073511%3ART%3D1712073868%3AS%3DALNI_Ma8kextKFH6M23k1Co-MRuKHaI6bg&gpic=UID%3D00000d7f5ac333e7%3AT%3D1712073511%3ART%3D1712073868%3AS%3DALNI_MZHNKjqJI7CBz0j7uimg1FFvAS1ow&eo_id_str=ID%3Dab744446ff08c389%3AT%3D1712073511%3ART%3D1712073868%3AS%3DAA-AfjYcRxvrLNE5VZfvjZOcT1Hw&prev_fmts=0x0%2C160x400%2C360x280&nras=1&correlator=5074319912179&frm=20&pv=1&ga_vid=372466371.1712073511&ga_sid=1712073869&ga_hid=2146046676&ga_fc=1&rplot=4&u_tz=420&u_his=2&u_h=900&u_w=1440&u_ah=813&u_aw=1440&u_cd=24&u_sd=2&adx=92&ady=3619&biw=1324&bih=733&scr_x=0&scr_y=718&eid=44759876%2C44759927%2C44759842%2C31082283%2C95320377%2C95328826&oid=2&pvsid=1420316804363757&tmod=1112230088&uas=1&nvt=1&ref=https%3A%2F%2Fwww.google.com%2F&fc=1920&brdim=0%2C25%2C0%2C25%2C1440%2C25%2C1324%2C813%2C1324%2C733&vis=1&rsz=o%7C%7CpeEbr%7C&abl=CS&pfx=0&fu=128&bc=31&bz=1&ifi=2&uci=a!2&btvi=3&fsb=1&dtd=84324

Apalagi, lanjut dia, Indonesia punya peranan yang sangat penting di ASEAN.  Tahun ini, Indonesia menjadi ketua negara ASEAN, dan baru saja sukses memimpin KTT ASEAN, KTT ASEAN Three, dan sedang membuat sejarah baru dengan memprakarsai platform untuk Kawasan Indo-Pasifik yang Inklusif (AIPF).

“Jadi saya pikir prospek dalam kemitraan Korea dengan ASEAN, Korea dengan Indonesia akan sangat cerah. ASEAN punya potensi ekonomi dan sosial yang sangat besar. Korea bisa membantu mengotimalkan potensi itu,” kata Choe.

Choe mengungkapkan, kebijakan KASI ini dirilis tanpa memiliki agenda tersembunyi. Korsel hanya ingin menjalin kemitraan yang lebih besar di ASEAN, termasuk di Indonesia. Ia lalu mengungkap data 10 juta wisatawan dari Korsel berkunjung ke kawasan Asia Tenggara.

“Saya pikir ada banyak kepentingan dan bermanfaat bagi kepentingan kedua negara untuk menjalin kerja sama ekonomi yang lebih besar, termasuk memperkuat pertukaran antar manusia dengan Asia Tenggara, termasuk Indonesia,” ungkapnya.

Choe lalu mengomentari pertemuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol di Istana Presiden, Jumat (8/9) lalu.  Menurut dia, pertemuan yang digelar sekaligus untuk merayakan hubungan diplomatik 50 tahun Korsel-Indonesia itu berjalan hangat dan sukses serta menghasilkan beberapa kesepakatan termasuk program pertukaran budaya.

Hal senada disampaikan oleh jurnalis asal Korsel Jaeyeon Moon. Jaeyeon optimis akan ada banyak kemitraan terjalin antara Korsel dan Indonesia di masa depan. Misalnya meningkatkan industri hiburan Indonesia dengan kerja sama dengan Korsel. Apalagi, kata dia, kesadaran masyarakat Indonesia terhadap Korsel sangat tinggi.

Jaeyeon menceritakan, meski saat ini hubungan diplomatik Korsel dan Indonesia berusia 50 tahun, ia seperti warga Korea umumnya belum banyak mengetahui tentang Indonesia. Kebanyakan orang Korea mengetahui Indonesia hanya sebagai tempat jalan-jalan, wisata untuk bulan madu, atau tempat yang kental dengan budaya. Banyak yang tak mengetahui Indonesia memiliki kekuatan konsumsi, bisnis dan budaya yang besar.

Kata dia, kesadaran warga Korsel terhadap Indonesia semakin terbangun di masa pandemi Covid-19. Saat itu, Korsel ikut memberikan bantuan perlatan medis termasuk masker untuk Indonesia. Termasuk menyediakan teknologi dan investasi untuk Indonesia.  Belakangan, publik Korea pun mengetahui ternyata Indonesia adalah salah satu konsumen terbesar budaya populer Korsel seperti K-POP dan K-Drama.

Ia misalnya, mengaku terkejut saat mengetahui Indonesia adalah negara peringkat pertama dari 20 negara yang paling banyak mencuit tentang K-POP pada 2021.  Belum lagi bagaimana begitu banyaknya fans BTS di Indonesia. Kata dia, MCD edisi BTS ternyata sangat laku keras di pasar Indonesia dan ini membuat kaget orang Korsel sendiri.

“Ini menunjukkan bahwa secara budaya dan budaya populer kita memiliki nilai-nilai dan perspektif yang sama,” ujarnya.

Melihat eratnya hubungan masyarakat kedua negara ini, kata dia, membuka peluang kerja sama di industri hiburan. Salag satu contohnya adalah, Jaeyoon mengusulkan agar pemerintah Indonesia membuat proyek kolaborasi drama Korea.

“Saya piker kerja sama ini bisa meningkatkan industri hiburan Indonesia,” cetusnya.

