• Home
  • Services
  • Pages
    • About 1
    • About 2
    • About 3
    • About 4
    • Our Team
    • Contact 1
    • Contact 2
    • Service 1
    • Service 2
    • Service 3
  • Portfolio
    • Column One
      • Portfolio Classic
      • Portfolio Grid
      • Portfolio Grid Overlay
      • Portfolio 3D Overlay
      • Portfolio Contain
    • Column Two
      • Portfolio Masonry
      • Portfolio Masonry Grid
      • Portfolio Coverflow
      • Portfolio Timeline Horizon
      • Portfolio Timeline Vertical
    • Column Four
      • Single Portfolio 1
      • Single Portfolio 2
      • Single Portfolio 3
      • Single Portfolio 4
      • Single Portfolio 5
    • Column Three
      • Video Grid
      • Gallery Grid
      • Gallery Masonry
      • Gallery Justified
      • Gallery Fullscreen
  • Blog
    • Blog Grid No Space
    • Blog Grid
    • Blog Masonry
    • Blog Metro No Space
    • Blog Metro
    • Blog Classic
    • Blog List
    • Blog List Circle
  • Slider
    • Column One
      • Vertical Parallax Slider
      • Animated Frame Slider
      • 3D Room Slider
      • Velo Slider
      • Popout Slider
      • Mouse Driven Carousel
    • Column Two
      • Clip Path Slider
      • Split Slick Slider
      • Fullscreen Transition Slider
      • Flip Slider
      • Horizon Slider
      • Synchronized Carousel
    • Column Three
      • Multi Layouts Slider
      • Split Carousel Slider
      • Property Clip Slider
      • Slice Slider
      • Parallax Slider
      • Zoom Slider
    • Column Four
      • Animated Slider
      • Motion Reveal Slider
      • Fade up Slider
      • Image Carousel Slider
      • Glitch Slideshow
      • Slider with other contents
  • Shop

2021

2021
3 Tahun MTCRC, Agar Laut Tak Lagi Dipunggungi

Muhammad Rusmadi – Rakyat Merdeka


Rakyat Merdeka – Potensi sumber daya alam laut Indonesia sangat melimpah. Mengingat dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan.

Inilah salah satu yang mendasari dibentuknya Pusat Kerjasama dan Penelitian Teknologi Kelautan (PPKTK) atau Korea-Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC) pada 14 September 2018 lalu di Kampus ITB Cirebon, Jawa Barat.

Sebelumnya, pada 2016, Indonesia dan Korea sepakat menjalin kerja sama di berbagai bidang kelautan, termasuk hukum maritim, lingkungan, keamanan, logistik, dan perikanan.

Dibentuknya PPKTK/MTCRC seolah merupakan salah satu upaya menyambut pidato Jokowi, saat baru terpilih menjadi Presiden pada Oktober 2014 lalu. Saat itu, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut antara lain menyinggung visi memperkuat masa depan maritim Indonesia.

“Sudah lama kita memunggungi samudera, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita akan membawa kembali kejayaan nenek moyang kita sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan ombak di atas kapal bernama Republik Indonesia,” ujar Jokowi ketika itu.

Masalahnya, kekayaan melimpah ini juga masih belum dikelola dengan baik, termasuk permasalahan yang terjadi di laut Indonesia yang harus dikelola karena sangat kompleks.

Sebagai pusat penelitian bersama antar Pemerintah di bidang ilmu dan teknologi kelautan antara Korea Selatan (Korsel) dan Indonesia, sebagaimana dikutip dari laman resminya, MTCRC dibentuk untuk memperkuat dan mempromosikan kerjasama praktis di bidang ilmu dan teknologi kelautan antara Korsel dan Indonesia, seperti proyek penelitian bersama dan program peningkatan kapasitas.

Untuk mengelaborasi dan menggali lebih dalam implementasi kerjasama ilmu kelautan Korsel-Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan maritim untuk melindungi ekosistem dan sumber daya kelautan ini, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) pada Jumat (24/9/2021) menggelar workshop, memfokus tema “Korea-Indonesia Marine Science Cooperation and Its Future”. Workshop ini digelar oleh FPCI, bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta.

FPCI adalah organisasi politik luar negeri non partisan, non politik dan independen, yang didirikan untuk membahas dan memperkenalkan isu-isu hubungan internasional kepada banyak pihak terkait di Indonesia, seperti diplomat, duta besar, pejabat pemerintah, akademisi, peneliti, bisnis, media, dosen, think tank, mahasiswa dan media.

Didirikan pada 2014 oleh Dr. Dino Patti Djalal (mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat –Agustus 2010 hingga 17 September 2013 dan Wakil Menteri Luar Negeri hingga Juli hingga Oktober 2014), juga dikutip dari laman resminya, FPCI dibentuk untuk mengembangkan internasionalisme Indonesia agar lebih mengakar di seluruh nusantara dan memproyeksikan dirinya ke seluruh dunia.

Dipandu oleh moderator Aristyo Rizka Darmawan, dosen Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), forum ini menghadirkan Dr. Hansan Park, co-Director MTCRC.

Di antara kegiatan utama MTCRC, jelas Park, adalah melakukan penelitian bersama, baik dalam bentuk pertemuan antar Pemerintah, kerjasama dengan kementerian, lembaga, perguruan tinggi, dan lain-lain.

Dan di antara bentuk implementasi proyek penelitian bersama ini, lanjut peneliti utama di Institut Kebijakan Kelautan di Institut Sains dan Teknologi Kelautan Korea (Ocean Policy Institute in the Korea Institute of Ocean Science and Technology (KIOST) ini, adalah pengembangan sistem prakiraan oseanografi operasional, pembentukan dan aplikasi Stasiun Validasi Satelit Optik.

Selain itu, juga pengembangan energi laut, pengelolaan sampah laut, hingga perencanaan Jangka Menengah Kerjasama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kelautan Korea-Indonesia.

Salah satu contoh terbaru pengelolaan sampah laut, lanjut Park, pihaknya juga bekerjasama dengan komunitas lokal, seperti melaksanakan Kampanye Lingkungan Pesisir di Cirebon pada 3 September lalu. Kampanye tersebut melibatkan lebih dari 200 orang, termasuk mahasiswa dan warga Cirebon.

“Sekitar 1 ton sampah laut bisa terkumpul,” terang peraih gelar Bachelor, Master of Science (Geografi) hingga ke Doctor of Philosophy (Science in Coastal Geomorphology) dari Kyunghee University, Seoul, Korea ini.

Sepanjang tiga tahun ini, ujarnya lagi, sejumlah prestasi dan penelitian bersama juga telah dilakukan. Di antaranya, Pengembangan Proyek Satelit Laut berupa “Pembentukan Sistem Aplikasi Pengelolaan Perairan Indonesia Menggunakan Satelit Geostasioner Korea”.

Kemudian, pengembangan ‘Project Concept Paper’ untuk proyek Official Development Assistance (ODA), sejumlah pertemuan penting antara Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia dan pertemuan pemangku kepentingan, hingga dilakukannya Survei Dasar Laut untuk ICRG (Indonesia Coral Reef Garden).

Termasuk dukungan terhadap kegiatan SAR pada tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak, nomor penerbangan SJ 182 di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu, 9 Januari 2021 lalu.

Lebih jauh Park menjelaskan, di masa depan, PPKTK/MTCRC ini direncanakan akan menjadi Pusat Penelitian Internasional. Untuk itu, platform kerjasama dan penelitian bersama akan terus dilakukan. Hal ini demi mendukung Pemerintah dengan keahlian survei dan analisis kelautan dengan standar internasional.

Sebagai bentuk peningkatan kapasitasnya, di antara programnya seperti kursus ahli untuk jangka panjang, termasuk Korsel akan mengundang Kursus Ahli tingkat Doktoral dan Master.

Juga dilakukannya kursus pelatihan keterampilan jangka pendek, seperti kursus pelatihan pengoperasian peralatan antara 2-3 minggu atau 2-3 hari, Kursus Pelatihan Survei Lapangan (sekolah musim panas), Pelatihan Kapal Riset di atas kapal hingga Kunjungan Lapangan ke Korsel.