Agar semakin meningkatkan hubungan masyarakat kedua negara, Jaeyeon mengusulkan agar memberikan kesempatan para jurnalis berkomunikasi dengan para pejabat di Indonesia. Misalnya untuk mengetahui bagaimana kebijakan Indo Pasifik yang dicetuskan Indonesia. Apa strateginya dan apakah bisa membawa kedamaian di Semenanjung Korea. Menurut dia, konsep yang ditawarkan Indonesia mengenai Indo Pasifik dalam KTT ASEAN sangat menarik. Yaitu menghentikan persaingan dan konflik. Namun, ada banyak hal yang masih tanda tanya di kalangan media Korsel. Seperti bagaimana melakukan ini? Dialog seperti apa yang harus dilakukan untuk menhentikan persaingan ini. Pertanyaan ini muncul lantaran tak banyak kesempatan untuk bertanya dengan pejabat di Indonesia.

“Jadi, kalau kesempatan itu terbuka luas, tentu ini akan sangat menyenangkan. Dan menurut saya ini akan sangat menarik untuk dibagikan bersama,” cetusnya.

Karena itu, menurut dia, program koresponden secara bertahap akan membantu bagi kedua negara saling memahami. Jadi tidak hanya reporter Korsel yang berkeliling Indonesia, tapi juga sebaliknya.

“Kita perlu memperbanyak koresponden untuk saling memahami. Menurut saya ini membantu publik Korea dan Indonesia untuk saling mengenal dan melakukan pertukaran perubahan yang lebih komunikatif,” pungkasnya.

Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/188760/kemitraan-indonesiakorsel-diramal-makin-cerah-ini-alasannya

Journalist Network 2023
Kemitraan Korsel-RI Kian Lengket Dan Cerah

Bambang Trismawan / Rakyat Merdeka Newspaper

Para jurnalis Indonesian Next Generation on Korea Batch 3 mengikuti workshop ke-2 yang digelar FPCI dan Korea Foundation, bertajuk Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Korea’s Public Diplomacy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Relations, di Bengkel Diplomasi, Mayapada Tower, Jakarta. (Foto: Dok. FPCI)
Para jurnalis Indonesian Next Generation on Korea Batch 3 mengikuti workshop ke-2 yang digelar FPCI dan Korea Foundation, bertajuk Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Korea’s Public Diplomacy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Relations, di Bengkel Diplomasi, Mayapada Tower, Jakarta. (Foto: Dok. FPCI)

RM.id  Rakyat Merdeka – Prospek kerja sama Korea Selatan (Korsel) dengan Indonesia, diprediksi semakin menjanjikan.
Setidaknya, ada dua alasan yang melatari proyeksi tersebut. Pertama, Korsel memulai kebi­jakan luar negeri baru khusus untuk kawasan Asia Tenggara, yaitu Korea-ASEAN Solidarity Initiative (KASI). Kebijakan ini membuka peluang terjalinnya berbagai kemitraan Korsel dengan negara-negara di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia.
Kedua, meningkatnya ke­sadaran masyarakat Indonesia terhadap Korsel, dampak dari diplomasi kebudayaan Kor­sel, seperti K-Popdan drama Korea (K-Drama). Hubungan masyarakat (people to people) yang erat ini menjadi landasan kuat untuk meningkatkan kerja sama ekonomi kedua negara.

Itulah beberapa catatan penting yang terangkum dalam workshop bertajuk Connecting Cultures: Unveiling the Power of South Korea’s Public Diplo­macy in Strengthening Seoul-Jakarta People-to-People Rela­tions, yang digelar di Bengkel Diplomasi, Mayapada Tower, Jakarta, Selasa (12/9).

Lokakarya yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation ini, menghadirkan dua narasumber dari Korsel.

Mereka adalah Kepala Cen­ter for ASEAN-Indian di In­stitute of Foreign Affaris and National Security Prof Choe Wongi, dan jurnalis dari The Hankook Ilbo, Jaeyeon Moon. Keduanya menyampaikan pe­maparan secara online.

Lokakarya ini diikuti 15 jur­nalis profesional yang tergabung dalam program Indonesian Next Generation on Korea Batch 3. Ini adalah lokakarya sesi kedua dari 6 lokakarya yang rencananya digelar sebelum para jurnalis berkunjung ke Korsel.

Prof Choe mengawali pemaparan dengan menceritakan KASI. Ini adalah kebijakan baru Presiden Korsel, Yoon Suk Yeol, yang dilantik pada Mei 2022. Kebijakan ini diresmikan Presi­den Yoon pada Desember 2022, dan dirancang khusus untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.

Menurut Choe, kebijakan KASI lebih progresif dan komprehensif dibanding kebijakan luar negeri sebelumnya, yaitu New Southern Policy (NSP), yang diprakarsai Presiden Korsel sebelumnya, Moon Jae In, pada 2017.

Apa sih perbedaannya? Kata dia, NSP adalah kebijakan yang fokus meningkatkan kerja sama ekonomi dengan negara di Asia Tenggara, terutama investasi dan perdagangan. Korsel men­coba mengalihkan perhatian dari yang awalnya fokus pada kerja sama dengan China, Jepang dan Amerika Serikat, ke kawasan ASEAN.

Kebijakan ini bukan tanpa hasil. Data Kementerian Per­dagangan dan Kementerian Investasi mengungkap, kebi­jakan ini berhasil meningkatkan volume perdagangan Indonesia-Korsel dari 19,3 miliar dolar AS pada 2020 menjadi 20,57 miliar pada 2022.

Investasi dari Korsel pun mengalir deras. Dari 2017 hingga 2021, total investasi Korsel ke Indonesia mencapai 8,18 miliar dolar AS, menjadikan Korea sebagai investor ketiga terbesar di Indonesia. Selain itu, Kebijakan ini juga dianggap ber­hasil meningkatkan kesadaran masyarakat di ASEAN terhadap Korsel, dan sebaliknya.