Workshop yang digelar pada secara luring dan daring di Jakarta ini, diikuti oleh 10 peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea ini, yakni Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka/RM.id).

Kemudian, Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com).

Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea merupakan wadah bagi para jurnalis profesional Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea, yang masih kurang terjamah karena keterbatasan akses informasi. [RSM]


Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/99393/serial-diskusi-fpci-korselindonesia-3-tahun-mtcrc-agar-laut-tak-lagi-dipunggungi

2021
Ajak Masyarakat Gunakan Mobil Listrik, Begini Strategi Pemerintah Korea Selatan

Desca Lidya Natalia – Suara.com


Seoul Motor Show 2019 yang memajang produk-produk seru mobil listrik lansiran Korea Selatan. Sebagai ilustrasi [Seoul Motor Show/gallery].

Suara.com – Dalam program “The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea” yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korea Foundation Jakarta, antara lain dipaparkan strategi pemerintah Korea Selatan dalam mendorong warganya menggunakan kendaraan listrik.

Dikutip dari kantor berita Antara, hadir sebagai salah satu narasumber adalah Suh Yong Chung, dosen International Studies di Korea University.

“Di Korea Selatan tiba-tiba banyak orang yang menggunakan mobil listrik, tahu kenapa? Karena lebih murah. Pemerintah memberikan banyak subsidi kepada kendaraan listrik,” papar Suh Yong Chung.

Selain harga mobil listrik lebih murah, alasan kedua yaitu harga isi ulang baterai listrik juga lebih murah bila dibandingkan dengan BBM. Meskipun durasi pengisian baterai mobil listrik perlu waktu lebih lama dibandingkan mengisi tangki bahan bakar kendaraan dengan bahan bakar bersifat cair.

Alasan ketiga, mobil listrik membuat pengendaranya kelihatan keren. Soal penampilan ini penting, karena manusia memiliki kecenderungan untuk tampil keren.

Suh Yong Chung menambahkan bahwa pemerintah Korsel memberikan banyak subsidi bagi kendaraan listrik. Dan dalam pelaksanaannya, masih ada kejadian pengguna sibuk mencari tempat pengisian ulang baterai mobil listrik.

Namun pemerintah Korea Selatan sudah siap dengan cara memberikan banyak subsidi, dan setelah mengendarai mobil listrik menjadi kebiasaan, maka ongkos secara keseluruhan akan lebih murah dibanding kendaraan berbahan bakar bensin.

Pemerintah Korea Selatan memberikan insentif hingga 19 juta won (sekitar Rp232,6 juta) bagi rakyatnya yang membeli mobil listrik pada 2021. Juga subsidi 37,5 juta won (sekitar Rp459,13 juta) bagi pembeli kendaraan berbahan bahar hidrogen. Tujuannya demi memastikan lebih banyak mobil ramah lingkungan digunakan di negerinya.

Program subsidi kendaraan ramah lingkungan ini adalah bagian dari insiatif “Green New Deal” di bawah pemerintahan Presiden Moon Jae In yang diluncurkan pada Juli 2021. Tujuannya mendorong penggunaan energi terbarukan, infrastruktur dan industri ramah lingkungan, serta mengatasi polusi udara dan air.

Pemerintah Korea Selatan juga memasang target menambah 136 ribu kendaraan listrik dan hidrogen di 2021, serta menambah stasiun isi ulang baterai kendaraan listrik sebanyak 31.500 unit dan 54 stasiun pengisian hidrogen. Sementara target meningkatkan pangsa pasar kendaraan listrik global dari 2,2 persen menjadi 33 persen pada 2030, dengan fokus kendaraan listrik dan hidrogen.

Pada 2019, jumlah kendaraan listrik yang terdaftar di Korsel tumbuh sekitar 15 persen dibandingkan 2018. Dari lebih dari 601 ribu kendaraan ramah lingkungan yang terdaftar secara nasional, 506 ribu adalah mobil hybrid, dan 90 ribu unit adalah kendaraan listrik murni.

Dari kendaraan-kendaraan listrik ini, Hyundai Kona EV yang dirilis 2018 adalah kendaraan listrik terlaris di pasar domestik untuk 2019. Hyundai Motor Company memulai produksi massal kendaraan listrik dan hybrid pada 2009.

Padahal awalnya Hyundai tidak terlalu tertarik untuk memproduksi mobil listrik dan lebih suka memproduksi kendaraan hidrogen. Akan tetapi perusahaan ini mulai menggarap mobil listrik saat Tesla Incorporation berkembang menjadi produsen mobil listrik global.

Suh Yong Chung menyebutkan bahwa Hyundai tidak memproduksi teknologi mobil listrik dari nol.

“Mereka tentu sudah punya modal dan teknologi awal untuk memproduksi mobil listrik, tapi dengan dukungan pemerintah menjadi pendorong bagi Hyundai untuk memperoduksi mobil listrik. Saya sendiri dalam lima tahun ke depan mungkin akan membeli mobil listrik,” tukas Pak Dosen itu.

Ia menyatakan agar industri mobil listrik dapat tumbuh maka pemerintah harus menjadikan industri ini sebagai salah satu mesin pendorong ekonomi nasional.

“Bisa dilakukan secara bertahap, pemerintah dapat berinvestasi ke teknologi menengah lebih dulu lalu bertahap menuju teknologi tinggi sehingga akan lebih mudah menciptakan pasarnya,” pungkas Suh Yong Chung.


Sumber: https://www.suara.com/otomotif/2021/09/09/075531/ajak-masyarakat-gunakan-mobil-listrik-begini-strategi-pemerintah-korea-selatan

2021
Penting! Dukungan Politik Kudu Back Up Isu Perubahan Iklim

Muhammad Rusmadi – Rakyat Merdeka


Rakyat Merdeka – Indonesia merupakan salah satu negara penting dalam hal isu perubahan iklim saat ini. Terutama karena di wilayah Indonesia masih ada hutan, yang berperan penting dalam isu ini, sebagaimana juga di wilayah lain seperti di Brazil atau Peru.

Hal ini ditegaskan kembali oleh Prof Suh-Yong Chung, Direktur Pusat Hukum dan Kebijakan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan (CSDLAP), Korea Selatan (Korsel). “Kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia sangat penting,” ingatnya, dalam acara Workshop ke-2 Indonesia Korea Journalist Network 2021 yang dihelat pada Rabu (1/9/2021) secara virtual.

Tak heran, lanjut Chung, negara-negara donor banyak yang sangat tertarik pada Indonesia. Salah satunya Norwegia, yang bersedia mengucurkan dana besar ke Indonesia.

Namun Profesor pada Divisi Studi Internasional Universitas Korea ini juga mengingatkan, perlu konsistensi dukungan politik dalam masalah ini di setiap pemerintahan yang silih berganti. “Konsistensi ini bisa dilakukan di setiap pemerintahan Korea (Selatan),” ungkapnya.

Selain memang karena kondisi alam Korsel yang menuntut konsistensi tersebut, jelas Chung, juga ada tekanan kuat lainnya. Karena Korsel menjadi tempat berkantor pusatnya dua organisasi internasional. Yakni The Global Green Growth Institute (GGGI) yang bermarkas di Seoul. Kedua, Green Climate Fund, berkantor pusat di Songdo, Incheon City.

“Sebagai tuan rumah, tentu ada tekanan internasional, agar Korea terus memimpin dan menjadi model,” beber alumni London School of Economics, Inggris dan Stanford Law School, Amerika Serikat ini.

Soal kondisi alam Korsel, ujar Chung lagi, juga amat berbeda dibanding Indonesia yang berlimpah sumber daya alam. Selain lebih dari 70 persen wilayah Korsel merupakan pegunungan, negara yang kini dipimpin Presiden Moon Jae-in ini juga tidak menghasilkan minyak.

“Kami hanya punya sumber daya manusia. Andalan kami hanyalah bidang perdagangan dan jasa layanan untuk terus berkembang. Tahun 60-an, Korsel bahkan lebih miskin dari Korea Utara,” jelasnya.

Workshop ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerjasama dengan Korea Foundation Jakarta. Acara yang dipimpin oleh Dayu Nirma Amuryanti dari Universitas BINUS Jakarta ini, juga dihadiri Direktur Korea Foundation Jakarta, Bae Sung Won.

Acara ini diikuti para jurnalis Indonesia Korea Journalist Network 2021, yaitu Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com). [RSM]


Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/89423/serial-workshop-fpcikorea-foundation-penting-dukungan-politik-kudu-back-up-isu-perubahan-iklim

2021
Ahli Peringatkan Hutan Indonesia Menarik bagi Negara Pendonor, tapi …

Suci Sekarwati – Tempo.co


TEMPO.CO, Jakarta – Hutan di Indonesia menarik bagi negara-negara pendonor untuk berinvestasi di sektor perubahan iklim. Hanya saja, tak banyak uang dari negara pendonor lari ke Indonesia karena outcome dari Indonesia tidak bagus, baik itu secara politik dan scientific.

Menurut Suh-Yong Chung Direktur Center for Climate and Sustainable Development Law and Policy (CSDLAP) Korea Selatan, penyebab dari sikap tersebut adalah kurangnya transparansi dan kapasitas untuk mengukur kontribusi. Perihal transparansi ini, sudah diperkenalkan dalam Paris Agreement.

“Kehutanan ini adalah sektor penting. Ada negara yang mau memberikan kredit kerja sama dengan Indonesia, namun harus ada transparansi. Jika transparansi dilakukan, itu akan membuka peluang. Sebab Negara donor itu butuh bukti,” kata Suh dalam workshop online Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea, Rabu, 1 September 1, 2021, yang diselenggarakan oleh Korea Foundation dan FPCI.

Suh menekankan, harus ada niat politik yang bagus dalam menjalankan program-program perubahan iklim. Sebab sebagus apapun program, tidak akan jalan jika tidak ada itikad politik yang bagus.

Bicara soal transparansi, Suh menyadari hampir setiap kebijakan disahkan oleh anggota parlemen. Biasanya anggota parlemen juga akan menyoroti seberapa besar dampak kebijakan itu ke negara dan masyarakat daerah.

Terkait hutan sebagai paru-paru dunia, untuk wilayah Latin orang-orang akan melihat Brasil. Sedangkan di kawasan Afrika, hutan di Kongo dipandang paling penting. Untuk wilayah Asia, negara-negara pendonor sangat tertarik dengan hutan di Indonesia.

Suh mengingatkan, penyelesaian masalah perubahan iklim bukan semata di tangan pemerintah. Masyarakat pun bisa ikut terlibat.

“Contohnya, rumuskan masalah-masalah perubahan iklim, yang paling kritis, di negara mu yang berdampak global (luas). Lalu, bermitralah dengan negara-negara pendonor, seperti Norwegia atau masuk ke beberapa kerja sama multilateral,” pungkas Suh.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1501355/ahli-peringatkan-hutan-indonesia-menarik-bagi-negara-pendonor-tapi/full&view=ok

2021
Pakar soal Jet KF-X/IF-X RI-Korsel di Antara Pusaran AS-China

Riva Dessthania – CNN Indonesia


Jakarta, CNN Indonesia — Korea Selatan (Korsel) telah meluncurkan purwarupa jet tempur KF-X/IF-X yang sedang dikembangkan bersama Indonesia pada awal April lalu.
Peluncuran purwarupa jet tempur itu berlangsung setelah proyek bersama jet KF-X/IF-X yang digodok Seoul-Jakarta sejak satu dekade lalu itu sempat mandek karena berbagai kendala teknis hingga finansial.

Baca juga:Korsel Tawarkan 760 Warga Campur Dosis AstraZeneca dan Pfizer
Menurut Head of Center for ASEAN-India Studies, Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Profesor Wongi Choe, proyek ini menjadi salah satu bukti komitmen Korsel memperkuat relasi dengan Indonesia.

Apalagi, sambung Choe, Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto turut diundang Presiden Moon Jae-in ke Seoul dan Sacheon, untuk menyaksikan peresmian peluncuran prototipe jet tempur kolaborasi dua negara itu secara bersama-sama.

Choe menganggap hal itu adalah ‘pertanda baik’ kolaborasi RI-Korsel dalam proyek yang dinilai dia menjadi salah satu yang terpenting bagi Negeri Ginseng.

“Indonesia merupakan mitra strategis Korsel yang spesial. Kami [Korsel] tidak memiliki proyek bersama serupa dengan negara lain. Proyek KF-X ini adalah proyek pertama kami yang coba kami kembangkan dengan teknologi dan sumber daya kami sendiri,” kata Choe dalam workshop terbatas, Indonesian Next Generation Journalist on Korea di Jakarta beberapa waktu lalu.

“Apalagi Indonesia menjadi satu-satunya negara yang Korsel ajak kerja sama dalam proyek alutsista semacam ini,”imbuhnya.

Hal senada juga diutarakan, Direktur Kawasan Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri RI, Santo Darmosumarto.

Menurutnya, proyek bersama KF-X/IF-X senilai 7,5 triliun won Korea itu menunjukkan komitmen kerja sama serta kedekatan Indonesia-Korsel.

“Kehadiran Pak Prabowo saat peluncuran prototipe di Korsel menunjukkan tekad Indonesia melanjutkan proyek ini, dan kerja sama pertahanan secara lebih luas dengan Korsel,” ujar Santo.

Santo menganggap kemitraan strategis khusus antara Istana Negara dan Istana Kepresidenan Korsel, Cheongwadae, “sangat spesial tidak hanya dalam kerja sama ekonomi tapi lebih luas dari itu.”

Selain proyek KF-X/IF-X, TNI Angkatan Laut juga sudah mendapat tiga unit kapal selam hasil kerjasama PT PAL Indonesia dengan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) Korea Selatan.

Tiga unit kapal selam itu adalah KRI Nagapasa-403 (dibangun di Korsel dengan tenaga kerja dari Daewoo), KRI Ardadedali-404 (dibangun di Korsel dengan bantuan tenaga kerja dari PT PAL), dan Alugoro-405 (diproduksi di Surabaya).

Head of Center for ASEAN-India Studies, Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Profesor Wongi Choe, menilai Korea Selatan dan Indonesia terus menunjukkan kemesraannya, terutama di era pemerintahan Presiden Moon Jae-in dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal itu salah satunya terlihat dari saling kunjung antara kedua pemimpin negara. Jokowi sempat mengajak Presiden Moon blusukan di Istana Bogor sekitar 2017 lalu.

Sementara itu, Moon juga menjamu kunjungan kenegaraan Jokowi di Seoul pada akhir 2019.

Profesor Choe mengatakan kedekataan RI-Korsel yang menguat ini merupakan salah satu strategi baru pemerintahan Moon yang ingin mencoba mencari ‘teman’ dan potensi kerja sama baru dengan negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Strategi itu, kata Choe, tertuang dalam kebijakan yang dikenal New Southern Policy (NSP).

Salah satu alasan terbentuknya NSP adalah keinginan Korsel melepas ketergantungan terhadap dua negara adidaya yakni China dan Amerika Serikat.

Selama ini, Choe memaparkan Korsel bergantung pada kerja sama perdagangan dengan China. Namun, pada saat yang bersamaan, Seoul juga mengandalkan aliansi keamanan dengan AS demi menghadapi ancaman nuklir Korea Utara.

Sementara itu, dalam perkembangan globa saat ini, persaingan China dan AS terus meluas dan semakin pelik.

“Dan Korsel berusaha tidak terjebak di antara persaingan ini. Karena itu NSP dinilai Korsel sebagai jalan keluar baru lepas dari ketergantungan tersebut,” ujar Choe.

Seoul mengandalkan kerja sama pembangunan sebagai sarana untuk mempererat ikatannya dengan ASEAN di bawah kebijakan NSP. Itu sebabnya, sifat alamiah NSP sebagai inisiatif baru di kawasan berbeda dengan inisiatif dari negara-negara besar yang berorientasi pada keamanan.