Korsel misalnya membangun Rumah Kebudayaan ASEAN di Busan. Namun, lanjut Choe, untuk urusan keamanan, seperti bagaimana situasi Laut China Selatan yang memanas di tengah persaingan China dan Amerika Serikat, Korsel tidak begitu proaktif atau cenderung diam.

Sementara KASI, lanjut Choe, fokusnya tidak hanya pada perdagangan dan investasi. Namun juga mencakup poli­tik dan keamanan, kerja sama infrastruktur digital, dan perubahan iklim. Selain itu, juga peningkatan hubungan masyarakat (people-to-people), dan kerja sama sosio kultural.

Melalui kebijakan ini, Korsel melihat ASEAN sebagai partner strategis untuk mewujudkan perdamaian, keamanan, dan sta­bilitas di kawasan Indo-Pasifik, termasuk di Semenanjung Ko­rea. Nah, kata dia, dengan kebi­jakan KASI ini Korsel menjadi lebih proaktif mempromosikan perdamaian di kawasan.

Karena itu, saat ada insiden antara Coast Guard China dengan Filipina, di Laut Filipina Barat Agustus lalu, Korsel ikut menyampaikan keprihatinan. Ini adalah pernyataan sikap pertama Korsel terhadap persoalan di Laut China Selatan, atau yang sejak 2017 Indonesia menyebut­nya sebagai Laut Natuna Utara.

“Prioritas utama di balik kebi­jakan ini (KASI) adalah Korea tidak lagi mengesampingkan masalah strategis dan keamanan yang nyata,” ungkapnya.

Perbedaan lain, lanjut Choe, dengan kebijakan KASI ini Korsel tidak hanya “menoleh” ke Asia Tenggara. Namun juga menganggap kawasan ASEAN sejajar dengan negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan China. Dengan hal tersebut, tentu akan membuka peluang terjalinnya kerja sama Korsel dengan negara di ASEAN, ter­masuk Indonesia.

Apalagi, lanjut dia, Indone­sia berperan sangat penting di ASEAN. Tahun ini, Indonesia menjadi Ketua negara ASEAN, dan baru saja sukses memimpin KTT ASEAN, KTT ASEAN Three, dan sedang membuat se­jarah baru dengan memprakarsai platform untuk Kawasan Indo-Pasifik yang Inklusif (AIPF).

“Prospek dalam kemitraan Ko­rea dengan ASEAN, Korea dengan Indonesia akan sangat cerah. ASEAN punya potensi ekonomi dan sosial yang sangat besar. Korea bisa membantu mengotimalkan potensi itu,” kata Choe.

Dia mengungkapkan, kebi­jakan KASI ini dirilis tanpa memiliki agenda tersembunyi. Korsel hanya ingin menjalin kemitraan yang lebih besar di ASEAN, termasuk di Indone­sia. Ia lalu mengungkap data 10 juta wisatawan dari Korsel berkunjung ke kawasan Asia Tenggara.

“Ada banyak kepentingan dan bermanfaat bagi kepentingan kedua negara untuk menjalin kerja sama ekonomi yang lebih besar. Serta memperkuat pertu­karan antar manusia dengan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Apalagi Indonesia dan Korsel tidak memiliki beban sejarah, sehingga dapat meningkatkan hubungan yang lebih proaktif lagi,” paparnya.

Choe juga mengomentari per­temuan bilateral antara Presiden Jokowi dan Presiden Korsel Yoon Suk Yeol di Istana Presi­den, Jakarta, Jumat (8/9). Menu­rut dia, pertemuan yang digelar sekaligus untuk merayakan hubungan diplomatik 50 tahun Korsel-Indonesia itu, berjalan hangat dan sukses, serta meng­hasilkan beberapa kesepakatan, termasuk program pertukaran budaya.

Sumber : https://rm.id/baca-berita/internasional/188864/berkat-kpop-dan-kasi-kemitraan-korselri-kian-lengket-dan-cerah

Journalist Network 2023
Indonesia ingin belajar dari Korea tentang pembangunan ibu kota baru

Deputi Direktur Asia Timur Kemlu RI Vahd Nabyl A Mulachela (kanan) dan dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Korea University Profesor Jae Hyeok Shin (kiri) menjadi pembicara dalam lokakarya “Building Bridges: Assessing the Past and Shaping the Future of Indonesia-Korea Relations” di Jakarta, Rabu (2/8/2023). (ANTARA/Yashinta Difa)

Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia berharap bisa memperkuat kerja sama dengan Korea Selatan untuk pembangunan ibu kota baru, Nusantara, yang berlokasi di Kalimantan Timur.

Menurut Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri RI Vahd Nabyl A Mulachela, Indonesia bisa belajar dari pengalaman Korea yang juga pernah memindahkan ibu kota administratifnya dari Seoul ke Sejong.

“Jadi dalam proses Indonesia membuat dan mendesain ibu kota baru, telah dilakukan sejumlah konsultasi di antara otorita IKN dan pihak Korea yang ternyata cukup terbuka untuk membagikan pengalaman dan praktik terbaik mereka,” tutur Nabyl dalam lokakarya mengenai hubungan Indonesia-Korea di Jakarta, Rabu.

Kerja sama juga dijalin kedua negara untuk pembangunan infrastruktur air bersih di IKN, yang dari pihak Indonesia proyeknya ditangani oleh Kementerian PUPR.

Indonesia dan Korsel telah menandatangani 102 nota kesepahaman (MoU) terkait pembangunan ibu kota baru, termasuk di antaranya pembangunan saluran irigasi yang sejauh ini pembangunannya sudah mencapai 20 persen.

Selain proyek irigasi, perusahaan konstruksi asal Korsel juga menjajaki kemungkinan kerja sama pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda, yang akan dilakukan setelah pemerintah Indonesia menyelesaikan isu pembebasan lahan.