Choe menuturkan Korsel perlu diversifikasi perekonomian agar mengurangi ketergantungan dengan perdagangan China. Menurutnya, 27 persen perdagangan Korsel saat ini mengandalkan Negeri Tirai Bambu.

Selain itu, ia menganggap China saat ini sebagai kompetitor utama Korsel dalam hampir seluruh industri.

Di sisi lain, Choe memaparkan banyak potensi kerja sama yang bisa dikembangkan Korsel dengan Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya atau ASEAN.

Terlebih, menurutnya, Korsel dan negara ASEAN pun memiliki pandangan yang serupa dalam melihat hubungan masing-masing dengan China.

“Kita sadar bahwa relasi bilateral kita (Korsel dan negara ASEAN) dengan China sama-sama naik turun. Sementara itu, saya pikir terlalu bergantung pada China akan menimbulkan banyak masalah ke depan,” ujar Choe.

“Jadi NSP ini membantu Korsel (dan negara Asia Tenggara) mengembangkan potensi kerja sama untuk diversifikasi ekonomi dan mengurangi ketergantungan dengan China,” paparnya menambahkan.

Menurut Choe, NSP pada akhirnya memberikan kesempatan bagi Korsel, Indonesia, dan negara Asia Tenggara lain untuk mencari strategi alternatif mengembangkan kerja sama perekonomian tanpa terfokus pada China dan AS.

Meski begitu, Choe menekankan bahwa baik Korsel dan negara ASEAN tetap memiliki relasi konstruktif dan seimbang dengan China dan AS.


Sumber: https://www.cnnindonesia.com/internasional/20210621135211-113-657255/pakar-soal-jet-kf-x-if-x-ri-korsel-di-antara-pusaran-as-china/1

2021
Moon Jae-In – Prabowo Mesra Banget Di Seoul

Muhammad Rusmadi – Chief Executive Editor, Rakyat Merdeka


Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Presiden Republik Korea Selatan Moo Jae-In menghadiri Roll-Out Ceremony dari prototipe jet tempur generasi selanjutnya KF-X/IF-X di Seoul, Korea Selatan,kemarin. (Foto : Dok. Kemhan).

Rakyat Merdeka – Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) berkomitmen untuk terus mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan antar dua negara, juga di kawasan dan di internasional.

Komitmen itu kembali diu­capkan saat Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, melaksanakan kunjungan kehormatan (courtesy call) kepada Presiden Republic of Korea Moon Jae-In dan Perdana Menteri Republik Korea Chung Sye-Kyun, di Kantor Perdana Menteri RoK, Seoul, Korea Selatan, Jumat (9/4/2021).

Tujuan kunjungan kerja Prabowo ke Korea Selatan kali ini dalam rangkaian acara The Roll-Out Ceremony dari prototipe jet tempur generasi selanjutnya KF-X/IF-X.

Dalam Roll-Out Ceremony KF-X/IF-X ini, Presiden Jokowi turut memberikan sambutannya secara virtual. Jokowi menyam­paikan ucapan selamat atas peluncuran pertama prototipe pesawat tempur KFX.

Jokowi menuturkan, sejak 2010, Indonesia dan Republik Korea telah menandatangani MoU tentang kerjasama pengem­bangan pesawat tempur KFX dan IFX untuk memenuhi kebutuhan alutsista berupa pesawat tempur kedua negara dalam waktu 30 hingga 40 tahun ke depan.

Karena itu, Jokowi mengu­capkan selamat kepada seluruh entitas di Republik Korea atas peluncuran pertama prototipe pesawat tempur KFX. Jokowi berharap prototipe pertama ini dapat menjadi “landmark mo­ment” bagi negara Korea secara umum, dan secara khusus bagi industri penerbangan Korea.

Jokowi juga mengharapkan kesuksesan peluncuran pertama prototipe KFX ini agar da­pat terus memberikan manfaat positif untuk kerjasama per­tahanan antara Indonesia dan Korea.

Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Chung, Prabowo menyampaikan apresiasi atas hubungan persahabatan antara Indonesia dan Korsel di bawah Kemitraan Strategis Khusus. Dia juga menyatakan, menyadari pentingnya Korsel sebagai mitra Indonesia dalam kontribusinya untuk perdamaian dan kesejahteraan pada level nasional, regional dan Internasional.

Kementerian Pertahanan RI dan instansi terkait di bidang pertahanan selanjutnya berupaya membangun kemitraan dengan industri pertahanan luar negeri yang dapat memberikan pengaruh positif bagi perkembangan industri pertahanan Indonesia, termasuk di antaranya Korsel.

Dalam kesempatan tersebut, Prabowo juga memberi selamat kepada pemerintah Korsel yang telah mencapai kemampuan memproduksi prototipe jet tem­pur generasi selanjutnya. Dia juga mengharapkan dukungan PM Chung dalam upaya penguatan hubungan dan kerjasama indus­tri pertahanan kedua negara.

Saat ini, hubungan pertahanan bilateral antara Indonesia dan Korsel telah berjalan dengan baik di bawah payung kerja sama pertahanan dalam bentuk “Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Korea on Cooperation in the Field of Defense”. Kesepakatan ini telah ditandatangani di Jakarta pada 12 Oktober 2013 oleh kedua Menteri Pertahanan.

Beberapa kerja sama per­tahanan/militer yang sedang berlangsung antara kedua negara termasuk edukasi, kunjungan pejabat, forum dialog dan indus­tri pertahanan.

Hubungan bilateral kedua negara bahkan juga terus kian dipererat, tak hanya dalam bentuk G to G, tapi juga antar lembaga. Salah satunya, antara Korea Foundation (KF) Jakarta dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).

Dikutip dari laman resminya https://www.kf.or.kr, Korea Foundation (KF) adalah yayasan yang didirikan untuk mempromosikan kesadaran dan pemahaman yang tepat tentang Korea. Juga, untuk meningkatkan niat baik dan persahabatan di seluruh komunitas internasional melalui beragam kegiatan pertukaran internasional.

Pada 2 Oktober 2019, dikutip dari laman http://world.kbs.co.kr, KF secara resmi membuka kantor cabangnya di Jakarta. Kantor cabang ini berperan sebagai pusat urusan diplomatik umum terhadap sejumlah negara, yang merupakan bagian ‘Kebijakan Baru ke Arah Selatan’ yang didorong oleh Pemerintah Korea Selatan.

Kantor cabang Jakarta ini merupakan kantor cabang KF yang ke-9, setelah Jerman, Rusia, Amerika Serikat, Vietnam, Jepang, China, dan lainnya.

Pihak KF dalam acara pembukaan kantor cabang Jakarta menyatakan, Indonesia merupakan mitra Korea Selatan yang berpotensi dan kantor cabang Jakarta akan mengambil peran sebagai penggerak pertumbuhan di bidang urusan diplomatik umum.

Sementara FPCI, juga sebagaimana dijelaskan pada laman resminya, adalah lembaga yang didirikan untuk membahas dan memperkenalkan isu-isu hubungan internasional kepada banyak pihak terkait di Indonesia, seperti diplomat, duta besar, pejabat pemerintah, akademisi, peneliti, bisnis, media, dosen, think tank, mahasiswa hingga media.

Didirikan pada 2014 oleh Dr. Dino Patti Djalal (Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat –periode Agustus 2010 hingga 17 September 2013– dan Wakil Menteri Luar Negeri sejak Juli hingga Oktober 2014), FPCI dibentuk untuk mengembangkan internasionalisme Indonesia, agar lebih mengakar di seluruh nusantara dan memproyeksikan dirinya ke seluruh dunia.

Salah satu bentuk kerjasama antara Korea Foundation (KF) Jakarta dan FPCI adalah diluncurkannya program Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea pada 2021.

Program ini, sebagaimana dijelaskan di https://www.indonesia-koreajournalist.net, merupakan wadah bagi para jurnalis profesional Indonesia untuk mendapatkan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan Indonesia-Korea.

Setiap tahun, program ini akan mempertemukan 10 jurnalis terpilih untuk menjalani program peningkatan kapasitas. Wartawan yang berpartisipasi ini mengikuti serangkaian lokakarya di Jakarta, dan berkesempatan berdialog intensif dengan para akademisi, pembuat kebijakan, dan praktisi Indonesia dan Korea Selatan.

Program ini juga memungkinkan para jurnalis berkunjungan selama sepekan ke Korea Selatan. Selama program, jurnalis didorong memasuki wacana publik melalui publikasi analisis artikel. Tujuannya, untuk meningkatkan pemahaman tentang Korea secara terukur di kalangan masyarakat Indonesia, dengan memperkaya diskusi tentang tema-tema Korea dan hubungan Indonesia-Korea ke dalam wacana publik.

Pendiri dan Ketua FPCI Dr Dino Patti Djalal, dikutip dari lama https://www.indonesia-koreajournalist.net/ mengaku senang, karena dapat membangun kemitraan antara FPCI dan Korea Foundation. Terutama dalam mengembangkan jaringan jurnalis Indonesia yang akan berfokus pada isu-isu Korea dan hubungan Indonesia-Korea.

Terlebih, ujarnya, pandemi Covid-19 telah mempercepat multipolaritas tatanan dunia, yang telah memberikan dorongan yang lebih besar bagi kekuatan menengah seperti Indonesia dan Korea Selatan untuk lebih berperan aktif dalam urusan internasional.

“Indonesia dan Korea Selatan kini terikat oleh kemitraan strategis khusus. Dapat dipastikan bahwa kedua negara akan semakin dekat ke depan melalui interaksi diplomatik, ekonomi, sosial dan budaya yang lebih kuat,” tegas salah satu peserta Konvensi Calon Presiden dari Partai Demokrat pada September 2013 ini.

Lagi pula, lanjutnya, tidak ada beban politik atau sejarah antara Indonesia dan Korea Selatan.

Di saat kemitraan KF Jakarta-FPCI tumbuh, dan sebagai sesama negara demokrasi, jelas doktor bidang Hubungan Internasional jebolan London School of Economics and Political Science itu lagi, media memainkan peran penting dalam membentuk persepsi dan kebijakan di kedua sisi.

“Karena itu, penting untuk memiliki kumpulan jurnalis Indonesia yang berdedikasi yang memahami isu-isu Korea, dan yang memahami visi, strategi, dan tantangan Korea Selatan. Kekuatan pena mereka tentu akan memperkaya konteks serta isi hubungan Korea-Indonesia dalam segala dimensinya,” pungkas putra diplomat Indonesia ternama dan ahli hukum laut internasional, Hasyim Djalal ini.

Gelombang pertama program ini digelar sejak Maret hingga Desember 2021, yang secara umum membahas tema “Kerjasama Indonesia-Korea Selatan di Panggung Global” dan telah menyelesaikan enam lokakarya.

Lokakarya yang digelar secara daring dan luring dari Bengkel Diplomasi, (Sekretariat FPCI) Jakarta ini diikuti oleh 10 peserta The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea, yakni Muhammad Rusmadi (Rakyat Merdeka/RM.id).

Kemudian Adhitya Ramadhan (Kompas), Ana Noviani (Bisnis Indonesia), Desca Lidya Natalia (Antara), Dian Septiari (The Jakarta Post), Idealisa Masyrafina (Republika), Laela Zahra (Metro TV), Riva Dessthania (CNN Indonesia), Suci Sekarwati (Tempo) dan Tanti Yulianingsih (Liputan6.com).


Sumber: https://rm.id/baca-berita/internasional/71482/pamerin-senjata-tempur-baru-moon-jaeinprabowo-mesra-banget-di-seoul

2021
Tantangan Ambisi Seoul di Asia Tenggara

Adhitya Ramadhan – Senior Journalist, Kompas


Empat kekuatan dunia, yaitu Amerika Serikat, China, Jepang, dan Rusia selalu menjadi prioritas hubungan luar negeri Korea Selatan. Pengaruh empat negara itu yang sangat besar membuat lebih dari 80 persen sumber daya diplomasi Korea Selatan diarahkan pada empat raksasa dunia itu.

Ketika menaruh fokus politik luar negerinya yang besar di empat negara itu, di saat yang sama Korea Selatan juga sebenarnya berada dalam posisi yang serba sulit terlebih di tengah rivalitas AS-China dan dinamika yang berkembang di Semenanjung Korea. Korea Selatan merupakan mitra lama AS di Asia, tetapi secara perdagangan sangat bergantung pada China.

Pada saat yang sama, Korea Selatan juga memiliki hubungan penting dengan negara-negara lain, seperti negara-negara anggota ASEAN dan India di Asia Tengah. Meski menjadi negara atau blok lapis kedua dalam politik luar negeri Korea Selatan, ASEAN dan India memiliki nilai strategis bagi Korea Selatan di kawasan.

Bermodalkan kepercayaan publik yang tinggi, pada 2017, Presiden Moon Jae-in yang merupakan bagian kecil The Candlelight Revolution di negaranya pun mulai ”menoleh ke Selatan” melalui inisiatif New Southern Policy (NSP). Kebijakan ini memandang ASEAN dan India sebagai mitra strategis Korea Selatan. Pada 2020, Korea Selatan pun mengeluarkan New Southern Policy Plus untuk memperluas area kerja samanya.

Untuk mendukung NSP, untuk pertama kalinya dalam sejarah, secara institusional Pemerintah Korea Selatan membentuk Biro ASEAN pada Kementerian Luar Negerinya. Misi Korea untuk ASEAN juga bertambah besar tiga kali lipat.

Dalam workshop terbatas bagi jurnalis peserta Indonesian Next Generation Journalist on Korea di Jakarta, Jumat (9/4/2021), anggota Komite Presidensial untuk Kebijakan Baru ke Arah Selatan (Presidential Committee on New Southern Policy) Prof Wongi Choe, memaparkan, NSP memiliki tiga elemen inti kebijakan, yakni people (orang), prosperity (kemakmuran), dan peace (perdamaian).

Motivasi penting di balik NSP adalah keinginan Seoul untuk mendiversifikasi kedekatan hubungan ekonomi dan diplomasinya menuju otonomi strategis yang lebih besar. Diversifikasi, penataan kembali (realignment), dan penyeimbangan kembali (rebalancing) menjadi kunci NSP.

Seoul mengandalkan kerja sama pembangunan sebagai sarana untuk mempererat ikatannya dengan ASEAN di bawah kebijakan NSP. Itu sebabnya, sifat alamiah NSP sebagai inisiatif baru di kawasan berbeda dengan inisiatif dari negara-negara besar yang berorientasi pada keamanan. Jelas bahwa aspek orang dan kemakmuran mendapat porsi yang lebih besar daripada perdamaian.

Menurut Choe, Seoul merasa bahwa kekuatan nasionalnya tidak bergantung pada kekuatan tradisionalnya yang keras (hard power), tetapi pada pengalaman keberhasilannya dalam pembangunan di berbagai bidang, seperti industri teknologi, dan kekuatan lunaknya (soft power) dalam pengaruh budaya. Itu sebabnya, kepemimpinan dan pengaruh Seoul sebagai kekuatan menengah bukan pada militer dan bidang keamanan, melainkan di bidang yang Seoul rasa nyaman dan kompetitif.

Inisiatif Korea Selatan melalui NSP telah diterima secara antusias oleh ASEAN juga India. Secara umum, arah kebijakan ini pun sudah memperlihatkan performa yang positif dalam tiga tahun terakhir. Interaksi diplomatik dan kerja sama ekonomi meningkat ke level yang belum pernah dicapai sebelum era NSP.

Contohnya, negara-negara ASEAN naik kelas menjadi mitra dagang terbesar kedua Korea Selatan pada 2019. Perdagangan dua arah Korea Selatan-ASEAN pun mencapai 153,7 miliar dollar AS atau naik 29 persen dari 119,3 miliar dollar AS pada 2016. Perdagangan dengan India pun mencapai level tertingginya pada 2019 menjadikan negara Asia Selatan ini sebagai mitra dagang terbesar Korea Selatan.