Korsel  memiliki pengalaman dalam membangun pusat administrasi bernama Kota Sejong, yang terletak 120 kilometer dari Seoul.

Sejong didirikan pada tahun 2007 sebagai ibu kota baru Korsel di wilayah Chungcheong Selatan dan Provinsi Chungcheong Utara untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di ibu kota saat ini dan kota terbesar, Seoul, serta mendorong investasi di bagian tengah negara tersebut.

Sejak 2012, pemerintah Korea Selatan telah merelokasi banyak kementerian dan lembaga ke Sejong, tetapi banyak lainnya masih berlokasi di kota lain, terutama Seoul, di mana Majelis Nasional, Kantor Kepresidenan, dan badan pemerintah penting lainnya tetap ada.

Dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Korea University Profesor Jae Hyeok Shin menyebut pengalaman negaranya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia, terutama di bidang konstruksi, teknik, dan transportasi.

Kedua negara juga menurutnya bisa bekerja sama dalam inisiatif penelitian dan pengembangan bersama yang mengarah pada kemajuan teknologi dan berbagi ilmu pengetahuan di bidang-bidang yang menjadi kepentingan bersama, antara lain kecerdasan buatan, bioteknologi, serta ekonomi hijau.

“Prioritas Indonesia dalam pembangunan infrastruktur menghadirkan peluang yang sangat baik bagi perusahaan Korea untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek besar, terutama terkait ibu kota masa depan, Nusantara,” ujar Shin.

Sumber : https://www.antaranews.com/berita/3663981/indonesia-ingin-belajar-dari-korea-tentang-pembangunan-ibu-kota-baru

Journalist Network 2023
Ekonomi hijau jadi prioritas kerja sama Indonesia-Korsel di masa depan

Deputi Direktur Asia Timur Kemlu RI Vahd Nabyl A Mulachela menyampaikan paparan dalam lokakarya “Building Bridges: Assessing the Past and Shaping the Future of Indoensia-Korea Relations” di Jakarta, Rabu (2/8/2023). (ANTARA/Yashinta Difa)

Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia menetapkan ekonomi hijau sebagai salah prioritas dalam kerja sama dengan Korea Selatan di masa depan.

“Indonesia mempunyai target untuk mengembangkan ekonomi hijau, sehingga pertumbuhan ekonomi kita bisa tetap memperhatikan kelestarian lingkungan—dan bagaimana Korea bisa berkontribusi dalam proses tersebut,” kata Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri RI Vahd Nabyl A Mulachela dalam lokakarya mengenai hubungan Indonesia-Korea di Jakarta, Rabu.

Dalam diskusi yang diselenggarakan Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) itu, dia memaparkan tiga tantangan utama yang ingin ditangani melalui kerja sama di bidang ekonomi hijau yaitu soal perubahan iklim, meningkatnya polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Ia mencatat bahwa Indonesia dan Korsel bersama-sama mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terutama yang terkait dengan ekonomi hijau.

Kedua negara juga telah berupaya memperluas kerja sama melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) tentang investasi hijau yang ditandatangani kementerian/lembaga terkait ketika kunjungan Presiden RI Joko Widodo ke Korsel tahun lalu.

“Pada dasarnya kerja sama ini bertujuan untuk menangani masalah lingkungan melalui mitigasi dan adaptasi,” kata Nabyl.

Korsel disebutnya terus gencar menawarkan kerja sama untuk memitigasi emisi karbon, dengan menjalin MoU tentang perdagangan karbon.

Namun, ujar dia, saat ini Indonesia perlu merampungkan aturan di dalam negeri mengenai perdagangan karbon sebelum bisa bergabung dalam jaringan perdagangan karbon global.

“Perubahan iklim adalah salah satu aspek yang Korsel ingin kerja samakan dengan negara lain, termasuk dengan Indonesia sebagai mitra prioritas,” tutur Nabyl.

Sementara itu, dosen Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Korea University Profesor Jae Hyeok Shin menilai pengembangan ekosistem kendaraan listrik (EV) menjadi sektor paling menonjol dalam kerja sama Indonesia-Korsel.

Dalam hal ini, dia merujuk pada investasi yang ditanamkan oleh perusahaan otomotif Korsel, Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution, untuk membangun pabrik produksi baterai EV dengan total investasi 1,1 miliar dolar AS (sekitar Rp16,7 triliun).

Pembangunan pabrik direncanakan selesai pada 2023, dan pada semester pertama 2024 akan memproduksi baterai untuk mobil listrik Hyundai dan Kia.

“Mereka akan membantu Indonesia memproduksi dan menjual mobil listrik di dalam negeri, dalam skala besar,” kata Shin.

Pemerintah Korsel juga mendukung upaya Indonesia dalam mengembangkan infrastruktur EV, dengan hibah 15 juta dolar AS (sekitar Rp227,8 miliar) kepada Pemerintah Indonesia untuk pelaksanaan proyek tersebut.

Ketika mengunjungi Indonesia pada Mei lalu, Wakil Menteri Pertama Perdagangan, Industri, dan Energi Korsel Jang Young-jin bahkan mengatakan bahwa kerja sama dalam industri EV adalah “kunci dalam industri masa depan” kedua negara.

Ia meyakini Indonesia akan menjadi pusat EV di kawasan Asia dengan investasi yang dilakukan oleh perusahaan otomotif dan baterai yang memimpin pasar Korsel.

Sumber : https://www.antaranews.com/berita/3663876/ekonomi-hijau-jadi-prioritas-kerja-sama-indonesia-korsel-di-masa-depan

Journalist Network 2023
Investor Korsel Lebih Tertarik Investasi di Vietnam daripada Indonesia

Presiden Jokowi bertemu Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol di Kantor Kepresidenan Yongsan, Seoul (dok. Sekretariat Presiden)

Jakarta, IDN Times – Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin, mengungkap bahwa nilai perdagangan Indonesia-Korea Selatan (Korsel) masih kalah jauh dengan nilai perdagangan Vietnam-Korsel.