Pada bidang diplomasi, hanya dalam tiga tahun sejak 2017, Presiden Moon menyelesaikan total 27 pertemuan puncak resmi dengan pemimpin negara-negara target NSP. Ini menunjukkan menguatnya aktivisme diplomasi di bawah NSP.

Menurut peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nanto Sriyanto, dalam seminar daring ”ASEAN-Korea Cooperation Upgrade: Focusing on the New Southern Policy of ROK”, pemilihan perdamaian—bukan keamana— sebagai salah satu inti kebijakan NSP menunjukkan bahwa Korea Selatan lebih memilih untuk membangun tata kawasan dan semangat multilateralisme dibandingkan dengan kerja sama bilateral yang menjadi strategi utama kekuatan dunia di kawasan.

Langkah Korea Selatan ini merupakan terobosan untuk menemukan ”narasi bersama” dengan negara-negara yang sepaham yang mayoritas negara kecil dan negara kekuatan menengah.

Pada saat yang sama, ketika negara-negara besar memajukan narasinya di kawasan, ASEAN mengumumkan ASEAN Outlook on Indo-Pacific (AOIP) yang mengedepankan prinsip ”sentralitas ASEAN, terbuka, inklusif, transparan, dan penghormatan terhadap hukum internasional”. Ini artinya ada semangat multilateralisme dalam AOIP seperti juga NSP.

Choe berpendapat, terlepas dari hasil positif yang terlihat, bagaimanapun, dalam mengimplementasikan NSP keinginan dan kemampuan Seoul untuk meningkatkan otonomi strategisnya dan untuk mengejar ambisinya sebagai kekuatan menengah yang turut membentuk lingkungan keamanan kawasan telah dibatasi oleh faktor geopolitik dan desain NSP itu sendiri sejak awal yang tidak memasukkan aspek keamanan.

Hasil survei dari ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura menjadi buktinya. Mayoritas negara ASEAN menyambut Korea Selatan sebagai mitra kerja sama pembangunan, tetapi sedikit yang mempersepsikan Korea Selatan sebagai mitra strategis yang bisa diandalkan.

Lebih jauh lagi, di antara tujuh mitra ASEAN ternyata Korea Selatan merupakan mitra yang ”paling tidak disukai dan dipercaya” dalam ketidakpastian rivalitas AS-China.

Selama Seoul menutup mata dan menjaga jarak dari diskursus dan tindakan multilateralisme dalam isu strategis di kawasan seperti, misalnya sikap China di Laut China Selatan, akan sulit bagi Seoul untuk diakui sebagai mitra strategis di Asia Tenggara sejauh apa pun kiprahnya dalam kerja sama pembangunan di kawasan itu.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/internasional/2021/04/15/tantangan-ambisi-seoul-di-asia-tenggara/?status_register=register&status_login=login

2021
Korea Selatan Ingin Dikenal Bukan Hanya dari K-Pop dan K-Drama

Suci Sekarwati – Senior Reporter, Tempo


Para peserta The Indonesia Next Generation Journalist Network on Korea 2021 bersama staf FPCI dan Endy Bayuni pemimpin redaksi The Jakarta Post. Sumber: dokumen FPCI

TEMPO.CO, Jakarta – Korea Selatan ingin dikenal bukan sekadar lewat K-Pop atau K-drama, namun juga dari aspek politik dan ekonomi. Sedangkan Indonesia, juga ingin lebih dikenal oleh masyarakat Korea Selatan mengingat Indonesia belum sepopuler Korea Selatan di mata masyarakat Indonesia.

Beranjak dari kegelisahan itu, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) bekerja sama dengan Korean Foundation menyelenggarakan program The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2021. Lewat program ini, total 10 wartawan Indonesia yang terpilih bisa melakukan peliputan ke Korea Selatan untuk melihat sisi lain Negeri Gingseng selain kepopuleran K-Pop dan K-drama.    

“Belum ada yang menulis di kolom opini soal perkembangan di Semenanjung Korea, baik itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Ada yang tahu soal ekonomi Korea Selatan, tetapi tak banyak yang tahu soal politik negara itu,” kata Endy Bayuni, mantan Pemimpin Redaksi surat kabar Jakarta Post, dalam acara pembukaan program The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea gelombang pertama, Jumat, 9 April 2021 di Jakarta.

Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar RI untuk Amerika Serikat dan Pendiri serta Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Sumber: dokumen FPCI

Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia Park Taesung berharap program The Indonesian Next Generation Journalist Network on Korea 2021 bisa menawarkan unique pattern pada wartawan Indonesia mengingat hubungan kedua negara yang sangat penting, khususnya di bidang ekonomi.

Bicara soal ekonomi, Korea Selatan adalah investor terbesar keempat di Indonesia. Kedua negara sampai sekarang pun masih terus memperkuat hubungan.

“Banyak media di Indonesia fokus (pada isu) K-pop dan drama, diharapkan pemberitaan media soal Korea Selatan bisa lebih bervariatif,” kata Duta Besar Park.

Sedangkan Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan Umar Hadi sangat ingin wartawan Indonesia memiliki pemahaman yang luas mengenai apa saja yang bisa diraih di antara kedua negara yang berbeda ini.

“Banyak jurnalis Indonesia bertanya mengapa Indonesia penting bagi Korea Selatan. Saya tanya balik, kenapa Korea Selatan penting bagi Indonesia, semoga jurnalis yang terpilih (dalam program ini) bisa menjawab ini,” kata Duta Besar Umar.

Hubungan bilateral Indonesia – Korea Selatan dimulai pada 1973. Pada 18 Desember 2020, hubungan bilateral Indonesia – Korea Selatan diikat dalam perjanjian Indonesia – Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA). Lewat kesepakatan ini, diharapkan Indonesia akan semakin menarik bagi investor dari Korea Selatan.

Sudah ada puluhan anak perusahaan Korea Selatan di Indonesia. Rencananya, Hyundai akan masuk ke Indonesia di saat Mazda asal Jepang angkat kaki dari Indonesia. Sedangkan di Korea Selatan, ada sekitar 3 ribu – 4 ribu TKI yang bekerja di sana.


Sumber: https://dunia.tempo.co/read/1452287/korea-selatan-ingin-dikenal-bukan-hanya-dari-k-pop-dan-k-drama/full&view=ok

2021
Hyundai, Naver, dan New Southern Policy Korea Selatan

Ana Noviani – News editor/ Content Manager, Bisnis Indonesia


Korea Selatan – Istimewa

Bisnis, JAKARTA – Berkat PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia, Korea Selatan menduduki posisi ketiga terbesar dalam aliran penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia pada kuartal I/2021. Realisasi itu tercapai di tengah implementasi New Southern Policy yang diinisiasi Presiden Korsel Moon Jae-in.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat PMA yang direalisasikan pada 3 bulan pertama 2021 mencapai Rp111,7 triliun. Secara tahunan, PMA tumbuh 13,97% dari capaian Rp98 triliun pada kuartal I/2020.

PMA terbesar berasal dari Singapura senilai US$2,6 miliar. Posisi kedua ditempati oleh China dengan realisasi PMA sebesar US$1 miliar.

Sementara itu, Korea Selatan menjadi negara dengan aliran PMA terbesar ketiga sebesar US$851,1 juta. Disusul, Hong Kong dan Swiss dengan realisasi PMA masing-masing US$800 juta dan US$500 juta sepanjang Januari-Maret 2021.

Bahkan, Korea Selatan dan Swiss mengungguli Amerika Serikat yang ada di urutan keenam dengan nilai PMA US$447,1 juta dan Jepang di posisi selanjutnya dengan PMA sebesar US$322,7 juta.

Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi merangkap Kepala BKPM, menuturkan Korea Selatan biasanya menempati posisi 5 atau 6 dalam daftar negara asal PMA terbesar ke Indonesia.

“Korea Selatan ini sekarang menggeser Hong Kong. Ini salah satu di antaranya adalah pembangunan pabrik Hyundai,” ujarnya dalam konferensi pers realisasi investasi kuartal I/2021, Senin (26/4/2021).

Apabila ditilik lebih dalam, investasi asal Korea Selatan pada kuartal I/2021 didominasi oleh lima sektor utama. Sektor tersebut, yakni industri kendaraan bermotor dan alat transportasi lain senilai US$526,2 juta, serta sektor listrik, gas, dan air US$84,4 juta.

Selain itu, sektor industri tekstil US$71,4 juta, industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya US$65,9 juta, serta industri barang dari kulit dan alas kaki US$51,5 juta.

Bahlil menambahkan PT Hyundai Motor Manufacturing Indonesia berencana untuk mengucurkan investasi senilai total US$1,55 miliar untuk membangun hub manufaktur pertama di Asia Tenggara. Dengan asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS, nilai investasi Hyundai itu mencapai sekitar Rp22,47 triliun.

Merujuk data BKPM, lanjut Bahlil, Hyundai sudah merealisasikan investasi sekitar Rp13 triliun-Rp14 triliun sejak memulai proyek tersebut pada 2019. Nantinya, Hyundai juga mengeksplorasi produksi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) kelas dunia di fasilitas produksi di Indonesia.

“Ini menunjukkan investasi perusahaan Korea Selatan berjalan dengan baik. Pada Maret atau April 2022 sudah mulai produksi,” imbuh mantan Ketua Umum Kadin Indonesia itu.

Dalam melayani investasi, Bahlil menegaskan Indonesia tidak membeda-bedakan asal negara PMA. Alasannya, Indonesia menganut asas politik ekonomi bebas aktif sehingga semua negara punya kesempatan yang sama.

Menurutnya, geliat PMA yang positif pada awal tahun ini mencerminkan kepercayaan investor global terhadap Indonesia.

“Secara kebetulan, mungkin Korea Selatan dan Swiss daya dorongnya paten punya. Bukan berarti yang selama ini di lima besar itu-itu saja, ini dinamis,” pungkasnya.

Selain Hyundai, tentu sederet nama investor lain asal Korea Selatan yang sudah mengucurkan modal ke Indonesia. Dalam 2 tahun terakhir, total proyek PMA asal Negeri Ginseng tercatat sebanyak 2.952 proyek pada 2019 dan 5.468 proyek pada 2020.

Di tengah pandemi Covid-19 pada tahun lalu, investor Korea Selatan justru lebih gencar mengalirkan PMA. Nilainya pun naik signifikan 71,96% dari US$1,07 miliar pada 2019 menjadi US$1,84 miliar pada tahun lalu.

Investasi Portofolio

Aliran modal investor asal Korea Selatan tidak hanya dalam bentuk PMA. Portofolio investment juga mengalir cukup deras ke perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Teranyar, perusahaan platform daring raksasa dari Korea Selatan, Naver Corp. menanamkan modal US$150 juta atau sekitar Rp2,17 triliun ke dalam PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK).

Masuknya Naver sebagai investor anyar EMTK dilakukan lewat pembelian saham baru yang diterbitkan lewat skema private placement pada 30 Maret 2021.

“Melalui kemitraan strategis dengan Emtek, kami akan menciptakan sinergi di berbagai bidang. Bersama dedngan mitra kami di Asia Tenggara, Naver akan membawa model bisnis Asia ke panggung global,” kata Kepala Pengembangan Perusahaan dan Investasi Naver Lee Jung-an dalam keterangan resminya.

Sebelum menggenggam saham EMTK, salah satu sumber Bloomberg pada Januari lalu menyebutkan bahwa Naver Corp. dan Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund selangkah lagi menandatangani kesepakatan untuk pendanaan tambahan ke PT Bukalapak.com. Unikorn e-commerce Indonesia itu juga terafiliasi dengan EMTK.

Menurut Kepala Divisi Keuangan Naver Corp. Park Sang-jin, Naver juga sedang mencari lebih banyak peluang untuk berinvestasi dan berekspansi di luar Korea Selatan. Negara yang dituju, antara lain Jepang, Eropa, Asia Tenggara, dan Taiwan.

Selain induk usaha Line itu, modal jumbo dialirkan oleh bank asal Korea Selatan KB Kookmin Bank ke PT Bank Bukopin Tbk. (BBKP) pada akhir 2020. Tak tanggung-tanggung, dana senilai US$1,07 miliar atau sekitar Rp15,52 triliun disuntik KB Kookmin demi mengambil posisi sebagai pemegang saham pengendali BBKP dengan porsi kepemilikan saham sebesar 67%.

KB Kookmin Bank merupakan salah satu bank komersial dengan aset terbesar di Korea Selatan. Hingga akhir 2020, total asetnya mencapai 438,4 triliun won atau setara dengan Rp5.699,2 triliun.

Berdasarkan catatan Bisnis, Presiden Direktur KB Kookmin Bank Heo In mengatakan Bank KB Bukopin ditargetkan masuk 10 besar bank ritel di Indonesia. Untuk itu, BBKP bakal mulai melebarkan sayapnya dengan menambahkan layanan perbankan, seperti manajemen risiko dan keuangan digital yang bertujuan untuk merancang masa depan keuangan digital dan memperkuat kepercayaan nasabah setianya di Indonesia.

Layanan tersebut di antaranya kerja sama antar afiliasi, seperti KB Securities, KB Insurance, KB Kookmin Card dan KB Capital yang sebelumnya telah masuk ke pasar Asia Tenggara lebih dulu.

New Southern Policy

Aliran investasi yang makin agresif dari perusahaan asal Korea Selatan ke Indonesia terjadi di tengah implementasi kebijakan New Southern Policy (NSP) Korea Selatan.

Sejak November 2017, Pemerintah Korea Selatan yang dipimpin Presiden Moon Jae-in meluncurkan inisiatif The New Southern Policy (NSP). Kebijakan luar negeri itu membuka babak baru relasi Korea Selatan dengan negara-negara Asean dan India.

Head of The Center for Asean-India in Korea National Diplomatic Academy (KNDA) Choe Wongi menilai NSP merepresentasikan ambisi middle power Korea Selatan untuk mencari otonomi strategis yang lebih besar di kancah global.

“Seoul terus mendorong diversifikasi relasi ekonomi ke luar Korea Selatan, melakukan reorientasi diplomatik ke Asia Tenggara dan sekitaranya dan mempromosikan kerja sama regional yang aktif,” tuturnya, baru-baru ini.

Choe menyebut NSP sebagai jurus Korea Selatan untuk melakukan diversifikasi dan mengurangi ketergantungan terhadap empat negara superpower, yaitu Amerika Selatan, Jepang, China, dan Rusia. Apalagi, China berkontribusi sekitar 27% terhadap total perdagangan internasional Negeri Kimchi itu.

NSP memiliki tiga kebijakan kunci yang terdiri atas diversifikasi ekonomi, keseimbangan diplomatik, dan kooperasi regional. Kebijakan kunci itu mencakup pilar pembangunan manusia, kesejahteraan, dan perdamaian.

“Asean merupakan regional yang sangat dinamis dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan potensi yang besar untuk berkembang. NSP membuka jalan bagi Korea Selatan untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS dan China yang sedang berselisih,” imbuhnya.

Choe mengakui realisasi investasi perusahaan Korea Selatan di luar negeri merupakan keputusan bisnis. Namun, negara-negara di Asean mulai dilirik dalam konteks relokasi usaha.

Dia mencontohkan ketegangan AS-China pada 2019 dan pandemi Covid-19 yang bermula di Negeri Panda membuat sejumlah perusahaan Korea Selatan melakukan diversifikasi rantai pasok ke Asean. Menurutnya, negara Asean yang banyak dituju oleh usaha kecil dan menengah (UKM) Korea Selatan untuk relokasi bisnis ialah Vietnam.

Park Tae Sung, Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, menyebut Indonesia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asean dan mitra kunci dalam NSP.

“Kemitraan Korea Selatan dengan Indonesia terjalin dengan solid lewat perdagangan, investasi, industri, hingga pertukaran budaya dan nilai. Ke depan, ruang kolaborasi masih sangat terbuka untuk meningkatkan relasi kedua negara,” ujarnya.