Jae Hyeok menuturkan, pada 2021 perdagangan Vietnam-Korsel mencapai 80,7 miliar dolar AS (sekitar Rp1,2 kuadriliun). Sementara nilai perdagangan Indonesia-Korsel di tahun yang sama hanya 19,3 miliar dolar AS (sekitar Rp292 triliun).

“Menurut saya ini adalah tantangan bagi hubungan Indonesia-Korea, bahwa perdagangan Korea masih terkonstrentasi kepada Vietnam,” kata Jae Hyeok pada workshop yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Rabu (2/8/2023).

“Dan ini juga yang menjadi pertanyaan banyak pakar dan para ahli di Korea, kenapa Vietnam? Kenapa perusahaan swasta Korea dan pemerintah berfokus pada Vietnam? Padahal populasi Vietnam tidak sebanyak Indonesia. Hubungan mereka juga baru 30 tahun, sedangkan Korea-Indonesia sudah 50 tahun,” tambahnya.

1. Alasan Indonesia bisa kalah dari Vietnam

Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin (Dok. FPCI)

Lebih lanjut, Jae Hyeok menjelaskan mengapa Indonesia bisa kalah dari Vietnam, yang notabennya masih sama-sama negara Asia Tenggara. Pemerintah Vietnam dinilai sangat aktif mencari investor asing, dengan menawarkan beragam insentif demi mendatangkan foreign direct investment (FDI).

Alhasil, banyak perusahaan Korsel yang membangun pabrik di Vietnam, bahkan ada pabrikan yang 35 persen produk ekspornya dibuat di Vietnam. Menurut Jae Hyeok, hal itu bagus untuk meningkatkan ekonomi jangka pendek, namun bisa menjadi bumerang bagi Vietnam untuk jangka panjang.

“Karena kebijakan itu tidak membantu perkembangan perusahaan domestik, justru malah menguntungkan perusahaan asing. Ini yang menurut saya sangat dipertimbangkan oleh pemerintah Indonesia. Di satu sisi mereka ingin mendatangkan investor asing, di sisi lain mereka membatasi akses investor asing agar tidak terlalu tergantung dan supaya produk domestik bisa berkembang,” papar dia.

2. Masa depan ekonomi Indonesia-Korsel cerah

ilustrasi mata uang Korea Selatan won Pixabay.com/@manseok_Kim

Kendati nilai perdagangan terpaut jauh, Jae Hyeok menilai bahwa prospek ekonomi Indonesia-Korsel sangat cerah. Bukan saja karena kedua pemerintah baru menerapkan Indonesia-Korea Comprehensive Partnership Agreement (IK-CEPA) per 1 Januari 2023, tapi juga karena kesamaan nilai dan kepastian berbisnis di Indonesia.

Jae Hyeok menyebut demokrasi sebagai sistem terbaik untuk berbisnis, karena sistem tersebut tidak memungkinkan perubahan kebijakan secara mendadak. Ironisnya, justru iklim politik non-demokrasi Vietnam itulah yang saat ini menjadi ujian bagi hubungannya dengan Korsel.

“Demokrasi berarti stabilitas melalui kebijakan. Di bawah diktator, kebijakan dapat berubah sewaktu-waktu. Konsistensi kebijakan inilah yang dimiliki oleh Indonesia, yang membuat para investor bisa membuat prediksi dan perkiraan masa depan mereka. Prediktabilitas inilah yang sangat penting bagi para investor,” tutur Jea Hyeok.

“China misalnya, yang kebijakannya sangat bergantung pada pemimpinnya dan itu bisa berubah sewaktu-waktu. Dan Vietnam meniru langkah itu sehingga membuat orang takut. Saat ini, Vietnam secara tiba-tiba memotong insentif, padahal dulu mereka memberikannya dalam jumlah besar,” sambungnya.

3. Korsel merupakan salah satu mitra dagang dan investasi terbesar Indonesia

Sementara itu, Deputi Direktur Asia Timur di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Vahd Nabyl A. Mulachela mengamini pemaparan Jae Hyeok. Menurut dia, prediktabilitas adalah faktor penting yang bisa memunculkan keinginan seorang pebisnis untuk berinvestasi di suatu negara.

Ddia juga menyinggung soal pemerataan infrastruktur. Untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, keterhubungan antara satu daerah dengan daerah lain menjadi hal yang sangat relevan.

“Saya sering memberi contoh bahwa jarak tempuh antara Sabang ke Merauke dengan Indonesia ke Korsel itu sama. Bedanya adalah Sabang-Merauke itu satu negara, sedangkan ke Korea melewati banyak negara. Karena itulah infrastruktur penting untuk ditingkatkan, agar investasi bisa menyentuh seluruh wilayah Indonesia,” papar dia.

“Jadi ya benar, untuk menambah investor asing Indonesia harus meningkatkan prediktabilitasnya,” tambah Vahd.

Pada kesempatan yang sama, Vahd menuturkan bahwa Korsel merupakan negara terbesar ke-7 untuk investasi (dengan nilai 2,29 miliar dolar AS atau sekitar Rp34,7 triliun) dan untuk perdagangan (dengan nilai 24,53 miliar dolar AS atau sekitar Rp372 triliun) pada 2022.

Sumber : https://www.idntimes.com/business/economy/vanny-rahman/investor-korsel-lebih-tertarik-investasi-di-vietnam-daripada-indonesia?page=all

Journalist Network 2023
Industri Hiburan Indonesia Disebut Bisa Kalahkan Korsel, Ini Kuncinya!

Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin (Dok. FPCI)

Jakarta, IDN Times – Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin, yakin bahwa industri hiburan Indonesia bisa mengalahkan industri hiburan Korea Selatan (Korsel) 10 tahun mendatang. Menurut dia, kunci utamanya adalah pemerintah harus berinvestasi pada tempat yang tepat.

“Puluhan tahun lalu, orang Korea juga tidak percaya bahwa industri hiburan kami bisa mencapai titik ini, apalagi ketika J-Wave (Japanese Wave atau ketika budaya Jepang menyebar secara global) menguasai industri hiburan ini,” kata Jae Hyeok dalam workshop yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Rabu (2/8/2023).

“Dan mungkin saja  I-Wave (Indonesia Wave) bisa mengalahkan K-Wave (Korea Wave) 10 tahun ke depan, jika pemerintah berinvestasi dengan benar. Tidak ada yang mustahil,” tambah dia.

1. Korsel belajar dari Jepang

Jae Hyok mengakui bahwa pencapaian K-Wave saat ini bukanlah sesuatu instan. Dia mengungkap bahwa Korsel pada awalnya menjadikan Jepang sebagai kiblat bisnis model entertainment.

“Seingat saya, J-Wave yaitu J-Pop (musik Jepang), J-Drama (drama Jepang), dan J-Movie (film Jepang) itu berjaya sampai akhir 1990. Saat itu Jepang adalah juara dari soft power ini. Dan sejak 1980-an, industri hiburan Korsel belajar banyak dari Jepang, mulai dari membuat lagu yang mirip, membuat drama, film, bahkan bisnis modelnya,” papar dia.

“Jadi butuh proses panjang untuk sampai di titik ini. Sehingga bertahun-tahun kemudian (setelah belajar dari Jepang), akhirnya K-Wave bisa mengalahkan J-Wave,” sambung Jea Hyok.


  1. 03 Aug 23 | 21:58

Industri Hiburan Indonesia Disebut Bisa Kalahkan Korsel, Ini Kuncinya!

Korsel belajar dari kesuksesan industri hiburan Jepang

Industri Hiburan Indonesia Disebut Bisa Kalahkan Korsel, Ini Kuncinya!Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin (Dok. FPCI)

Vanny El Rahman

Verified

Vanny El Rahman 

 Share to Facebook  Share to Twitter

Jakarta, IDN Times – Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin, yakin bahwa industri hiburan Indonesia bisa mengalahkan industri hiburan Korea Selatan (Korsel) 10 tahun mendatang. Menurut dia, kunci utamanya adalah pemerintah harus berinvestasi pada tempat yang tepat.

“Puluhan tahun lalu, orang Korea juga tidak percaya bahwa industri hiburan kami bisa mencapai titik ini, apalagi ketika J-Wave (Japanese Wave atau ketika budaya Jepang menyebar secara global) menguasai industri hiburan ini,” kata Jae Hyeok dalam workshop yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Rabu (2/8/2023).

“Dan mungkin saja  I-Wave (Indonesia Wave) bisa mengalahkan K-Wave (Korea Wave) 10 tahun ke depan, jika pemerintah berinvestasi dengan benar. Tidak ada yang mustahil,” tambah dia.

Baca Juga: Investor Korsel Lebih Tertarik Investasi di Vietnam daripada Indonesia

1. Korsel belajar dari Jepang

Industri Hiburan Indonesia Disebut Bisa Kalahkan Korsel, Ini Kuncinya!Salah satu vokal grup asal Korea Selatan, Bangtan Boys (BTS). (Instagram.com/bts.bighitofficial)

Jae Hyok mengakui bahwa pencapaian K-Wave saat ini bukanlah sesuatu instan. Dia mengungkap bahwa Korsel pada awalnya menjadikan Jepang sebagai kiblat bisnis model entertainment.

“Seingat saya, J-Wave yaitu J-Pop (musik Jepang), J-Drama (drama Jepang), dan J-Movie (film Jepang) itu berjaya sampai akhir 1990. Saat itu Jepang adalah juara dari soft power ini. Dan sejak 1980-an, industri hiburan Korsel belajar banyak dari Jepang, mulai dari membuat lagu yang mirip, membuat drama, film, bahkan bisnis modelnya,” papar dia.

“Jadi butuh proses panjang untuk sampai di titik ini. Sehingga bertahun-tahun kemudian (setelah belajar dari Jepang), akhirnya K-Wave bisa mengalahkan J-Wave,” sambung Jea Hyok.

2. Pemerintah Korsel berinvestasi besar untuk industri hiburan

Anggota BLACKPINK dalam BLACKPINK The Movie (dok. YG/ BLACKPINK The Movie)

Kemudian, Jae Hyok mengatakan bahwa pencapaian K-Wave saat ini tidak lepas dari pemerintah Negeri Ginseng, yang berinvestasi besar-besaran pada industri hiburan. Secara spesifik, dia menyebut peran penting Presiden Kim Dae Jung yang sangat mendukung tumbuh kembangnya industri hiburan.

“Pemerintah Korea mulai berinvestasi besar mungkin sekitar 1998-an, sehingga banyak talenta-talenta berbakar yang muncul. Kemudian mereka menciptakan musik, drama, film, dan hiburan lain yang berkualitas,” kata dia.

“Pemerintah kemudian berinvestasi besar-besaran untuk mempromosikannya, termasuk ke Indonesia. Sehingga K-Pop, K-Drama, K-Movie menjadi sangat populer di sini dan itu telah menajdi soft power diplomacy Korea,” sambungnya.

3. Korsel bisa menjadi mentor untuk Indonesia

Presiden Jokowi bertemu Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol di Kantor Kepresidenan Yongsan, Seoul (dok. Sekretariat Presiden)

erakhir, dia meyakinkan bahwa dunia hiburan Indonesia pun bisa sesukses industri hiburan Korsel. Bahkan, melihat kedekatan kedua negara, tidak menutup kemungkinan Korsel menjadi mentor bagi Indonesia untuk mengembangkan industri hiburannya.

“Saat pemerintah Indonesia berinvestasi pada tempat yang tepat, akan banyak talenta-talenta hebat yang bermunculan. Ada banyak hal yang bisa pemerintah Korea bagikan kepada Indonesia,” katanya.

Sumber : https://www.idntimes.com/news/world/vanny-rahman/industri-hiburan-indonesia-disebut-bisa-kalahkan-korsel-ini-kuncinya?page=all

Journalist Network 2023
Memasuki Usia 50 Tahun, Hubungan RI-Korsel Diprediksi Makin Mesra

Presiden Jokowi bertemu Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol di Kantor Kepresidenan Yongsan, Seoul (dok. Sekretariat Presiden)

Jakarta, IDN Times – Deputi Direktur Asia Timur Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Vahd Nabyl A. Mulachela, mengatakan bahwa hubungan Indonesia-Korea Selatan (Korsel) memiliki masa depan yang cerah. Adapun tahun ini relasi kedua negara telah menginjak usia yang ke-50.

Pernyataan Vahd tidak lepas dari fakta bahwa Jakarta-Seoul memiliki banyak kesamaan. Kedua negara juga berbagi kepentingan yang sama, apakah itu di bidang politik, keamanan, ataupun ekonomi.

“Kita punya nilai yang sama seperti demokrasi, hak asasi manusia, keterbukaan ekonomi, keinginan untuk menjaga perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan dunia. Ini adalah sesuatu yang harus kita akui bisa menjadi fondasi hubungan kedua negara,” kata Vahd pada workshop yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bersama Korea Foundation di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Rabu (2/8/2023).

1. Gambaran kedekatan Korsel-Indonesia

Presiden Jokowi bertemu Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol di Kantor Kepresidenan Yongsan, Seoul (dok. Sekretariat Presiden)

Adapun hubungan Indonesia-Korsel mulai terjalin sejak 1973. Kemudian, relasi kedua negara menjadi Strategic Partnership pada 2006 dan bertransformasi menjadi Special Strategic Partnership pada 2017.

Pada 2023, kedua negara resmi memberlakukan Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA), yang menghapus banyak hambatan perdagangan dan investasi hingga mempermudah pertukaran sumber daya manusia. 

Vahd menambahkan, sejauh mana hubungan antarnegara juga bisa dilihat dari kedekatan para pemimpinnya. Dia pun menyinggung pertemuan antara Presiden Joko “Jokowi” Widodo dengan Presiden Yoon Suk Yeol yang telah terjadi dalam dua tahun terakhir.

“Pertama saat Presiden Jokowi mengunjungi Korea dan kedua saat Presiden Korea datang untuk menghadiri KTT G20. Jadi interaksi antara pemerintah cukup intens,” kata Vahd.

Dalam skala kawasan, Korsel merupakan mitra dialog ASEAN bersama Jepang dan China, yang tergabung dalam platform ASEAN Plus Three.

“Ini menggambarkan Indonesia dengan Korea bukan hanya pada hubungan bilateral, tapi juga regional,” katanya.

2. Tantangan hubungan kedua negara

Deputi Direktorat Asia Timur di Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia Vahd Nabyl A. Mulachela (Dok. FPCI)

Demi mewujudkan masa depan yang cerah, Vahd menjelaskan bahwa kedua negara harus lebih fokus untuk menentukan prioritasnya.

“Misalnya Indonesia ingin fokus pada green economy dan berharap Korea bisa terlibat di dalamnya. Kita harus memastikan itu untuk masa depan Indonesia. Sudah ada daftar proyeknya di Bappenas, tinggal bagaimana Korea bisa ikut terlibat di dalamnya,” kata Vahd.

Sementara itu, Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin, menyoroti tantangan yang harus diperhatikan oleh Indonesia, salah satunya nilai perdagangan Indonesia-Korsel yang terlampau jauh dengan Vietnam-Korsel.

Jae Hyeok menuturkan, pada 2021 perdagangan Vietnam-Korsel mencapai 80,7 miliar dolar AS (sekitar Rp1,2 kuadriliun). Sementara nilai perdagangan Indonesia-Korsel di tahun yang sama hanya 19,3 miliar dolar AS (sekitar Rp292 triliun).

“Menurut saya ini adalah tantangan bagi hubungan Indonesia-Korea, bahwa perdagangan Korea masih terkonstrentasi kepada Vietnam,” tutur dia.

3. Peluang yang bisa dimanfaatkan untuk merekatkan hubungan RI-Korsel

Pakar Hubungan Internasional Universitas Korea, Jae Hyeok Shin (Dok. FPCI)

Terlepas dari tantangannya, Jae Hyeok juga membeberkan sejumlah peluang yang bisa dimanfaatkan oleh kedua negara, termasuk pembangunan infrastruktur, kolaborasi penelitian, pertukaran pendidikan dan budaya, kerja sama keamanan dan pertahanan, promosi pariwisata, kolaborasi UMKM, hingga inisiatif kebijakan hijau.

“Fokus Indonesia di pengembangan infrastruktur juga bisa jadi kesempatan bagi perusahaan Korea untuk terlibat pembangunan. Edukasi dan budaya bisa merekatkan hubungan people-to-people, sehingga relasi kedua negara bisa dirasakan seluruh lapisan masyarakat,” bebernya.

Pada saat yang sama, Jae Hyeok juga mengapresiasi kepemimpinan Jokowi yang membawa hubungan Indonesia-Korsel lebih erat lagi.

“Kepemimpinan Jokowi untuk mendorong FDI (foreign direct investment), termasuk menandatangani IK-CEPA, sangat fantastis,” ungkapnya.