Direktur Asia Timur dan Pasifik Kementerian Luar Negeri Santo Darmosumarto menyebut NSP membuka pintu kesempatan bagi Indonesia. Salah satunya melalui Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA).

Pada 18 Desember 2020, IK-CEPA sudah ditandatangani oleh Menteri Perdagangan RI Agus Suparmanto dan Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan Sung Yun-mo. Penandatanganan itu disaksikan langsung oleh Presiden RI Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.

“IK-CEPA punya level yang lebih tinggi dalam liberalisasi perdagangan dibandingkan dengan AKFTA,” kata Santo.

Menurutnya, IK-CEPA meningkatkan kerja sama dan transparansi di berbagai area untuk memfasilitasi perdagangan dan investasi. Selain itu, IK-CEPA juga menyediakan kerangka untuk kerja sama bilateral yang lebih komprehensif.

Santo menyebut beberapa sektor yang memiliki potensi investasi besar ialah otomotif, nikel, kimia, farmasi, dan energi terbarukan. Selain itu, area research and development (R&D), program pekerja migran, serta industri keamanan dan pertahanan juga disebut potensial.

Dengan IK-CEPA, imbuhnya, iklim investasi Indonesia akan meningkat, khususnya dalam bidang perlindungan investor dan perlakuan yang tidak diskriminatif.

Realisasi investasi Hyundai, misalnya, dinilai Santo menarik untuk dicermati di tengah keputusan Mazda untuk angkat kaki dari Indonesia. Selain Hyundai, LG Chem juga dikabarkan bakal menggelontorkan investasi jumbo untuk membangun basis produksi ekosistem EV di Indonesia.

Santo menilai minat pelaku usaha Korea Selatan untuk investasi di Indonesia terus meningkat. Hal itu juga sejalan dengan respons positif pemerintah dan pelaku bisnis Korea Selatan terhadap reformasi regulasi di Indonesia yang tertuang dalam omnibus law UU Cipta Kerja.

“Kita harus melihat Korea lebih dari sekadar K-pop dan K-drama dan Korea dapat melihat Indonesia lebih dari sekadar pasar untuk produk-produk mereka.”

Secara terpisah, Kepala Departemen Ekonomi Central for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan tanpa keputusan bisnis swasta, NSP hanya terbatas pada program kerja sama antarpemerintah Korea Selatan dan Indonesia, seperti integrasi ekonomi dan transformasi digital.

“Yang punya impact itu swasta, ketika dunia usaha Korea Selatan meningkatkan aktivitas di Asean, terutama Indonesia,” ujarnya ketika dihubungi Bisnis.

Dalam mengambil keputusan investasi dan kolaborasi bisnis, lanjutnya, swasta memiliki horizon waktu jangka panjang. Tak hanya orientasi profit, tetapi juga kepastian rantai pasok, pasar, hingga perizinan dan regulasi.

Sejalan dengan NSP dan IK-CEPA, lanjutnya, Indonesia didorong untuk terus memperbaiki kondisi internal agar makin menarik di mata investor dan pelaku bisnis asal Korea Selatan.


Sumber: https://ekonomi.bisnis.com/read/20210430/9/1388775/hyundai-naver-dan-new-southern-policy-korea-selatan

2021
South Korea rolls out first KFX jet prototype. Will Indonesia still reap benefits from it?

Dian Septiari – Journalist, Jakarta Post


South Korea unveils the first prototype of the KFX fighter jet it is developing with Indonesia in a rollout ceremony in Sacheon, South Korea on April 9, 2021. When deployed by the South Korean military the aircraft will be known as the KF-21 Boramae.(Yonhap/via Reuters)

Lingering questions remain on the future involvement of Indonesia in its joint development project for the Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KFX/IFX) jet, despite a seemingly successful public rollout of the first prototype that drew the attention of leaders from both sides.

South Korean President Moon Jae-in, Defense Minister Suh Wook and Defense Acquisition Program Administration (DAPA) Minister Kang Eun-ho inaugurated the rollout of the first Korean-made prototype last week after a decade in the making.

The ceremony was attended by Indonesian representatives, most notably Defense Minister Prabowo Subianto, indicating that Indonesia is still fully committed despite uncertainty over the renegotiation process. Joining the ceremony virtually was President Joko “Jokowi” Widodo, who wished its success would further benefit the partnership between the two countries amid the persisting uncertainty.

The joint jet fighter development was initiated in 2010, with the South Korean aircraft manufacturer Korea Aerospace Industries (KAI) having been chosen to helm the project and Indonesia having agreed to contribute 20 percent of the project’s total investment fund. Under this agreement, Indonesia is expected to invest US$1.3 billion in exchange for access to its technology that will allow state-owned aircraft maker PT Dirgantara Indonesia to produce one of six total KFX/IFX prototypes.

But Indonesia has been seeking renegotiations to reduce its share of the development cost to 15 percent since 2018 in order to ease the burden on the state budget. To date, the renegotiation remains unclear.

“We are currently looking for the option that best serves Indonesia’s national interest,” Defense Ministry spokesperson Dahnil Anzar Simanjuntak told The Jakarta Post.

The KFX/IFX 4.5-generation aircraft project is currently the biggest project of the South Korean military with a total development budget of about 8.6 trillion won ($7.6 billion), Korean media outlets report.

Foreign Ministry director for East Asia and Pacific affairs Santo Darmosumarto said that while Prabowo attendance in South Korea was an indication that Indonesia “would like to continue maintaining this particular area of cooperation”, there were problems in the financing on Indonesia’s part and the transfer of technology. He did not reveal the details.

Citing Indonesia as South Korea’s indispensable partner, a professor at the Korea National Diplomatic Academy (KNDA), Choe Wongi, is optimistic that the payment issue would be settled down the road, considering the two countries’ previous successful experience in defense cooperation.

For instance, the procurement of three South Korean Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME) submarines in 2018, which also included a technology transfer agreement allowing state-owned shipbuilder PT PAL Indonesia to domestically assemble one of the three submarines. The submarine, named KRI Alugoro 405, was completed in June 2019, marking a milestone for Indonesia in its dream of empowering the country’s domestic defense industry amid demand for modernization of its primary weaponry system (alutsista).

Defense analyst Curie Maharani of Binus University encouraged Jakarta to continue the KFX/IFX project that would help create similar milestones for Indonesia’s indigenous jet fighters and encourage a positive spillover effect to other manufacturing industries.

“The project must continue under the condition that South Korea accepts the renegotiation terms, which include providing more transparent cooperation and allowing Indonesia to share a lower burden of cost and procurement,” she told the Post, fearing the project might become a forgotten sunk cost.

Indonesia’s renegotiation terms were reasonable enough, she said, partly because there had been “doubt over the output of” the joint development program, which is aimed at building the so-called 4.5-generation jets almost equal to the United States-built Lockheed Martin F-35 Lightning II fifth-generation fighter. South Korea is seen as inexperienced in developing core technologies for the 4.5-generation jets, an example of which is F-16-class fighter’s active electronically scanned array (AESA) technology.

Purchasing proven 4.5-generation fighters like American F-15EX Eagle and French Rafale heavy fighters rather than gambling on the KFX/IFX project would therefore be more favorable to Indonesia, Curie said.

As the sole foreign partner in the program, Indonesia has “the leverage to renegotiate because it is Indonesia’s participation in the joint program that enables South Korea to secure their export markets”, she said.

Reuters reported that Moon said South Korea would have at least 40 of the new jets combat-ready by 2028, and 140 by 2032. “A new era of independent defense has begun,” he said, according to a transcript released by his office.

When deployed by the South Korean military the aircraft will be known as the KF-21 Boramae.


Sumber: https://www.thejakartapost.com/news/2020/01/22/prabowo-plays-down-report-suggesting-jakarta-wants-to-buy-rafale-jets-from-france.html

123456789
Page 7 of 9

Youtube
Twitter
Facebook
Instagram
Copyright 2021 - www.indonesia-koreajournalist.net