Dia juga tidak khawatir hubungan kedua negara akan terancam di bawah kepemimpinan baru, mengingat Indonesia akan menggelar pemilu tahun depan.

“Tidak masalah siapapun pemimpin di masa depan, tidak akan berdampak pada investasi Indonesia-Korsel. Karena peran Indonesia yang sangat penting dan kita punya prinsip kerja sama untuk memastikan kolaborasi,” kata Jae Hyeok.

Sumber :

Sumber : https://www.idntimes.com/news/world/vanny-rahman/memasuki-usia-50-tahun-hubungan-ri-korsel-diprediksi-makin-mesra?page=all

Journalist Network 2023
Tak Hanya Bali, 2 Hal Ini Bikin Turis Korea Pengin ke Indonesia

Wisatawan menikmati suasana matahari terbit di kawasan Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (15/12/2018). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/aww.

jpnn.com, JAKARTA – Pariwisata menjadi salah satu sektor yang berpotensi untuk dikembangkan dalam hubungan bilateral Indonesia-Korea.

Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Universitas Korea Shin Jae Hyeok mengatakan promosi pariwisata memang menjadi salah satu potensi kerja sama yang mesti dikembangkan kedua negara. 

Hal ini diungkapkannya dalam workshop pertama Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea Batch 3 dengan tema “Building Bridges: Assesing the Past and Shaping the Future of Indonesia Korea Relations”, yang merupakan program kerja sama FPCI dan Korean Foundation.

Menurut dia, selama ini hanya Bali yang menjadi lokasi wisata populer bagi wisatawan Korea. Padahal, ada 2 hal terkait pariwisata Indonesia yang sangat berpotensi untuk mendatangkan turis Korea. 

“Ada 2 hal lain yang sangat menarik, pertama batik sehingga makin banyak korea mengunjungi indonesia, lalu kalian harus lebih mempromosikan Yogyakarta terutama Borobudur,” ucap Jae Hyeok, Selasa (2/8) lalu.

Jae Hyeok bilang bahwa Yogyakarta memiliki banyak pantai bagus yang bakal menjadi favorit wisatawan Korea. “Kerja sama di sektor ini sangat berpotensi untuk kedua negara. Kita harus sama sama mengembangkan sektor pariwisata,” kata dia.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2022 sebanyak 122.221 wisatawan Korea berkunjung ke Indonesia. (mcr4/jpnn)

Sumber : https://www.jpnn.com/news/tak-hanya-bali-2-hal-ini-bikin-turis-korea-pengin-ke-indonesia

Journalist Network 2023
50 Tahun Hubungan Bilateral Indonesia-Korea, Berikut Peluang Kerja Sama

Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Universitas Korea Shin Jae Hyeok melakukan presentasi di hadapan peserta workshop Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea Batch 3 pada Selasa (2/8). Foto: Ryana Aryadita/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA – Hubungan bilateral Indonesia dan Korea Selatan memasuki usia emas, yakni ke-50 tahun pada 2023 ini. 

Adapun hubungan diplomasi yang berjalan sejak 1973 tersebut berlangsung sangat baik. 

Profesor Ilmu Politik dan Hubungan Internasional di Universitas Korea Shin Jae Hyeok mengatakan, di usia setengah abad ini, hubungan Indonesia-Korea Selatan akan makin erat.

Hal tersebut diungkapkannya dalam workshop pertama Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea Batch 3 dengan tema ‘Building Bridges: Assesing the Past and Shaping the Future of Indonesia Korea Relations’, yang merupakan program kerja sama FPCI dan Korean Foundation. 

“Ada sejumlah kesempatan kerja sama yang bisa dikembangkan, salah satunya ekonomi. Contohnya investasi pada energi terbarukan, teknologi, dan kesehatan,” kata Jae Hyeok secara daring, baru-baru ini. 

Bidang lainnya yang bisa dikembangkan kerja samanya adalah pengembangan infrastruktur yang mana perusahaan dari Korea bisa berpartisipasi, termasuk transportasi.

Berikut peluang kerja sama Indonesia-Korea Selatan di usia 50 tahun hubungan bilateral: 

1. Ekonomi

2. Pengembangan infrastruktur

3. Riset dan pengembangan kolaborasi 

4. Pendidikan dan pertukaran budaya 

5. Pengembangan keamanan dan perlindungan 

6. Promosi pariwisata 

7. Kerja sama kesehatan 

8. Kolaborasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) 

Menurut Jae Yeok, meski terdapat banyak kesempatan kerja sama, tetapi bila dilihat dari segi investasi, Indonesia masih tertinggal jauh dari Vietnam.

Hal tersebut lantaran investasi Korea di Vietnam pada 2021 sudah mencapai 80,7 miliar US Dolar, sedangkan di Indonesia hanya 19,3 miliar US Dolar. 

Jae Hyeok menilai besarnya perbedaan investasi ini karena disebabkan dua faktor. Faktor yang pertama, peraturan pemerintah terkait investasi asing di Vietnam tidak terlalu ketat. “Mereka sangat aktif mendapatkan investor untuk investasi. 

Ada banyak perusahaan Korea beroperasi di Vietnam, di Indonesia mungkin tidak bisa begitu,” jelasnya. Tidak hanya itu, kebijakan di Indonesia dinilai lebih ketat, sehingga harus dibatasi. Atas dasar itu, banyak perusahaan memilih ke Vietnam. 

Meski demikian, dosen Universitas Korea itu yakin Korea bisa lebih banyak berinvestasi di Indonesia. “Indonesia punya demokrasi. Indonesia bisa mendapatkan lebih banyak investasi dari perusahaan di Korea,” tuturnya. (mcr4/jpnn)

Sumber : https://www.jpnn.com/news/50-tahun-hubungan-bilateral-indonesia-korea-berikut-peluang-kerja-sama

123456
Page 4 of 6

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net